Dermaga pendaratan nelayan Kota Kapur di Sungai Medo, Bangka, persis berada di tepi kawasan Situs Kota Kapur. (Foto :Kompas/Kenedi Nurhan)***
SITUS KOTA KAPUR
Bukan Tanah Kutukan
Bagi penduduk Kota Kapur di Pulau Bangka, prasasti bertarikh 686 Masehi itu hanya menyisakan cerita kelam. Tak tampak kebanggaan terkait nama desa mereka yang dikenal luas berkat temuan Prasasti Kota Kapur, tempat di mana sebuah fragmen peristiwa penting ditabalkan, sekaligus menjadi semacam kunci pembuka diketahuinya bahwa ada kerajaan besar di Sumatera bernama Sriwijaya.
Beberapa di antara mereka bahkan mulai bertanya-tanya: mungkinkah kutukan Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pada masa lampau itu juga harus mereka tanggung dalam kehidupan di masa kini? Kenyataan bahwa sebagian besar dari sekitar 400 keluarga yang tinggal di Desa Kota Kapur hidup dalam kesusahan, dari generasi ke generasi, dianggap sebagai pertanda.
Selama puluhan tahun sebagai nelayan, juga bertanam lada dan karet, hasilnya tak membuat mereka bisa hidup sejahtera. Sementara itu, nama desa mereka begitu populer, kerap disebut manakala keberadaan Kerajaan Sriwijaya dibicarakan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam pandangan awam mereka, kutukan yang tertera pada prasasti Kota Kapur masih memiliki kekuatan. Bukan karena mereka memberontak atau tidak setia kepada penguasa, sebagaimana salah satu bagian dari isi prasasti persumpahan itu, tetapi lantaran pendahulu mereka tidak kuasa mencegah Belanda—setelah prasasti ini ditemukan JK van der Meulen pada Desember 1892—membawa batu kutukan tersebut keluar dari Kota Kapur.
”Coba Bapak pikir, nama desa ini terkenal hingga ke luar negeri. Kata orang, di buku-buku sekolah juga disebut-sebut nama Kota Kapur. Tapi lihat, penduduk di sini tetap miskin. Hidup susah! Barangkali ini ada kaitan dengan kutukan di batu itu. Seharusnya batu itu tetap di sini, dikembalikan, tidak boleh dibawa keluar,” kata Yanto (39) ketika diajak berbincang sesaat setelah ia tiba dari rutinitasnya melaut.
Memang tidak ada hubungan kausalitas di balik itu semua, tetapi begitulah alam pikir masyarakat awam bekerja. Di tengah jepitan berbagai persoalan sehari-hari, alam pikir berbau mistik itu telah mengalahkan rasionalitas. Lebih-lebih dalam masyarakat yang tingkat kemampuan menyerap dan mengurai berbagai persoalan masih rendah, lari dari kenyataan bisa menjadi semacam katarsis.
Sesungguhnya, kehidupan masyarakat Kota Kapur tidaklah begitu menyedihkan. Sejak para pendahulu mereka pada 1950-an memindahkan perkampungan mereka dari dalam lingkungan ”Benteng Kota Kapur” ke lokasi sekarang, yang hanya berjarak beberapa puluh meter di luar kawasan situs, rumah tinggal mereka jauh lebih tertata.
Di kanan kiri jalan, rumah- rumah tembok batu berplester tampak berdiri kokoh. Antena parabola terlihat di halaman beberapa rumah. Meski sambungan listrik dari Perusahaan Listrik Negara alias PLN belum ada ”api”-nya, tiang-tiang dengan jaringan kawat pengantar listriknya sudah berdiri di sepanjang jalan desa. Penduduk yang menenteng telepon genggam berkartu prabayar—berikut warung penyedia ”pulsa isi ulang”- nya—juga gampang ditemukan.
Sebutan kota pada nama desa mereka sama sekali tidak merujuk pada pengertian umum sebagai daerah permukiman atau pusat kegiatan pemerintahan, tetapi mengacu pada makna awal: dinding atau tembok yang mengelilingi tempat pertahanan. Adapun nama Kota Kapur itu sendiri semula digunakan untuk memaknai keberadaan kawasan yang dikelilingi tembok (terbuat dari tanah) dan di dalamnya ditemukan bekas struktur bangunan terbuat dari batu bata berwarna putih mirip batu kapur.
Beban sejarah
Membolak-balik sejarah masa lampau daerah ini memang tidak bisa lepas dari keberadaan batu persumpahan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Tanpa temuan prasasti beraksara Pallawa yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno tersebut, kampung kecil yang kini sudah naik statusnya menjadi desa—semula menginduk ke Desa Penagan—itu tidak akan pernah dibicarakan dalam forum-forum seminar ataupun ditulis di buku-buku sejarah.
Masalahnya, sebagaimana kegusaran yang diungkapkan Yanto, terukirnya nama Kota Kapur di antara deretan jejak sejarah peradaban di negeri ini tidak memberikan nilai tambah pada masyarakat yang tinggal di sana. Meski dikenal hingga mancanegara, selama bertahun-tahun desa mereka yang kecil itu tetap terpencil, jauh dari derap kemajuan peradaban pada umumnya.
”Tiang-tiang listrik itu baru dua bulan lalu didirikan. Itu pun belum ada ’api’-nya,” kata Ali (26), warga Kota Kapur lainnya.
Selama ini, untuk penerangan di rumah masing-masing, warga yang sedikit mampu membeli genset. Tetapi karena bahan bakar terbatas, sebelum tengah malam Kota Kapur sudah gelap gulita. Genset dimatikan. Yang tersisa, selain suara debur ombak Selat Bangka yang sesekali sayup terdengar, keheningan malam hanya ditingkahi bunyi jangkrik dan binatang malam lainnya.
”Jalan yang ada ini pun baru tahun lalu kondisinya agak lebih baik. Sebelumnya, jalan ke sini penuh lubang dan berlumpur bila hujan turun. Padahal daerah ini disebut-sebut sebagai desa tempat wisata sejarah,” ujar Ali menambahkan.
Harus diakui, adanya temuan prasasti dari masa Sriwijaya di Kota Kapur hanya memberikan kebanggaan semu pada warga yang kini tinggal di sini. Kota Kapur malah sepertinya terlalu berat memikul beban sejarah, tidak sebanding dengan kehidupan masyarakatnya yang agak menyesakkan.
Terletak kurang dari 200 meter dari Sungai Mendo, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Selat Bangka, tak mengherankan bila nelayan jadi pilihan profesi sebagian besar penduduk Kota Kapur. Namun, tak semua punya perahu bermotor untuk bisa melaut. Sebagian terpaksa menggunakan perahu dayung, mencari ikan dan kepiting di pinggir-pinggir sungai, di antara rerimbunan bakau, hingga ke muara.
Sejumlah warga sempat berharap pada kehadiran petugas koperasi yang datang dari Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Tawaran jadi anggota koperasi simpan- pinjam, dengan janji kelak akan mendapat modal usaha setelah menyetor uang iuran, mereka sambut dengan penuh antusias.
Belakangan, setelah beberapa kali iuran disetor kepada kolektor koperasi yang semula rajin ke desa mereka, kontak pun terhenti. Jangankan dapat modal usaha, ”tabungan” pun lenyap bersama uang iuran ribuan anggota lain yang tersebar di berbagai tempat di Bangka, dibawa lari oleh petinggi koperasi yang berpusat di Pangkal Pinang.
”Ini kejadian tahun lalu. Tapi kami dengar dia akhirnya ditangkap polisi dan masuk penjara,” kata Badril (58).
Ketiadaan modal usaha membuat mereka hanya bisa turun ke laut dangkal. Paling jauh beberapa kilometer dari garis pantai. Itu pun tidak bisa sembarang tempat, tetapi mencari daerah tangkapan yang tak jauh dari pulau-pulau kecil berada.
Dengan alat tangkap seadanya, termasuk menggunakan pancing, hasil yang didapat tidak seberapa. Rusaknya ekosistem perairan akibat penambangan timah juga berdampak pada makin menurunnya hasil tangkapan nelayan.
”Kalau lagi beruntung, bisa dapat 7-10 kilogram ketam (kepiting) saja sudah bagus. Udang? Makin susah,” kata Yanto.
Sesampai di darat, nilai jualnya pun tidak begitu menggembirakan. Kepiting hanya dihargai Rp 12.500-Rp 14.000 per kilogram, sedangkan udang cuma Rp 25.000-Rp 35.000 per kg. ”Murah? mau apalagi. Kebutuhan sehari-hari anak dan istri sudah menunggu,” timpal Badril.
Tanaman lada yang semula bisa jadi tambahan penghasilan, juga tak lagi jadi harapan. Harga lada Rp 40.000 per kg, dinilai tak sebanding dengan kerja keras menyiangi lahan serta biaya yang dikeluarkan. ”Lada tidak bisa lagi diandalkan untuk menopang hidup,” kata Mahadil (62), mantan Kepala Desa Kota Kapur.
Segelintir penduduk sempat bekerja sebagai penambang timah atau menyewakan tanah mereka—yang semula adalah kebun lada—untuk ditambang. Ini pun tidak memberikan harapan jangka panjang.
Dalam beberapa tahun terakhir, mereka mulai melirik tanaman kelapa sawit, selain karet yang memang sudah ada sejak dulu. Hanya saja, belum ada jaminan usaha baru ini akan membawa kesejahteraan kepada penduduk Kota Kapur.
Di tengah kondisi semacam inilah penduduk Kota Kapur bertahan. Ironisnya, meski hidup makin susah dan penghidupan kian sulit, angka kelahiran di desa ini relatif tinggi. Tak ada data pasti yang bisa dikutip, tapi survei acak terhadap beberapa keluarga memperlihatkan data lain yang cukup mencengangkan.
Pada umumnya tiap pasangan yang sudah menikah lebih dari 20 tahun memiliki banyak anak. Mahadil, sang mantan kepala desa, misalnya, punya 12 anak. Badril memiliki 14 anak. Yanto yang relatif masih muda, berusia 39 tahun, bahkan dengan bangga menyebutkan 13 anak dan satu cucunya.
Melihat fenomena ini, tidak sulit menemukan jawaban atas pertanyaan Yanto terkait kemiskinan di daerah ini. Walaupun tidak selalu bisa dijadikan patokan, salah satu akar masalahnya tentu berkorelasi dengan pandangan mereka terhadap makna keluarga sejahtera itu sendiri.
Dengan jumlah tanggungan begitu banyak dalam satu keluarga, sementara tingkat penghasilan terbatas, maka pendidikan yang hingga hari ini masih diyakini sebagai sarana mobilitas sosial pun pasti terhambat.
Pada titik ini, peran pemerintah dalam memberikan penyadaran, sekaligus menciptakan kesempatan bagi warganya agar bisa meraih impian-impian mereka mutlak diperlukan. Di antaranya dengan membangun sarana dan prasarana publik, menyediakan modal kerja, serta membuka akses hasil usaha mereka ke pasar yang kompetitif. Jika tidak, gagasan besar menciptakan masyarakat yang (adil dan) sejahtera hanya ilusi kosong.
Jadi, sesungguhnya segala bentuk kemalangan yang menimpa masyarakat Kota Kapur selama ini tidak ada sangkut pautnya dengan keberadaan batu persumpahan yang ditorehkan oleh sang penakluk dari Sriwijaya: Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ini bukan daerah kutukan! (WAD/KEN)***
Source : Kompas, Jumat, 13 November 2009 | 03:38 WIB
No comments:
Post a Comment