Jumat, 16 April 2010

PENGGUSURAN : Tanjung Priok, Belajarlah dari Kaohsiung

Rusuh di Sekitar Makam Mbah Priok

Massa bersorak usai membakar motor dalam bentrok dengan aparat keamanan soal rencana penggusuran di kompleks makam Mbah Priok di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (14/4/2010). (KOMPAS/AGUS SUSANTO )***

Source : Kompas Images, Rabu,14 April 2010 | 21:20

PENGGUSURAN

Tanjung Priok, Belajarlah dari Kaohsiung

Isu penggusuran kuburan keramat Mbah Priuk memicu kerusuhan berdarah di Kelurahan Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (15/4). Nun di seberang lautan di Pelabuhan Kaohsiung, Taiwan, bangunan tua yang dihuni nelayan berikut tempat ibadah peninggalan nenek moyang menjadi daya tarik Pelabuhan Kaohsiung yang kesibukannya di atas Pelabuhan Tanjung Priok.

Kuil keramat, rumah nelayan, dan perahu tradisional berbaur dengan hiruk pikuk gantry crane, truk pengangkut peti kemas, kapal cargo, dan supertanker di Pelabuhan Kaohsiung, bandar laut terbesar di Taiwan. Pelabuhan Kaohsiung secara geografis mirip Teluk Jakarta. Hanya saja di depan pelabuhan terdapat Pulau Cijin yang memanjang dari barat laut ke tenggara menjadi pemecah ombak alamiah.

Pulau Cijin menjadi salah satu tengara Pelabuhan Kaohsiung dengan mercu suar antik dan Benteng Cihou, kampung nelayan Cijin, kuil keramat Dewi Laut (Tian Hou), dan pelbagai situs berada di Pelabuhan Kaohsiung. Warga dan peziarah datang ke Kuil Tian Hou untuk meminta berkah. Di sela ibadah, terdengar lamat-lamat bunyi peluit kapal yang silih berganti melintas di pelabuhan.

”Kaohsiung kota industri terbesar di Taiwan. Tempat bersejarah dipelihara dan taman didirikan,” kata Sabina, mahasiswi Indonesia di Ursuline College Kaohsiung, Taiwan.

Pelabuhan Kaohsiung tidak seram dan kumuh. Tersedia ruang publik dan tidak melulu mal yang dibangun di pusat ekonomi Taiwan yang memiliki luas setara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten itu.

Bahkan, perusahaan pelayaran di Taiwan turut memelopori pelestarian sejarah. Perusahaan pelayaran, seperti Evergreen dan Wan Hai, menyumbangkan banyak artefak, seperti baling- baling raksasa dari kapal cargo mereka yang dipajang di depan Museum Sejarah Kaohsiung. Hulu Sungai Kaohsiung, yang disebut Love River, dibenahi sehingga aman dan nyaman untuk bersantai.

”Penataan kota yang cerdas dan kreatif menambah daya saing sebuah kota. Kreativitas itu membantu kota-kota Eropa keluar dari krisis ekonomi global tahun 2008,” ujar pakar kerja sama Urban Uni Eropa, Mart Grijsel, di Kaohsiung, tahun lalu.

Sayang pendekatan pembangunan di Jakarta dan Indonesia umumnya belum cerdas dalam mengawinkan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Padahal, tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok, terdapat titik potensi wisata serupa, seperti di kawasan Cilincing, Ancol, dan Semper hingga Pasar Ikan.

Situs bersejarah, seperti makam Mbah Priuk, Gereja Tugu, rumah Si Pitung, hingga satu-satunya tempat pendaratan pasukan Inggris di Asia pada masa perang Napoleon (1811) melawan pasukan Perancis-Belanda di Cilincing seolah tenggelam dalam kehidupan pelabuhan.

Situs lain, seperti Stasiun KA Tanjung Priok, kamp-kamp tawanan perang Sekutu pada masa pendudukan Jepang, dan kapal-kapal militer tipe pengangkut tank (landing ship tanks) peninggalan pendaratan Normandia 1944 (D-Day) yang tersisa kurang dari 10 unit di dunia pun ada di Tanjung Priok!

Anggota staf Penerangan Komando Lintas Laut Militer Mayor, Hari, di Koja menceritakan, warga Amerika Serikat yang berkunjung ke pangkalan terkejut melihat adanya LST bersejarah peninggalan operasi D-Day yang difilmkan dalam Band of Brothers masih dioperasikan TNI AL.

”Sebagai contoh KRI Teluk Tomini merupakan saksi sejarah pendaratan di Normandia. LST lain juga pernah terlibat dalam operasi Mac Arthur saat bertempur di Pasifik. Kapal-kapal itu juga berjasa dalam operasi tempur di Indonesia pada medio 1960 hingga pemulangan pengungsi dari Timtim pascajajak pendapat,” ujar Hari.

Namun, potensi menggabungkan wisata sejarah dengan aktivitas pelabuhan belum menjadi prioritas penguasa. Mereka hanya tahu melayani kepentingan pemodal yang umumnya orang kaya baru. Sayangnya, para pemodal itu belum punya kesadaran melestarikan sejarah sebagai modal menapaki masa depan. Pengelola Tanjung Priok harus belajar setidaknya dari Pelabuhan Kaohsiung. (Iwan Santosa)***

Source : Kompas, Jumat, 16 April 2010 | 03:58 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar