Sejumlah perajin batik menunggu giliran mendapat kain mori dan malam untuk membatik dari pengelola pasar batik di Pasar Imogiri Baru, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (1/10). Sebanyak 35 perajin mengambil bahan batik di tempat ini untuk dikerjakan di rumah. Setelah batik setengah selesai, kain diserahkan kembali dan mereka mendapat imbalan Rp 30.000-Rp 50.000 per lembar kain batik. Kain kemudian diwarnai dan dipasarkan di Yogyakarta. (Foto : Kompas/Idha Saraswati Wahyu Sejati)***
BATIK
Upaya Melestarikan Tradisi
Ny Amad Sawabi (80) duduk di atas ambin bambu sambil membereskan buntalan kainnya. Kamis (1/10) siang, ia mendapat kain mori baru dari pengelola pasar batik di Pasar Imogiri Baru, Kabupaten Bantul, DIY.
”Niki angsal jatah mori malih, nyuwunipun kawung kupu (Ini saya mendapat dapat jatah kain mori lagi, mintanya motif kawung kupu),” katanya.
Selain Amad, ada 34 perajin batik lain dari Imogiri yang menjadi anggota pasar batik. Setiap Kamis, mereka datang ke pasar batik untuk mengambil jatah kain mori dan malam. Setelah selesai dibatik di rumah, mereka membawa kain ke pasar untuk mendapat imbalan Rp 30.000-Rp 50.000 per lembar. Dari pasar batik, karya perajin Imogiri dibawa ke Yogyakarta untuk diwarnai dan dipasarkan.
Di Imogiri, membatik sudah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Amad yang berasal dari Desa Wukirsari mengaku mulai membatik sejak usia 15 tahun. Tradisi membatik ia turunkan ke putrinya, Supartinah (59), yang juga menjadi anggota pasar batik.
Ketua Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad Larasati Suliantoro Sulaiman mengatakan, pasar batik yang beroperasi enam bulan lalu merupakan program lanjutan dari kegiatan pelestarian batik pascagempa bumi Yogyakarta 2006. ”Dua hari setelah gempa, kami datang ke Imogiri. Rumah perajin batik hancur. Kalau dibiarkan, batik bisa hilang,” katanya.
Ia pernah membaca sebuah buku yang menyebut bahwa meletusnya Gunung Ungaran telah memusnahkan sentra batik terbesar di Jawa Tengah.
Di luar bencana alam, tradisi membatik menghadapi banyak tantangan. Menurut Suliantoro, tahun 1950-an para perajin batik di Pekalongan sempat mengalami krisis kain mori. Lalu, tahun 1980 perajin batik mulai mendapat saingan dengan munculnya tekstil bermotif batik (printing). ”Banyak perajin batik beralih profesi karena batiknya tak laku. Masyarakat lebih memilih batik printing,” ujarnya.
Kini, ketika batik Indonesia mendapat pengakuan sebagai warisan budaya tak benda dari kemanusiaan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco), batik printing lebih gampang ditemui daripada batik tulis. ”Batik itu dibuat dengan tangan manusia. Kalau dicetak, namanya bukan batik,” kata Suliantoro.
Sementara itu, hasrat untuk memberikan gambaran kepada generasi muda tentang batik sebagai salah satu seni budaya bangsa membuat Museum Batik Yogyakarta bertahan di bawah pengelolaan tiga generasi. ”Kami tak pernah untung. Bagi kami, ini kebanggaan sekaligus tanggung jawab,” kata Prayoga, Kurator Museum Batik Yogyakarta.
Dengan pengunjung rata-rata lima orang sehari, pemasukan dari tiket Rp 15.000 per pengunjung hanya memenuhi setengah dari biaya operasional museum yang berdiri tahun 1972 itu. Salah satu koleksi berharga museum itu batik pekalongan yang berusia lebih dari 200 tahun.
Guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono, menyayangkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap makna di balik motif batik sehingga kerap menggunakan secara tidak tepat.
”Saya pernah melihat batik parang yang merupakan kain khusus raja digunakan sebagai taplak meja. Ini bisa dibilang tak menghargai makna batik itu sendiri,” kata Timbul yang beberapa kali meneliti sejarah, makna, dan filosofi batik. (Irene Sarwindaningrum dan Idha Saraswati)***
Source : Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2009 | 04:14 WIB
No comments:
Post a Comment