Kertas dan Pohon Kita
Oleh : Nugroho F Yudho
Ironis memang. Ketika perkembangan teknologi informasi berkembang sedemikian rupa, mestinya penggunaan kertas berkurang. Namun, yang terjadi justru kebutuhan manusia akan kertas dan berbagai produk turunannya meningkat pesat. Kertas kini sudah menjadi salah satu kebutuhan utama manusia.
Kebutuhan akan kertas sama pentingnya dengan energi listrik. Pemakan kertas terbanyak di dunia adalah penduduk Amerika Serikat, China, dan Kanada—jumlah total populasi hanya 18,6 persen dari seluruh penduduk dunia. Ketiga negara besar yang perkembangan teknologi informatikanya sangat pesat ini mengonsumsi 73 persen dari produksi pulp dan kertas dunia hingga lima tahun lalu.
Kertas adalah komoditas yang berbahan baku pohon, terutama akasia dan eukaliptus yang hingga kini masih paling diandalkan. Repotnya, tidak semua negara bisa ditanami pohon tersebut. Hanya di negara tertentu kedua pohon itu bisa tumbuh dan berkembang baik. Jadi meski pada tahun 2010 kapasitas industri pulp dunia diperkirakan bakal digenjot hingga menjadi 202 juta ton kering (adt-air dried ton), kebutuhan umat manusia akan kertas tidak juga bakal tercukupi.
Itu artinya, akan makin banyak lagi pohon ditebang, kalau masyarakat dunia tidak semakin bijak dalam menggunakan kertas. Kebutuhan untuk pendidikan (seperti buku) serta informasi dan komunikasi (seperti koran atau majalah) memang masih tidak terhindarkan. ”Tapi, sesungguhnya, pemakan kertas terbesar justru kantor, bisnis, dan industri. Jadi penghematan penggunaan kertas mestinya justru dipacu di kantor-kantor dan industri. Itu sebabnya program-program, seperti green office, harus didukung” ujar Hanny Soema Di Pradja, Direktur Utama Jakarta Delta Female Radio, yang gencar berkampanye soal green office.
Namun, lalu apa hubungannya penebangan pohon dengan pemanasan global? Pemanasan global diakibatkan oleh terjebaknya energi panas Matahari di atmosfer Bumi lantaran aktivitas manusia yang membuang emisi gas rumah kaca—di antaranya karbon dioksida (CO)—secara berlebihan. Gas rumah kaca ini memerangkap energi Matahari itu sehingga suhu udara Bumi meningkat. Suhu atmosfer yang meningkat tersebut memengaruhi dinamika udara di atmosfer sehingga mengakibatkan perubahan iklim secara radikal, air laut bertambah asam karena kandungan CO meningkat, penguapan semakin banyak, dan massa uap air semakin banyak, mengakibatkan intensitas hujan lebih tinggi, sehingga menyebabkan banjir, badai, dan angin topan karena ketidakseimbangan udara di atmosfer akibat pemanasan yang berlebihan.
Perubahan iklim secara drastis juga menyebabkan gagal panen tanaman pangan, sebagian fauna dan flora terancam punah, ekosistem di laut rusak, penyakit tropis meluas, dan memunculkan penyakit baru.
Pohon sebenarnya lebih berfungsi menjaga keseimbangan karena pohon menyerap CO yang berlebih, sekaligus memproduksi oksigen. Semakin banyak pohon, semakin banyak emisi terserap sehingga mengurangi gas rumah kaca. Selama kita belum memiliki mesin penyerap CO dan pembuat O secara murah, pohon adalah jalan terbaik untuk mendinginkan suhu Bumi.
Hutan Indonesia
Dalam konteks inilah sebenarnya penanaman sebanyak mungkin pohon menjadi penting, untuk mengembalikan keseimbangan alam. Penebangan pohon secara liar tidak disertai penanaman kembali pohon baru tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menambah parah pemanasan global.
Di seluruh dunia, sebenarnya ada 4 miliar hektar hutan atau 30 persen dari luas daratan. Indonesia punya 133,6 juta hektar hutan atau 3 persen hutan dunia. Masalahnya, dari sekitar 4 miliar hektar hutan dunia, setiap tahun hampir 13 juta hektar mengalami deforestasi. Selama 20 tahun terakhir 3 persen hutan dunia telah beralih fungsi.
Akan tetapi, tepatkah jika konsumsi kertas dituding menjadi biang keladi? Kalau dilihat dari penggunaan hutan kita, hingga 1996 hutan untuk hutan tanaman industri (HTI) untuk pulp dan kayu 10,26 juta hektar. Yang direalisasi 3,03 juta hektar, dengan 1,8 juta hektar di antaranya untuk industri pulp. Jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan hutan yang dialokasi untuk hutan alam produksi—mencapai 60,9 juta hektar.
Dari sisi itu, isu konsumsi kertas sebagai perusak lingkungan menjadi agak berlebihan. Indonesia ada pada urutan ke-9 di jajaran negara produsen pulp dunia, menyumbang 2,5 juta hingga 2,7 juta ton per tahun. Posisi teratas produsen pulp dan kertas dunia tetap dipegang AS, yang produksinya 52,6 juta ton pulp dan 82 juta ton kertas.
Indonesia memiliki keuntungan strategis yang sulit dikalahkan. Sebagai negara beriklim tropis, akasia dan eukaliptus di Indonesia bisa berkembang lebih cepat dibandingkan dengan di negara subtropis. Hanya butuh enam tahun untuk panen.
Indonesia kini menjadi kuda hitam produsen pulp dan kertas dunia, meski luas hutan yang dialokasi jauh lebih kecil daripada negara-negara Barat. Kelompok usaha Sinar Mas, salah satu perusahaan yang memanfaatkan keunggulan itu. ”Justru karena unggulnya iklim tropis, kami menanam sebanyak mungkin pohon di areal HTI pulp. Kami rugi sendiri kalau membiarkan lahan HTI kosong atau melakukan penebangan liar. Buktinya, dalam 10 tahun terakhir, industri pulp dan kertas tak pernah kekurangan bahan baku, ” ujar G Sulistyanto, Managing Director Sinar Mas, satu dari dua produsen pulp dan kertas terbesar di Indonesia.
Dari data Departemen Kehutanan 2007, yang justru rusak parah akibat penebangan yang tak disertai penanaman kembali dan maraknya penebangan liar adalah hutan alam, hutan produksi terbatas, ataupun produksi tetap. Jadi, meski arealnya jauh lebih luas, kontribusi ekonominya justru menurun tajam selama 10 tahun terakhir karena kurangnya pasokan bahan baku kayu. Setengah dari 303 perusahaan terkait industri kayu yang ada, kini bangkrut atau tidak beroperasi lagi.
Apa pun alasannya, penghematan kertas tetaplah sebuah keharusan agar tidak makin banyak pohon ditebang. Kita belum bisa menghindari penggunaan kayu dalam berbagai kebutuhan hidup. Namun, keniscayaan teknologi mestinya membuat kita bisa memanfaatkan kayu secara lebih bijak. Ini bisa kita lakukan bukan hanya dengan menghemat penggunaannya, tetapi juga menanam sebanyak mungkin pohon. Kita harus merehabilitasi hutan serta menanam pohon di jalan-jalan, di lingkungan perumahan dan kantor, di lahan kosong, atau bahkan di halaman rumah kita sendiri.***
Source : Kompas, Selasa, 10 November 2009 | 02:45 WIB
No comments:
Post a Comment