Hidup Berdampingan dengan Anak Krakatau
Peserta pawai budaya dalam rangka Festival Krakatau XX di Bandar Lampung, Lampung, Sabtu (24/7). Festival Krakatau merupakan agenda untuk mempromosikan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda sebagai tempat wisata. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)***
Oleh Wisnu Aji Dewabrata dan Yulvianus Harjono
Titik hitam di laut yang tampak dari Pelabuhan Canti, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Minggu (25/7), mulai menunjukkan bentuknya. Titik hitam itu adalah Kapal Motor Batanghari, salah satu kapal yang berlayar dari Pulau Sebesi ke Canti. Kapal yang panjangnya sekitar 5 meter itu sarat dengan penumpang dan barang. Barang berukuran besar, seperti sepeda motor, diletakkan di atap kapal. Sementara penumpang duduk lesehan di dalam kapal, di atap, dan di anjungan kapal.
”Kalau mau ke Gunung Anak Krakatau, harus carter kapal. Soalnya tidak ada kapal ke Gunung Anak Krakatau, yang ada cuma ke Pulau Sebesi,” kata Ismail (49), pemilik warung makan di Pelabuhan Canti.
Setiap hari ada dua kali jadwal pelayaran, yaitu pukul 07.30 dari Pulau Sebesi ke Canti dan pukul 13.30 dari Canti ke Pulau Sebesi.
Pulau Sebesi adalah pulau berpenghuni yang letaknya paling dekat dengan Gunung Anak Krakatau. Perjalanan naik kapal dari Pulau Sebesi ke Gunung Anak Krakatau hanya 1,5 jam (sekitar 36 kilometer). Dari Pulau Sebesi, Gunung Anak Krakatau dapat terlihat samar-samar.
Pulau Sebesi terdiri atas empat dusun yang tergabung dalam satu desa, yaitu Desa Tejung Pulau Sebesi. Desa tersebut masuk Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan.
Menurut Kepala Desa Tejung Pulau Sebesi Syahroni, luas Pulau Sebesi sekitar 2.350 hektar. Jumlah penduduk mencapai 2.727 orang atau sekitar 850 keluarga.
”Setahu saya, Pulau Sebesi sudah dihuni sejak tahun 1950-an. Ayah saya lahir di Pulau Sebesi dan kakek saya dimakamkan di Pulau Sebesi,” kata Syahroni.
Pasrah dan waswas
Pasrah dan waswas, demikian perasaan warga Pulau Sebesi karena rumah mereka begitu dekat dengan Gunung Anak Krakatau. Apabila Gunung Anak Krakatau meletus, yang pertama kali tersapu adalah Pulau Sebesi.
Perasaan pasrah dan waswas itu mendorong warga Pulau Sebesi untuk selalu melakukan doa bersama di Gunung Anak Krakatau sekali setahun.
Siang itu, Minggu (25/7) pukul 13.30, puluhan warga Pulau Sebesi baru selesai melaksanakan doa bersama di hutan yang berada di kaki Gunung Anak Krakatau.
Doa bersama diawali dengan shalat dzuhur berjamaah, dilanjutkan membaca Surat Yasin dan membaca tahlil yang dipimpin imam masjid Pulau Sebesi.
Menurut Rahman (47), tokoh masyarakat Pulau Sebesi, doa bersama di Gunung Anak Krakatau dulu dilakukan setiap bulan Maulud (bulan ketiga penanggalan Jawa). Sejak ada Festival Krakatau, doa bersama digelar pada saat festival berlangsung.
”Anak Krakatau ini gunung yang berbahaya. Jadi, kami berdoa bersama untuk keselamatan warga Pulau Sebesi,” kata Rahman.
Rahman menceritakan, dulu doa bersama selalu diikuti dengan upacara melarung kepala kerbau ke laut. Namun, sekarang warga tidak lagi melarung kepala kerbau karena pemborosan. Warga merasa cukup melaksanakan doa bersama secara sederhana.
Bekas kedahsyatan letusan Gunung Krakatau tahun 1883 masih dapat ditemui hingga kini. Hayun (38), warga Pulau Sebesi, mengungkapkan, warga sering menemukan perabotan dapur, seperti cobek dan gelas, saat menggali tanah. Perabotan itu dihanyutkan gelombang tsunami dan terkubur dalam tanah.
Hayun mengutarakan, rasa waswas selalu menghantui warga Pulau Sebesi, apalagi ketika Gunung Anak Krakatau mulai batuk-batuk. Terakhir, Gunung Anak Krakatau menunjukkan peningkatan aktivitas tahun 2007 dan 2008 yang disertai keluarnya semburan asap, pasir, dan batu pijar.
”Waktu itu warga cemas, Gunung Anak Krakatau yang lagi batuk-batuk menimbulkan gempa kecil di Pulau Sebesi. Warga hanya bisa pasrah kepada Tuhan,” lanjut Hayun.
Untuk mengungsi meninggalkan Pulau Sebesi, kata Hayun, tidak mungkin karena kapal yang tersedia hanya belasan. Selain itu, warga memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Pulau Sebesi sehingga enggan meninggalkan Pulau Sebesi.
Pariwisata menggeliat
Selain mengandalkan perkebunan dan perikanan sebagai mata pencarian, warga Pulau Sebesi mulai serius menggeluti bisnis pariwisata. Di Pulau Sebesi ada tiga vila dan 12 rumah penduduk yang dapat disewa untuk homestay. Dalam seminggu ada 20-40 wisatawan datang ke Pulau Sebesi.
Pulau Sebesi dan sekitarnya memiliki banyak obyek wisata dan letaknya strategis. Pulau Sebesi memiliki daerah perlindungan laut (DPL) yang terumbu karangnya terjaga dan pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau. Tidak ada hambatan komunikasi menggunakan telepon seluler di Pulau Sebesi, bahkan jaringan internet tanpa kabel pun tersedia.
Terumbu karang di sekitar Pulau Sebesi dan Gunung Anak Krakatau merupakan surga bawah laut bagi penyelam. Warga Pulau Sebesi sudah bisa menjadi pemandu para penyelam.
Sayangnya, semua potensi itu belum maksimal karena keterbatasan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Pulau Sebesi. Warga masih mengandalkan genset atau panel surya bantuan pemerintah yang alatnya sudah mulai usang.***
Source : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 03:01 WIB