RENUNGAN IDUL ADHA
Haji, Sebuah Pengembaraan
Oleh Moeslim Abdurrahman
Di kalangan sufi, ada kisah menarik yang sering diceritakan, terutama menjelang orang mau berangkat haji. Dalam kisah itu diceritakan tentang dua santri, yaitu Si Fulan dan Si Rojul. Sebelum menuju ke Tanah Suci, kedua santri itu tidak lupa sowan dulu, pamitan kepada Kiai, guru yang mereka hormati yang selama ini menjadi panutan spiritual mereka.
Dengan senang hati, Sang Guru mendoakan agar kedua santri itu nanti memperoleh haji mabrur. Sudah tentu, sebagai seorang kiai, selain membekali doa, biarpun agak singkat, ia juga memberikan nasihat yang penting-penting. Tetapi, yang selalu ditekankan dalam nasihat itu, Kiai bilang, ingat ya bekal yang paling pokok menunaikan ibadah haji itu tidak lain adalah iman dan takwa kita sendiri.
Banyak orang berhaji, kata Kiai tersebut, hanya datang dengan jasmani, sambil membawa daftar permintaan dan mengingat-ingat doa apa yang seharusnya dibaca di tempat-tempat tertentu, tanpa berusaha secara rohaniah melakukan penyerahan batin dan spiritual sepenuh- penuhnya, sebagai submission kepada Khalik, Tuhan seru sekalian alam.
Seusai mendengarkan nasihat Kiai, dengan rasa hormat dan terharu, kedua santri tersebut mulailah melakukan perjalanan menuju Mekkah, kota suci, tempat berdirinya bayt-Allah, kiblat kaum Muslimin di seluruh dunia. Mereka sengaja berpisah, masing-masing menempuh rutenya sendiri, yang penting keduanya akan bertemu di tanah haram, agar dalam perjalanan itu ada pengalaman yang berbeda, ada juga horizon yang berbeda.
Singkat cerita, selama kedua santrinya pergi haji itu, tidak ada kabar tidak ada berita. Tahu-tahu, begitu selesai musim haji, eh Si Fulan dan Rojul datang lagi menemui Kiai-nya.
Dengan syukur alhamdulillah, Kiai tersebut menyambut, merasa gembira, karena kedua santri kesayangannya telah pulang. Bagaikan seorang anak yang baru dilahirkan, Kiai tersebut memandang keduanya dengan mata berseri-seri karena setiap orang pulang dari haji memang dianggap dosanya lunas, kembali putih dan bersih seperti warna kapas.
Bahkan, kata Kiai itu, selama 40 hari kepulangannya, Si Fulan dan Rojul masih membawa berkah dan dapat memberkahi orang lain. Betapa Si Fulan gembira dengan sambutan Kiai-nya itu. Ia kemudian mulai menceritakan bagaimana perjalanan haji yang telah ditempuhnya.
Sewaktu pertama kali masuk Masjidil Haram, ia bilang hampir-hampir tak bisa melanjutkan langkah kakinya. Dengan nada sedikit terharu, ia menggambarkan betapa suasana emosionalnya tatkala itu melihat, oh inilah rumah Tuhan yang didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim AS yang kemudian menjadi arah sujud berjuta-juta umat Islam sekarang ini. Sambil tak henti-hentinya membaca subhanallah, Si Fulan menangis tersedu-sedu karena dalam hidupnya ternyata, toh, dikaruniai kesempatan bisa datang ke Mekkah, dan bisa bersembahyang di dekat Kabah dan secara fisik memang sangat dekat sekali. Si Fulan kemudian melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad, dan tidak lupa ia berdoa di Multazam.
Perasaan terharu dan sempat menangis yang kedua kalinya adalah tatkala ia mendaki bukit Rahmah di Arafah. Betapa di tempat itu, ia ingat kisah Nabi Adam AS yang dipertemukan kembali dengan istrinya setelah turun dari surga.
Yang ketiga, dalam seluruh paket perjalanan hajinya itu, Si Fulan juga mengaku tidak bisa menahan tangisnya sewaktu di Madinah berziarah ke makam Rasulullah. Sungguh, ujarnya, sebagai seorang pelaku sufi yang selama ini selalu mendambakan dalam mimpinya agar bisa bertemu Nabi Muhammad, ia merasa bahagia sekali ada di sana, dekat dengan tempat jasad nabi tersebut disemayamkan.
Dengan rendah hati tampak sekali Si Fulan ingin segera mendapat konfirmasi dari Kiai-nya, apakah dengan menangis di tiga tempat tadi, hal itu merupakan tanda-tanda bahwa hajinya mabrur. Dengan agak lamban akhirnya Kiai menjawab dengan singkat sekali, katanya, ”Insya Allah, insya Allah, Lan.”
Kini, giliran Si Rojul. Ia bilang, ”Kiai, sebelumnya saya mohon maaf,” begitulah dengan suara lirih dan nada tampak penyesalan. Dengan jujur Rojul bilang bahwa perjalanannya ternyata tak sampai ke Tanah Suci.
”Sungguh maaf Kiai, bekal saya habis di tengah jalan,” ucapnya. Bekal itu, oleh Rojul, katanya, habis diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang tua yang lapar, fakir-miskin yang menjumpainya selama dalam perjalanan. Jadi, alhasil, Si Rojul urung, tidak sampai niatnya ke Mekkah, apalagi menunaikan wukuf di Arafah dan bisa menziarahi makam Rasulullah. Sambil terharu dan sedikit terisak-isak, Rojul menyudahi cerita pahitnya itu.
Anehnya, berbeda dengan yang dirasakan oleh Si Rojul, Kiai sepuh yang alim itu, setelah mendengarkan betapa terjal jalan setapak yang pernah dilalui Rojul menuju ke Tanah Suci ini, dengan sangat spontan berkomentar, ”Alhamdulillah,” yang diucapkannya beberapa kali menunjukkan kepuasan batinnya.
”Kau Rojul,” ungkapnya, ”ternyata telah mengerjakan haji mabrur yang sesungguh-sungguhnya.” Sebab, tambahnya, ”Kamu dengan niat ikhlas selama ini ternyata sudah berihram. Memakai pakaian itu dalam hidupmu, dalam hati dan jiwamu, biarpun secara fisik ibadah hajimu belum sampai ke Arafah.”
Dan kata Kiai ini, memang tidak semua orang yang telah pergi haji memperoleh makna substantif ibadahnya seperti itu. Sebab, ritual haji, yang sebenarnya lebih banyak didominasi oleh ibadah gerak untuk merekonstruksi sejarah kenabian monoteistik itu, jika dilaksanakan tanpa refleksi, tanpa perenungan kritis, ya bisa saja memuaskan secara emosional seperti ungkapan tangisnya Si Fulan tadi. Apalagi kalau orang yang pergi wukuf hanya sekadar ingin mencuci dosa pribadi, maka bunyi istigfar tak akan membekas secara spiritual dan memberikan implikasi yang bermakna bagi kehidupan sosial. Sebab, tanpa kesadaran yang mendalam bahwa noda kesalehan yang harus kita bersihkan di samping yang sifatnya perorangan, di sana tentu ada banyak dosa struktural, yakni bagian dari tanggung jawab kita bersama untuk membangun kesetaraan, keadilan, dan keadaban publik.
Dalam hal ini, simbolisasi berpakaian ihram dalam haji, tidak lain, saya kira merupakan pernyataan dan peringatan tentang betapa penting menegakkan secara terus-menerus komitmen keberagamaan dan kesalehan egalitarianistik seperti itu, apalagi dalam kehidupan yang hedonistik dan individualistik sekarang ini.
Masuk dalam horizon makna yang luas seperti itu adalah pilihan kita. Pilihan tatkala harus merumuskan diri kita sendiri, apa yang kita maksud dengan ibadah, dengan kesalehan selama ini.
Dan kisah tentang Kiai dan dua santrinya itu, saya kira tidak lain dan tidak bukan memberikan pelajaran yang bagus, betapa pentingnya kita selalu mencari makna yang lebih substantif di luar semaraknya ritual selama ini, yang ditandai misalnya dengan semakin meningkatnya jumlah jemaah haji setiap tahun dan bisa jadi akan semakin banyaknya hewan kurban yang secara seremonial akan kita sembelih, sehabis shalat Idul Adha besok pagi.
Moeslim Abdurrahman,
Ketua Al-Maun Institute, Jakarta
Source : Kompas, Kamis, 26 November 2009 | 04:28 WIB
Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
Harwan Sudian @ Kamis, 26 November 2009 | 21:02 WIB
Memang, terlalu sering kita menyebut nama-Nya, tanpa menyadari kehadiranNya.
juftazani @ Kamis, 26 November 2009 | 10:04 WIB
setiap ditanya mereka selalu menjawab begitu oi, telah terbukti kerusakan dan retakan-retakan kebinasaan dalam urat nadi kalian tetapi kalian menjawab "kami hanyalah memperbaiki kerusakan urat-urat nadi telah melancarkan darah ke jantung kehidupan!" tapi keesokan ruh mereka diamuk bencana stroke dan kelumpuhan jiwa ruh mereka buta jantung mereka berdetak pelan dan mati dalam kemungkaran demi kemungkaran lalu mereka dikubur dalam gelap ruh dan ekstase penderitaan yang begitu panjang.., Tangerang, 06 11 09
juftazani @ Kamis, 26 November 2009 | 10:03 WIB
EKSTASE 233 mengapa kalian runtuhkan menara-menara keabadian di kota-kota cinta dalam ruh kalian? "tidak, kami terus membangun dan memperbaiki kota tua dalam ruh kami"
git @ Kamis, 26 November 2009 | 09:58 WIB
tulisan yang menyentuh...Tuhan memang Maha tau apa dibalik pekerjaan ummat-Nya
jillouissy @ Kamis, 26 November 2009 | 07:38 WIB
..subhanallah.......