“Gugatan” Pemerintah Daerah Soal Pembagian Keuangan
Oleh : Satim
SEBUAH pemandangan yang selalu aneh pada setiap menjelang tutup tahun, adalah begitu padatnya orang-orang yang berkepentingan dengan bank. Baik bank milik pemerintah maupun bank-bank swasta komersial lainnya. Yang paling kentara, kepadatan warga nasabah yang berkepentingan di bank-bank milik pemerintah daerah, seperti Bank Jabar Cabang Indramayu. Hari-hari menjelang tutup tahun, ribuan orang memadati ruangan maupun halaman Bank Jabar Cabang Indramayu itu. Ada apa ? Dan mengapa hal demikian selalu terjadi setiap tahun ?
Selidik punya selidik, pemandangan kepadatan nasabah yang berurusan dengan Bank Jabar Cabang Indramayu itu, konon, karena semua dana-dana pembayaran dari Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu justru dicairkan pada detik-detik menjelang tutup tahun dan menjelang tahun baru. Ini termasuk pembayaran semua proyek yang didanai pemerintah yang pencairannya dikeluarkan kas pemerintah daerah tersebut yang ditransfer ke rekening masing-masing melalui Bank Jabar Cabang Indramayu.
Namun yang belum terpecahkan solusinya, justru mengapa semua transaksi keuangan harus menumpuk di akhir tahun anggaran ? Bukankah ada baiknya segala macam tansaksi yang berkaitan dengan pengeluaran anggaran pemerintah daerah diberesi jauh-jauh hari sebelum tutup tahun ? Inilah yang sebetulnya ingin penulis uraikan dari sudut pandang realisasi anggaran pemerintah pusat untuk pemerintah Kabupaten Indramayu.
Sebenarnya ada tiga permasalahan yang ingin penulis uraikan dalam tulisan ini, pertama, mengapa pemerintah daerah dituding tidak mampu menyerap seluruh anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang mampu menciptakan lapangan kerja lebih banyak sehingga ikut mengurangi pengangguran ?
Kedua, mengapa pembangian prosentase dana bagi hasil maupun perimbangan masih dianggap tidak adil bagi pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah agak lambat dalam meningkatkan pembangunan, dan terjadi pula kelambatan dalam mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi yang ada di daerahnya ?
Ketiga, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap keuangan pemerintah daerah sepanjang tahun 2007 – 2008 menyimpulkan, bahwa mayoritas pengelolaan keuangan pemerintah daerah maupun pusat belum akuntabel dan mengikuti aturan akuntansi akuntabel, profesional dan transparan. Mengapa hal ini bisa terjadi ?
Meski menurut hemat penulis ada tiga permasalahan yang perlu diuraikan di sini. Namun mengingat keterbatasan halaman untuk sebuah artikel, sehingga penulis baru menyajikan satu pokok permasalahan seputar keterlambatan penyusunan anggaran pada pemerintah daerah dan realisasinya yang belum signifikan dalam mempercepat kemajuan pembangunan yang ada di daerah, seperti nasib yang dialami Pemerintah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Alasan yang selalu mengemuka soal keterlambatan penyusunan anggaran dan penyerapannya bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu adalah, karena faktor terlambatnya informasi alokasi anggaran dari pusat untuk daerah, serta belum mencapai angka maskimal dalam perolehan dana dari pemerintah provinsi maupun pusat, sehingga berdampak pada kecenderungan mengambangnya pencantuman nilai nominal dari provinsi maupun pusat dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) di awal tahun maupun pada tahun-tahun berjalan.
Mengamati perihal tersebut, penulis agak tertarik untuk mempelajari bagaimana yang terjadi dari keinginan pemerintah daerah soal dana bagi hasil pajak, retribusi maupun dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejumlah daerah tentunya mengharapkan, agar dana yang mengalir ke daerahnya lebih cepat dan lebih besar, sehingga turut mempercepat laju pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi yang ada di daerah.
Ketika muncul kritikan tentang keterlambatan pemerintah daerah dalam penyusunan RAPBD dan mengganggap pemerintah daerah selalu terlambat, kini telah muncul sanggahan balik dari pemerintah daerah yang merasa tidak mau dipersalahkan begitu saja. Sikap pembelaan pemerintah daerah ada kalanya menyalahkan pemerintah pusat yang selalu terlambat memberikan informasi alokasi anggaran untuk daerahnya, apalagi kalau sudah menyangkut pencairan dana pusat ke daerah juga selalu terlambat, sehingga mengakibatkan tidak terserap maskimal. Alhasil, temuan BPK menilai bahwa pengelolaan keuangan daerah pada umumnya cenderung masih “amburadul”, sehingga perlu dilakukan berbagai terobosan.
Temuan BPK itu tampaknya merupakan kritikan yang bersifat membangun untuk perbaikan pengelolaan keuangan pemerintah pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Pro Kontra Pengaturan Keuangan
Soal pengaturan keuangan pemerintah, tampaknya perlu adanya rujukan lagi di tengah “konflik” wacana soal pembagian keuangan antara pemerintah provinsi, pusat, dan daerah. Meski selama ini memang sudah ada peraturan dan perundang-undangannya yang mengatur semua itu. Namun demikian bukan berarti tidak memicu pro dan kontra oleh pemerintah daerah.
Gugatan pemerintah daerah terutama menyangkut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dicantumkan pula, bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 25% diserahkan kepada daerah. Dalam pelaksanaannya 26%, namun daerah meminta seharusnya lebih dari itu. Dengan alasan untuk lebih mempercepat laju pembangunan.
Hal-hal yang kerap dikritisi daerah juga menyangkut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lalu lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, di dalamnya memuat Pajak Kendaraan Bermotor plus Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Bagi daerah domisili kendaraan bermotor, tentu saja meminta bagian yang lebih besar lagi.
Meskipun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatir minimal 30% diberikan untuk daerah kabupaten/ kota penghasil/ domisili kendaraan. Yang selalu digugat daerah domisili kendaraan bermotor, justru dalam prakteknya muncul pula Peraturan Daerah (Perda) seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat yang mengesahkan, bahwa 30% untuk daerah kabupaten/ kota penghasil atau domisili kendaraan.
Daerah penghasil meminta, agar pengaturan tersebut direvisi kembali dan seharusnya 70% untuk daerah kabupaten/ kota penghasil atau domisili kendaraan bermotor. Seandainya belum ada perubahan-perubahan mekanisme itu, maka daerah penghasil beranggapan bahwa peraturan yang hanya mengesahkan 30% untuk daerah penghasil tersebut dianggap “tidak adil”.
Kesimpangsiuran tentang beragam pandangan soal pembangian keuangan tadi, mestinya dijadikan masukan bagi pemerintah pusat maupun provinsi untuk melakukan revisi-revisi sejumlah aturan yang dianggap menperlambat kemakmuran masyarakat di daerah. Jangan sampai menimbulkan kesan, bahwa selama ini tengah terjadi jurang pemisah yang amat berat menyangkut keuangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Selagi masih dalam koridor demi kemajuan pembangunan dan kemakmuran rakyat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sikap arif dan bijaksana, tampaknya merupakan sesuatu yang amat berharga di jaman ini.***