Friday, November 20, 2009

Amazon adalah sumber penghidupan sekitar 191,2 juta penduduk Brasil

FOKUS

Jejak Samar Chico Mendes

Oleh : Maria Hartiningsih

Chico Mendes menyatakan hal itu dalam seminar mengenai Amazon yang diselenggarakan di Universitas Sao Pablo, Brasil, tanggal 6 Desember 1988, atau setahun setelah ia berpidato pada Sidang Parlemen Acre.

Acre terletak di bagian timur laut Brasil, di sebelah utara Negara Bagian Amazonas, yang sebagian besar wilayahnya dilingkupi hutan hujan Amazon. Negara bagian itu dikenal sebagai penghasil dan pengekspor karet.

Hanya seminggu setelah ulang tahunnya yang ke-44, Chico Mendes ditembak mati kelompok yang menentang perjuangannya, di rumahnya di Xapuri, petang, tanggal 22 Desember. Peristiwa itu menjadi headlines di media terkemuka dunia, termasuk The New York Times. Kematiannya adalah tragedi, sekaligus api yang menghidupi perjuangan para aktivis lingkungan.

Inilah pernyataannya yang paling terkenal: ”Awalnya saya kira perjuangan saya hanya untuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Kini, saya sadar saya berjuang bagi kemanusiaan.”

Berisiko

Isu hutan sangat penting baik secara politik maupun geostrategik. Di banyak negara, tak hanya negara yang demokratis, wartawan dan aktivis yang melakukan investigasi terkait dengan isu hutan dan lingkungan berada di garis depan medan pertempuran baru. Ada daftar panjang konflik antara wartawan dan aktivis dengan para penjahat lingkungan.

Hutan hujan tropis seluas 6,7 juta kilometer persegi, yang 60-65 persennya berada di Brasil itu adalah separuh paru-paru dunia, ”rumah” ribuan spesies dan keragaman hayati yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan.

Amazon adalah sumber penghidupan sekitar 191,2 juta penduduk Brasil, dan menghasilkan 8.295 dollar AS produk domestik bruto per kapita per tahun—yang berarti masuk kelompok pendapatan menengah—pada 2008. Namun, hutan itu juga menyimpan sejarah perusakan yang panjang.

Seperti di banyak negara di mana kekuatan global berkawin dengan pemerintahan diktator militer, dua dekade pemerintahan militer di Brasil (1964-1985) telah membuahkan kebijakan yang menuju pada penggundulan dan penghancuran hutan.

Menjelang tahun 1970, Presiden Emilio Medici mulai melakukan pembangunan besar-besaran dengan membangun jalan raya Transamazonia (BR 364) sepanjang 5.000 kilometer. Ia tidak peduli tanah itu subur, dan menjadi tempat bermukim suku asli, orang sungai, para penyadap karet dan mereka yang tinggal dan merawat hutan. Pembangunan itu berdampak pada 96 suku di Acre. Diperkirakan 838 dari 1.000 anak di Acre meninggal sebelum berusia setahun.

Penghancuran terus berlanjut ”atas nama pembangunan”, sampai Presiden Luiz Inacio ”Lula” da Silva bertekad menghentikan deforestasi secara serius sejak lima tahun lalu. Namun, meski pertumbuhan ekonomi mengesankan, kemiskinan di pedalaman belum banyak tersentuh. Gap kaya-miskin belum terjembatani.

Isu panas

Isu hutan menjadi isu politik terpanas. Potensinya menyerap emisi telah mereduksi hutan sebagai subyek dagang para saudagar karbon. Pembahasan pengurangan emisi yang membahayakan kehidupan semakin terkesan seperti negosiasi dagang di forum-forum internasional.

Padahal, hutan bukan sekadar bank karbon. Seperti diingatkan Laporan Pembangunan Manusia tahun 2007, pasar karbon tak akan menekan deforestasi. Banyak fungsi ekologis hutan yang tidak dapat dipasarkan. Pasar tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman hayati di Amazon Brasil, ataupun di berbagai hutan hujan tropis lain di dunia. Harga nol selalu disetarakan dengan nilai nol, padahal harga dan nilai adalah dua hal yang berbeda.

Ketidaksetaraan kekuatan politik adalah sumber deforestasi yang tak bisa dikoreksi lewat pasar. Merangseknya pertanian dan peternakan komersial, pembangunan infrastruktur, pembalakan, penambangan di hutan Amazon senantiasa terkait pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran serupa terjadi di mana-mana, termasuk Indonesia. Semua mekanisme perdagangan karbon hutan berpotensi memperbesar pelanggaran.

Perjalanan kami tak sampai Acre, bahkan menyentuh hutan pun tidak. Akan tetapi, bayangan Chico Mendes sempat tertangkap, hilang dan timbul, melalui catatan para aktivis yang berjuang menyelamatkan hutan hujan, menyelamatkan kemanusiaan...***

Source : Kompas, Jumat, 20 November 2009 | 02:50 WIB

No comments:

Post a Comment