RUMAH KACA
Target Deforestasi Bukan Emisi
Isu target pengurangan emisi gas-gas rumah kaca bukan hal tabu bagi Brasil. Namun, negeri terbesar di Amerika Latin itu tidak menentukan target penurunan emisi dalam Konferensi Para Pihak Ke-15 (COP-15) mengenai Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.
Presiden Brasil Luiz Inácio ”Lula” da Silva, seperti dikutip Osvaldo Stella Martins, Koordinator Peneliti dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM), menyatakan, Brasil mempunyai target pengurangan deforestasi sebesar 80 persen, tetapi menolak menetapkan target penurunan emisi pada COP-15.
”Kami tak akan merundingkan apa pun sampai negara-negara Annex-1 membuat target penurunan emisi,” ujar Lula, seperti ditirukan Osvaldo, ”Pernyataan itu dilematis karena Brasil adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berada di urutan kelima penyumbang emisi gas-gas rumah kaca di dunia.”
Menurut Cláudio Angelo, editor sains pada harian terbesar di Sao Paulo, Folha de São Paulo, ”Seharusnya Brasil melangkah lebih jauh, setelah Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebanyak 26 persen dari tingkat emisi tahun 1990. Target itu secara politis sangat penting dalam negosiasi.”
Menurut Cláudio, mekanisme ekonomi baru akan berdasarkan pada proses produksi yang ramah lingkungan dan rendah emisi. ”Kita harus mengubah model pembangunan selama ini menjadi rendah karbon,” ungkapnya.
Tidak adanya target pengurangan emisi itu, menurut Mario Manthovani dari SOS Atlantic Forest, disebabkan kuatnya lobi bisnis. ”Mereka takut kehilangan hak-hak istimewanya,” ujar Mario.
Menuai kritik
Target pengurangan deforestasi sampai 80 persen pada tahun 2020 itu mengundang banyak kritik karena dianggap sebagai ”pilihan mudah”. Meski demikian, upaya-upaya mengurangi deforestasi secara lebih serius telah dilakukan sejak 2004.
Data Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE) mengenai deforestasi yang diluncurkan 12 November 2009 memperlihatkan, deforestasi di Amazon pada Agustus 2008-31 Juli 2009 turun sekitar 45 persen. Dalam kurun setahun itu sekitar 7.008 kilometer persegi hutan dibabat bersih dan sekitar 12.911 kilometer persegi hutan hilang. Angka itu menunjukkan rendahnya laju deforestasi dibandingkan laju rata-rata dalam kurun waktu 1996-2005 yang mencapai 19.500 kilometer persegi.
Pihak pemerintah mengklaim telah terjadi pengurangan sekitar 90 persen sejak upaya serius pengurangan laju deforestasi dilakukan tahun 2004 meski banyak analisis menyatakan hal itu juga disebabkan oleh krisis ekonomi dan menurunnya kebutuhan akan produk sapi dan kedelai di pasar internasional.
Data menunjukkan, kegiatan pertanian merupakan masalah terbesar dalam deforestasi dan konversi tata guna lahan hutan. Deforestasi menyumbang sekitar 80 persen emisi karbon dioksida (CO) di dalam negeri. Namun, angka yang didasari data tahun 1994 itu telah dikoreksi. Data terakhir, mengutip kantor berita Inter Press Service (13/11), sumbangan deforestasi terhadap emisi turun, menjadi 52 persen, tetapi bukan berarti kondisinya menjadi kurang serius.
Upaya menahan laju deforestasi yang merupakan bagian dari Rencana Nasional mengenai Perubahan Iklim itu diluncurkan tahun lalu itu, katanya setara dengan reduksi emisi global sekitar 20 persen atau sekitar 6 persen emisi di dalam negeri.
Kontroversi REDD
Pemerintah Brasil akan mencari dana miliaran dollar dari negara-negara maju bagi upayanya untuk mereduksi laju deforestasi dengan Amazon Fund dan menolak skema yang membiarkan negara-negara kaya memperdagangkan emisi dengan membayar negara-negara tropis untuk melindungi hutannya (”offset” karbon).
Menurut Sérgio Leitão, Direktur Kebijakan Politik Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11), mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation)—prakarsa dalam COP-13 di Bali yang akan dinegosiasikan dalam COP-15, untuk diintegrasikan penuh ke dalam Kerangka Kerja Perubahan Iklim Internasional pasca-2012—tidak menyelesaikan masalah deforestasi.
”REDD tidak jauh-jauh dari soal uang dan hanya excuse. REDD tidak mengurangi tingkat pencemaran,” ujarnya.
”Kita harus mengakui realitas yang timpang di dalam negeri. Standar hidup di Sao Paulo, misalnya, jauh lebih tinggi dibandingkan kota-kota lain di Brasil,” katanya tentang kota berpenduduk sekitar 12 juta yang menyumbangkan sepertiga dari PDB Brasil itu.
Hal senada dikemukakan Marco Conde dari Brazillian Forest Service. ”Kalau kita bisa punya ’offset’ karbon, orang akan mulai dengan kredit karbon, tetapi emisinya tak akan berkurang,” kata Marco. ”Kita butuh upaya lebih konkret.”
Paulo mengingatkan, REDD berpotensi menjadi mekanisme dagang. Namun, menurut Osvaldo, REDD bisa dipakai sebagai mekanisme antara sampai tahun 2020 untuk menjaga stabilisasi emisi gas-gas rumah kaca di atmosfer. ”Tetapi harus dirancang hati-hati, tidak digeneralisasi implementasinya, dan mengutamakan partisipasi serta hak-hak suku asli di hutan berdasarkan konsep keadilan iklim. Pemerintah harus punya perencanaan matang, jangan hanya mau uangnya.”
IPAM bersama tiga organisasi lain sedang melakukan Program Proteksi Kawasan Amazon (ARPA) selama 10 tahun (2003-2012) untuk konservasi keragaman hayati, sekaligus mengurangi emisi karbon dari deforestasi. Kawasannya meliputi 600.000 kilometer persegi.
Suara lain juga muncul dari The Nature Conservancy (TNC). Penasihat Senior TNC bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho menyatakan, perspektif TNC memang berbeda. ”Brasil sangat resisten dengan pasar ’offset’, tetapi menurut saya, hanya pasar yang bisa menghubungkan dengan negara maju untuk mengurangi emisinya,” ujar Fernanda.
TNC sedang mencobakan mekanisme REDD di tiga proyek percontohan, di bagian timur laut Mato Grosso dan di wilayah tenggara negara bagian Para, serta di Berau, Kalimantan Timur, Indonesia. Prosesnya tak sesederhana yang dibayangkan.
”Harus melalui tiga fase, persiapan, pemantauan kebijakan, dan mengukur penerapannya, sebelum kompensasi diberikan. Kalau mulai fase satu dinilai gagal, proyek itu tak dapat dilanjutkan. Jadi bukan easy money,” ujar Fernanda.
Soal lain
Gerakan Lingkungan dan Sosial Brasil menolak tegas proposal REDD. Dalam pernyataan yang ditandatangani lebih dari 40 organisasi (2/10) ditegaskan, mekanisme REDD membuat para aktor ekonomi—yang secara historis menghancurkan ekosistem hutan—memperkuat posisi politik dan ekonominya melalui mekanisme penghitungan karbon hutan untuk menginjak hak-hak komunitas hutan.
Mereka meminta pemerintah tegas menolak mekanisme REDD dan mekanisme pasar lainnya serta menghendaki model distribusi dan konsumsi berdasarkan agroekologi, melalui pendekatan ekonomi berbasis solidaritas, dalam matriks diversifikasi serta desentralisasi energi yang menjamin keamanan dan kedaulatan pangan.
Sebagian besar sumber yang ditemui di Sao Paulo, Brasilia, dan Belem menyatakan, upaya mengurangi tekanan deforestasi membutuhkan keseriusan pemerintah menyelesaikan akar konflik lingkungan, yakni masalah kepemilikan lahan.
Arnaldo Carneiro Filho, peneliti pada Socio-Environmental Institute (ISA), mengatakan, reforma agraria bisa menjadi salah satu cara yang efektif. Menurut Edit Silva, Pejabat Komunikasi Kementerian Pertanian, reforma agraria membuat sekitar 180.000 keluarga di negara bagian Para tak lagi melakukan praktik deforestasi.
Deforestasi sejatinya merupakan akibat dari kebijakan monokultur yang memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok agribisnis dan model pembangunan berbasis eksploitasi.
Ironisnya, pada akhir Juni lalu Presiden Lula membuat aturan untuk mengalihkan area lahan publik seluas 670.000 kilometer ke tangan swasta. ”Provisional Measure 458” itu menjawab pertanyaan tentang kepemilikan ribuan properti yang digunakan sebelum tahun 2004 dan belum memiliki status hukum serta memberi keamanan pada pemilik peternakan kecil (di bawah 100 hektar) di kawasan Amazon.
Aturan itu, menurut Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil Marcello Furtado, seperti dikutip dari BBC News (23/6), ”Jelas memberikan impunitas terhadap pelaku tindak kriminal di Amazon selama ini.” (MH)***
Source : Kompas, Jumat, 20 November 2009 | 04:52 WIB
No comments:
Post a Comment