Sabtu, 22 Januari 2011

Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar

Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar

BANGKOK - Untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran di sekolah, hindari penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Dengan bahasa asing, siswa dikhawatirkan justru akan bingung dan tidak mengerti persoalan atau malah salah pengertian.

Kekhawatiran itu diungkapkan berkali-kali oleh para peserta dan pembicara dalam sesi diskusi konferensi internasional mengenai ”Language, Education, and the Millenium Development Goals (MDGs)”, Rabu (10/11) di Bangkok, Thailand.

Dari berbagai pengalaman yang diceritakan para peserta dan pembicara, mayoritas bahkan menilai, penggunaan bahasa asing yang terlalu dini di taman bermain dan taman kanak-kanak justru akan mengacaukan kemampuan berbahasa anak.

”Di satu sisi, anak tidak fasih bahasa Inggris karena tidak dipakai sehari-hari. Di sisi lain, penggunaan bahasa ibu juga lama-lama menjadi tidak lancar karena di sekolah mulai ditinggalkan,” kata penasihat pendidikan di Save the Children Inggris, Helen Pinnock, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Luki Aulia.

Direktur SIL International-LEAD Asia Catherine Young juga khawatir jika siswa tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun minat dan semangat anak bisa menurun dan berakhir dengan drop out.

Keberhasilan MDGs

Sehari sebelumnya, saat membuka konferensi, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva mengatakan, ”Ilmu pengetahuan apa pun akan lebih cepat dimengerti siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri.” Apalagi di masyarakat yang tinggal di pedesaan, daerah perbatasan, dan kelompok masyarakat miskin.

Masyarakat pedesaan, daerah perbatasan, dan miskin itulah yang dinilai Abhisit masih tertinggal karena tidak bisa memperoleh informasi atau pengetahuan hanya karena mereka tidak menguasai bahasa nasional ataupun bahasa internasional.

Bahkan, menurut pakar bahasa Inggris dari University of Oxford, Inggris, Suzanne Romaine, masyarakat lokal, terutama kelompok minoritas, akan tergilas roda pembangunan jika mereka masih saja terhambat urusan bahasa. Jika pemerintah mau peduli untuk mempertahankan bahasa ibu, taraf hidup masyarakat dipastikan akan membaik.

”Berikan kebebasan masyarakat untuk menggunakan bahasa mereka sebagai sarana untuk mengembangkan diri sendiri,” kata Romaine.

Jika masyarakat lokal dipaksa untuk menggunakan bahasa selain bahasa ibu, Helen Pinnock khawatir masyarakat takut mencoba hal baru dan akan kian tertinggal.

Bukan ukuran

Helen menilai, tidak ada salahnya mengajarkan bahasa asing di jenjang pendidikan dasar asalkan menjadi salah satu mata pelajaran dan bukan bahasa pengantar. Helen juga mengingatkan, bahasa asing sebagai bahasa pengantar tidak bisa dijadikan ukuran mutu suatu sekolah.

”Yang penting benahi metode pengajaran, cara belajar siswa, dan cara guru mengajar. Kuncinya, buat anak nyaman belajar di sekolah, apakah itu dengan bahasa lokal, nasional, atau asing,” kata Helen.

Dalam lingkup yang lebih luas, Helen mengingatkan pentingnya menentukan arah pendidikan. Sumber daya manusia seperti apa yang diharapkan akan dihasilkan institusi pendidikan untuk menghadapi tantangan masa depan.

”Sangat bergantung pada rencana pembangunan jangka panjang pemerintah. Setelah tahu itu, barulah kurikulum seperti apa yang harus dibuat,” ujarnya.

Pengakuan

Suzanne Romaine mengaku khawatir dengan banyaknya negara yang menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apalagi jika latar belakang pemikirannya hanya agar bisa diakui memiliki standar internasional.

Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar justru akan berisiko bagi negara-negara yang bahasa utamanya bukan bahasa Inggris. Kondisi belajar-mengajar akan semakin tidak jelas karena masih banyak guru yang tidak mahir berbicara dalam bahasa Inggris, apalagi mengajar dalam bahasa Inggris.

Daripada menggunakan bahasa Inggris, Romaine mengusulkan agar lebih baik menggunakan bahasa lokal, terutama bagi siswa yang tinggal di daerah pedesaan atau daerah terpencil.

”Ajarkan bahasa ibu dulu. Baru seiring dengan itu, sedikit demi sedikit, ajarkan bahasa lain,” kata Romaine.

Source : Kompas, Kamis, 11 November 2010 | 04:04 WIB

Ada 8 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • sri adisusilo

Kamis, 11 November 2010 | 14:40 WIB

no 1 diajarkan pada anak adalah bhs ibu, kemudian bhs indonesia, baru bahasa asing. Tulisan ini sangat agus, mengingatkan pada yang sadar, anak harus diarahkan menjadi orang Indonesia yang punya kepribadian, bukan menjadi manusia global yang tak tahu jati dirinya. "saya anak mana, saya anak siapa"

Balas tanggapan

  • Arya Seta

Kamis, 11 November 2010 | 14:05 WIB

Semoga Menteri Pendidikan Nasional kita membaca artikel ini dan menyadari bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam sistem pendidikan kita adalah pilihan yang salah. Bahasa Inggris tidak perlu menjadi bahasa sehari-hari di sekolah. Biarkan bahasa William Sheakespeare ini menjadi bahasa pengetahuan tertentu atau bahasa tambahan. Semoga beliau juga mengingat atau mencari tahu bagaimana kerja keras Komisi Istilah pada tahun 50-an dalam memuliakan bahasa Indonesia di dunia pendidikan.

Balas tanggapan

  • made pasmidi

Kamis, 11 November 2010 | 12:47 WIB

Penguasaan bahasa ibu paling dulu, kemudian bahasa di lingkungan, makin lama makin meluas sesuai keperluan.

Balas tanggapan

  • didit purwanto

Kamis, 11 November 2010 | 12:40 WIB

setuju, tapi bagaimana dg program RSBI yg di Indonesia, terutama yg di daerah kabupaten pelosok, yg mana kemungkinan siswanya yg melanjutkan ke luar negeri tidak ada, atau sangat kecil

Balas tanggapan

  • ilham muhammad

Kamis, 11 November 2010 | 12:17 WIB

materi pelajaran dengan pengantar bahasa lokal saja kadang susah dicerna, apalagi bahasa asing. kebijakan pemerintah tentang RSBI tidak matang, agar dibilang mendunia padahal membunuh karakter peserta didik

Balas tanggapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar