TENGGELAMNYA PETANI GUREM
Kekalahan Entung, Ancaman Lumbung Padi
Amah, petani di Desa Kedawung, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat, mengais padi dengan ani-ani di lahan garapannya yang terserang wereng. Banyak petani di Karawang yang terbentur kebutuhan untuk hidup menggadaikan sawah mereka. (KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN)***
Oleh Mukhamad Kurniawan
Tanah subur, jaringan irigasi teknis, dan subsidi pemerintah nyatanya tak cukup untuk mengangkat hidup Entung (65). Puluhan tahun membanting tulang di sawah, ia akhirnya takluk oleh tuntutan kebutuhan hidup. Senasib dengannya, para petani gurem lain di Karawang, Jawa Barat, pun kian gamang menghadapi perkembangan zaman.
Hingga tahun 2000-an, Entung adalah aktivis petani di wilayahnya. Ia menjabat Ketua Kelompok Tani Sri Rahayu di Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok; pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan Rengasdengklok; juga aktif di organisasi petani lain.
Dengan beberapa ”kendaraan” itu, Entung aktif membela petani, seperti saat menentang kebijakan impor beras, kenaikan harga pupuk, atau soal harga gabah yang terpuruk.
Akan tetapi, kebutuhan keluarga mengubur aktivitas itu. Lahan seluas 2,5 hektar (ha) warisan orangtua, termasuk milik Tati (62), istrinya, dijual seharga Rp 65 juta-Rp 70 juta per ha. Tahun 2004, ia tak punya sawah lagi. Entung pun memilih mundur dari beberapa organisasi dan sejak itu mengandalkan hidup dari anak-anaknya.
Pasangan Iwir (60)-Endeng (50) memiliki kisah yang nyaris sama. Ketiadaan uang untuk membayar biaya sekolah anak, berobat, dan kebutuhan dapur memaksa Iwir menggadaikan 1 ha sawahnya di Desa Amansari, Kecamatan Rengasdengklok, seharga Rp 15 juta tahun 1995. Hingga lima tahun kemudian, Iwir belum juga mampu menebusnya. Dan, keduanya harus bekerja serabutan sebagai buruh tandur (tanam), tukang ngarambet (pembersih rumput liar), atau buruh panen, sekadar untuk bertahan hidup.
Petani gurem lain di Karawang kebanyakan memperoleh lahan dari warisan orangtua.
Karena itu, kepemilikannya pun mengecil. Seperti Cholil (47), petani di Desa Sukasari, Kecamatan Purwasari, yang mewarisi 0,2 ha sawah. Dengan 0,2 ha, Cholil biasa memanen 1 ton gabah kering panen (GKP) per musim. Jika harga gabah Rp 3.000 per kg GKP, pendapatan kotornya Rp 3 juta. Dipotong ongkos produksi sekitar Rp 800.000, Cholil tinggal mengantongi Rp 2,2 juta untuk hidup hingga empat bulan. Artinya, pendapatan Cholil Rp 550.000 per bulan. Ini jauh di bawah kebutuhan hidup layak tahun ini (berdasarkan survei Dewan Pengupahan Kabupaten tahun 2009) sebesar Rp 1,262 juta per bulan atau upah minimum Kabupaten Karawang 2010 sebesar Rp 1,11 juta.
Pewarisan tanah dari orangtua kepada anak memicu fragmentasi. Sawah akhirnya tak mampu menopang hidup pemiliknya. Kini rata-rata kepemilikan sawah petani Karawang bahkan hanya 0,33 ha. Lumrah kalau petani menempuh jurus terakhir: menjual sawah warisan!
Amil Oyib (60), warga Desa Parakanmulya, Kecamatan Tirtamulya, menikmati betul kondisi itu. Beberapa tahun terakhir dia beralih profesi menjadi makelar lantaran banyak tetangganya yang berniat menjual atau menggadaikan lahan.
Kamis (2/9) siang, lima lokasi sawah milik empat tetangganya dia tawarkan. Luas lahan bervariasi, dari satu bahu (0,7 ha) hingga 4 ha dengan harga jual Rp 22.000-Rp 25.000 per meter persegi. ”Ayo Mas beli, biasanya enggak lama (1-2 bulan), sawah laku,” ujarnya menawarkan.
Ketidakseimbangan pendapatan dan beban kebutuhan hidup mendorong petani gurem menjual lahan. Akibatnya, mereka tidak hanya kian terjebak dalam kemiskinan, tetapi juga pada kekalahan karena kehilangan tanah. Ironisnya, mereka tinggal di daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, Jabar!
Sejak pemerintah menetapkan 11.917 ha lahan di Karawang selatan sebagai daerah pengembangan kawasan, zona, dan kota industri tahun 1989, maraklah alih fungsi lahan pertanian. Selama 17 tahun, hingga tahun 2006, 2.502 ha sawah telah beralih fungsi untuk keperluan perumahan (1.213 ha), industri (947 ha), dan jasa (97,3 ha).
Perumahan selalu mendominasi kebutuhan lahan. Proyeksi kebutuhan rumah yang belum terpenuhi tahun 2010, berdasarkan kajian Badan Perencana Daerah Karawang, mencapai 117.959 unit, meningkat 54 persen dibandingkan tahun 2006 sejumlah 76.478 unit. Dengan asumsi setiap unit memerlukan 60 meter persegi tanah, butuh 707,7 ha lahan untuk membangun 117.959 rumah. Dengan produktivitas 7,32 ton GKP per ha (berdasarkan realisasi produksi musim tanam 2009/2010) dan rata-rata dua kali tanam setahun, kehilangan 707 ha sawah berarti kehilangan potensi produksi 10.350 ton GKP per tahun.
Dengan produksi padi yang mencapai lebih dari 1 juta ton GKP per tahun, Karawang adalah penyumbang sekitar 10 persen produksi Jabar; dan Jabar adalah salah satu provinsi utama produsen padi nasional. Terus berkurangnya lahan pertanian di lumbung padi berarti ancaman bagi ketahanan pangan dalam jangka panjang.
Koordinator Serikat Petani Karawang Deden Sofian berpendapat, dengan lahan rata-rata 0,33 ha, sulit bagi petani untuk bertahan hidup, bahkan jika pemerintah menyubsidi harga pupuk dan menyalurkan kredit usaha, sebab tanah merupakan faktor produksi kunci tak tergantikan.
Bupati Karawang Dadang S Muchtar beberapa kali sebenarnya sudah menegur soal rencana pengurukan dan alih fungsi sawah. Terhadap rencana pembangunan pelabuhan di pesisir utara Karawang pun, dia berharap tak ada sawah irigasi teknis yang dikorbankan.
Namun, mempertahankan sawah bukanlah perkara mudah....
Source : Kompas, Kamis, 16 September 2010 | 04:18 WIB
Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda
- Fitriifah Lat
Kamis, 16 September 2010 | 16:59 WIB
Kenapa ya berita seperti ini sering terjadi, pemerintah please beri perhatian lebih tdh masalh rakyat dong
- wilarno setiawan
Kamis, 16 September 2010 | 10:17 WIB
Apakah UU No 41 tahun 2009 tentang "Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan" akan mampu mensiasati proses alih fungsi lahan pertanian pangan secara efektif? Das sollennya tentu bisa.