Susilo Bambang Yudhoyono membacakan sumpah jabatan pada acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014 dalam Sidang Paripurna MPR yang dipimpin Taufik Kiemas di Gedung Nusantara DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (20/10). (Foto : Kompas/Alif Ichwan)***
Indonesia Melangkah Maju
Presiden Bertekad Kurangi Kemiskinan dan Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan rakyat Indonesia untuk terus melangkah maju, rukun, dan bersatu menghadapi tantangan pada masa mendatang. Bangsa Indonesia juga diminta tidak lemah, lalai, dan besar kepala menghadapi situasi dunia yang masih dilanda berbagai krisis.
”Ingat, pekerjaan besar kita masih belum selesai,” ujar Presiden Yudhoyono dalam pidatonya setelah dilantik bersama Wakil Presiden Boediono periode 2009-2014 dalam Sidang Paripurna MPR di Gedung MPR/ DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (20/10).
Sidang Paripurna MPR dipimpin Ketua MPR Taufik Kiemas dan dihadiri 640 anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Acara itu dihadiri Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang saat itu mengakhiri masa jabatannya, mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wapres Try Sutrisno, dan sejumlah tamu khusus, seperti Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, PM Timor Leste Jose Ramos Horta, PM Malaysia Tun Nadjib, dan utusan khusus negara sahabat lainnya.
Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono memuji mantan Wapres Kalla yang telah menjalankan tugasnya dengan baik sehingga namanya akan dicatat dan dikenang sepanjang masa.
”Pekerjaan yang masih menjadi tantangan pada masa mendatang di antaranya krisis ekonomi dunia yang masih belum selesai dengan ditandai volume perdagangan dan arus investasi dunia yang belum pulih, juga fluktuasi harga minyak dunia,” ujarnya.
Menurut Presiden, bangsa Indonesia patut bersyukur dan berbesar hati. Di tengah gejolak dan krisis politik di sejumlah wilayah dunia, Indonesia tetap tegak dan tegar sebagai negara demokrasi yang makin kuat dan stabil. ”Bahkan, di tengah badai finansial dunia yang terjadi, bangsa Indonesia masih dapat menikmati pertumbuhan ekonomi positif. Di tengah maraknya konflik dan disintegrasi di sejumlah wilayah dunia lain, bangsa Indonesia justru rukun dan bersatu,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Presiden, tidak mengherankan apabila akhir-akhir ini banyak liputan media internasional yang menjuluki Indonesia sebagai bangsa yang berhasil dalam mengatasi krisis dan tantangan berat selama 10 tahun terakhir.
Namun, semua itu jangan membuat bangsa Indonesia lemah, lalai, apalagi besar kepala. Kepala Negara mengingatkan, sendi-sendi perekonomian nasional harus diperkuat guna meminimalkan dampak krisis keuangan dunia. ”Dengan peningkatan ekonomi, kita akan mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun pemerintahan yang baik, dan memberantas korupsi,” katanya.
Presiden juga mengajak para pemimpin bangsa untuk tetap kompak apa pun warna dan pilihan politiknya.
Kekompakan para pemimpin bangsa itu penting untuk menghadapi tantangan dunia yang kian berat.
Penegakan keadilan
Sejumlah pekerjaan rumah menunggu duet Yudhoyono-Boediono, di antaranya terkait penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Usman Hamid, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, kepada Kompas, Selasa, berharap agenda Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM 2004-2009 dapat dilanjutkan dengan prioritas pada penegakan keadilan dan martabat manusia.
”Pemerintah masih diwajibkan menyelesaikan soal ketidakadilan masa lalu sebab itu adalah akar dari tidak terhormatinya hak dan kebebasan fundamental,” kata Usman.
Presiden diharapkan bisa membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc demi keadilan legal dan merumuskan kebijakan-kebijakan pemulihan martabat korban pelanggaran HAM ad hoc. Jika hal itu dilakukan, akan menjadi catatan sejarah tersendiri dalam dekade kedua reformasi.
Menurut Usman, Presiden juga masih perlu menyiapkan prioritas kebijakan-kebijakan terhadap masalah HAM yang besar, seperti rehabilitasi mantan tahanan politik, penyelesaian tragedi Trisakti, peristiwa Semanggi, dan penculikan. Termasuk pembaruan reformasi agraria agar pelanggaran hak ekonomi sosial berkurang.
Febri Diansyah, peneliti Indonesian Corruption Watch, juga mendesak agar dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Yudhoyono membenahi institusi penegak hukum. Untuk program lima tahun mendatang, proses penegakan hukum di kepolisian dan kejaksaan harus didorong. ”Harus ada reformasi lembaga negara yang bergerak di bidang penegakan hukum,” katanya.
Untuk mereformasi birokrasi, Febri menyarankan agar RAN-Pemberantasan Korupsi (PK) 2004-2009 dievaluasi terlebih dahulu. Penyusunan RAN-PK 2009-2014 kemudian mengacu kepada langkah-langkah yang telah dilakukan sehingga RAN-PK tidak sekadar agenda di atas kertas.
Timpang
Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis menilai susunan kabinet yang disusun Yudhoyono, terutama terkait tim hukum dan perekonomian, masih mencerminkan praktik bagi-bagi kekuasaan dan politik balas budi.
”Padahal, yang justru diperlukan saat ini adalah saling keterkaitan antara tim hukum dan ekonomi di dalam pemerintahan mendatang. Saya melihat kondisinya masih timpang. Di antara keduanya masih belum bisa saling menunjang,” katanya.
Todung mencontohkan, saat ini sudah muncul sejumlah kekhawatiran dan kebingungan dari banyak kalangan pengusaha asing, terutama terkait penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Menurut Todung, UU itu mewajibkan setiap kontrak kerja sama, bahkan dengan perusahaan asing, menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi itu, menurut dia, menunjukkan ada yang salah dalam proses legislasi penyusunan aturan perundang- undangan selama ini.
Pluralisme
Menanggapi ajakan Presiden Yudhoyono dalam pidatonya yang meminta masyarakat Indonesia tetap menjaga pluralisme sebagai upaya untuk menjaga jati diri bangsa, peneliti The Wahid Institute, Rumadi, Selasa, minta pemerintah bersikap tegas.
Pemerintah perlu bekerja serius mengawal pelaksanaan UUD 1945, khususnya terkait persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan. DPR dan DPRD juga perlu lebih sensitif dengan persoalan pluralisme dalam membuat berbagai aturan.
”Butuh keseriusan pemerintah dan DPR/DPRD untuk mengawal konstitusi dengan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ujarnya.
Isu-isu pluralitas masih akan berkutat dengan masalah-masalah yang sudah pernah terjadi, seperti keberadaan kelompok keagamaan yang dituding sesat, persoalan antarkelompok masyarakat, antaragama, serta persoalan pendirian tempat ibadah.
Rumadi berharap Yudhoyono dapat menepati janjinya selama kampanye untuk menertibkan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. (HAR/DWA/IDR/MZW)***
Source : Kompas, Rabu, 21 Oktober 2009 | 03:00 WIB