Jumat, 16 April 2010

LBH: Setiap Tahun Operasi Penertiban Selalu Memakan Korban Jiwa

Edi Supriyatno menemani anaknya, Ade Supriyatno, korban kerusuhan Koja di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta Pusat, Kamis (15/4). Ade menderita luka parah di bagian kepala dalam bentrokan yang melibatkan warga dan petugas satpol PP saat penggusuran makam Mbah Priuk. (Kompas/Wisnu Widiantoro)***

Satpol PP Harus Dievaluasi

LBH: Setiap Tahun Operasi Penertiban Selalu Memakan Korban Jiwa

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah melakukan evaluasi atas peran dan fungsi satuan polisi pamong praja. Bahkan, jika perlu satpol PP dihapuskan dan digantikan dengan polisi sipil.

Desakan itu disampaikan secara terpisah oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Priyo Budi Santoso dan Wakil Ketua Komisi II Teguh Juwarno, Kamis (15/4), pasca-bentrokan antara satpol PP dan warga di Koja, Jakarta Utara.

”Mendagri (Menteri Dalam Negeri) harus meninjau kembali keberadaan satpol PP,” kata Priyo Budi Santoso.

Evaluasi itu penting karena kerusuhan yang melibatkan satpol PP dengan warga semakin marak terjadi di berbagai kota. Bentrokan biasanya terjadi pada saat penggusuran lapak pedagang kaki lima, permukiman liar, dan eksekusi tanah sengketa.

Teguh menambahkan, dalam waktu dekat, Komisi II akan memanggil Mendagri Gamawan Fauzi dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk mengevaluasi satpol PP. Evaluasi pasukan berseragam di bawah pemerintah daerah itu tak diatur dalam Undang-Undang Pertahanan Negara.

Menurut Teguh, sebaiknya posisi dan peran satpol PP diganti oleh polisi sipil, yakni anggota Kepolisian Negara RI yang diperbantukan.

Usulan itu bak gayung bersambut. Mendagri mengatakan segera mengevaluasi kebijakan yang mengatur mengenai satpol PP. Pada Januari 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP yang merupakan turunan dari UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

”Dalam PP sudah diatur mengenai struktur organisasi satpol PP. Pembinaan umum ada di tangan Mendagri, sedangkan teknis fungsional ada di masing-masing kepala daerah. Untuk menjadi satpol PP juga ada syaratnya, seperti berpendidikan SMU dan berusia 21 tahun. Dengan adanya kasus ini, kami akan mengevaluasi lagi di mana kekurangan peraturannya,” katanya.

Kajian yang akan dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bukan untuk menentukan salah dan benar, tetapi dalam rangka penyusunan regulasi untuk pembinaan satpol PP.

Hal ini penting karena di era otonomi daerah, daerah memerlukan aparat atau perangkat untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Salah satunya adalah menegakkan peraturan daerah.

”Untuk itulah ada satpol PP, bahkan UU membolehkan satpol PP mengadakan penyelidikan dalam kaitan menegakkan perda. Kalau sekarang ada tuntutan satpol PP dibubarkan, mungkin ini kemarahan, jadi kita harus memakluminya,” ujar Mendagri.

Makan korban

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat menyatakan mendukung langkah yang dilakukan DPR maupun Kementerian Dalam Negeri yang akan mengevaluasi peran dan fungsi satpol PP.

”Fungsi utama satpol PP adalah mengawal perda dan menjaga ketertiban umum. Akan tetapi, di lapangan mereka justru lebih utama menjadi pengeksekusi lahan bagi kepentingan pengusaha,” kata Nurkholis.

Padahal, fungsi itu semestinya dilakukan aparat hukum yang berwenang dan hanya bisa dilaksanakan ketika ada putusan pengadilan.

LBH Jakarta juga mencatat, setiap tahun selalu ada korban tewas akibat aksi eksekusi yang dilakukan satpol PP. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia. Selain itu, kekerasan juga mengiringi tindakan mereka. Data LBH menunjukkan, hampir semua anak jalanan di Jakarta pernah menjadi korban kekerasan satpol PP.

Terkait fungsi mengawal pelaksanaan perda, LBH justru menekankan agar ada perampingan tugas dan mengerucutkan fungsi itu dibebankan kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). PPNS dinilai memiliki kompetensi dan pemahaman hukum yang memadai.

Sementara itu, sekitar 500 orang yang tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat dan beberapa pemuda beratribut partai politik berunjuk rasa di depan Balaikota DKI Jakarta. Mereka menuntut pertanggungjawaban Pemprov DKI Jakarta atas kekerasan yang terjadi saat penertiban makam Mbah Priuk.

Massa juga menuntut pembubaran satpol PP yang dinilai selalu melakukan kekerasan untuk menertibkan warga kecil. Massa juga menuntut Kepala Satpol PP DKI Jakarta Harianto Badjoeri dicopot dari jabatannya. Harianto Badjoeri dinilai bertanggung jawab atas terjadinya berbagai kekerasan, termasuk yang terjadi saat penertiban makam Mbah Priuk.

Wakil Ketua Komisi Nasional HAM Nur Cholish menyarankan agar fungsi satpol PP dikembalikan sesuai tujuan awal pembentukannya, yaitu menjaga balaikota dan kantor pemerintah. Satpol PP tak dapat difungsikan sebagai penegak perda karena itu merupakan fungsi kepolisian.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengatakan, Pemprov DKI tidak akan membubarkan satpol PP karena mereka diperlukan untuk melaksanakan perda. Namun, pihaknya berjanji akan menyelidiki kasus itu dan memberikan sanksi kepada anggota satpol PP yang terbukti bersalah.

Ketua DPRD DKI Jakarta Ferrial Sofyan juga mendukung agar satpol PP tidak dibubarkan karena sangat diperlukan. Namun, Ferrial meminta cara-cara kekerasan oleh satpol PP ditinggalkan. (NEL/WIN/ECA/SIE/NTA) ***

Source : Kompas, Jumat, 16 April 2010 | 03:59 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar