Sarana transportasi angkutan barang di Jalur 27, Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. (Foto : Kompas/Kenedi Nurhan)***
EKSPEDISI SRIWIJAYA
Mencari Jalur yang Hilang
Oleh: NURHADI RANGKUTI
Data prakiraan pasang surut yang diterbitkan Dinas Hidro Oseanografi TNI AL menjelaskan bahwa tanggal 9 Oktober 2009 laut Selat Bangka diprediksi mengalami pasang naik tertinggi dalam bulan Oktober. Air pasang naik lebih dari tiga meter. Padahal, hari itu saatnya tim ekspedisi melintasi Selat Bangka. arapan tinggal pada angin saja. Angin kencang, apalagi badai, bisa menimbulkan gelombang tinggi. Maklum, tak lama lagi datang musim angin barat, angin yang ditakuti nelayan dan pelaut karena sering menciptakan ombak besar.
”Ada ombak besar sekalipun kami tetap jalan,” kata nakhoda yang akan mengantar tim melintasi selat.
Nakhoda speedboat (kapal cepat) kayu berkapasitas 28 penumpang itu memang sudah kenyang pengalaman mengarungi Selat Bangka. Tiap hari mereka mengangkut penumpang melayani rute Sungai Selan di Pulau Bangka menuju Air Sugihan di kawasan pantai timur Sumatera Selatan. Jalur itu melintasi salah satu bagian Selat Bangka yang paling sempit.
Pagi itu angin bertiup sepoi, menggoyang perahu-perahu yang ditambat di dermaga Tanjung Tedung, Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari dermaga itu tim ekspedisi bertolak ke Pulau Sumatera.
Jam belum menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika dua speedboat yang mengangkut 35 peserta Ekspedisi Sriwijaya bergerak lincah menghindari gulungan ombak setinggi satu meter. Dalam waktu setengah jam, kapal sudah memasuki muara Sungai Air Sugihan, yang terlindung oleh daratan yang menjorok keluar: Tanjung Selokan.
Jalur ekspedisi
Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 6-10 Oktober 2009, menyelenggarakan Ekspedisi Sriwijaya. Ekspedisi dimulai dari Situs Kota Kapur di Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, menuju Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, dengan menggunakan speedboat kayu.
Kegiatan ekspedisi terinspirasi dari isi dua prasasti batu yang dibuat pada masa pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya pada abad VII Masehi. Kedua prasasti itu adalah Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu Kuno, ditulis dengan huruf Pallawa.
Situs Kota Kapur adalah tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti setinggi 177 cm dan lebar 32 cm itu diterbitkan pada 28 Februari 686 Masehi, memuat kutukan bagi siapa saja yang tidak setia dan berkhianat kepada sang raja. Pembuatan prasasti berlangsung pada saat bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Empat tahun sebelum Prasasti Kota Kapur ditulis, Dapunta Hiyang datang ke Palembang bersama dua puluh ribu serdadu yang naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara.
Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga, melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, di Palembang sekarang ini, Dapunta Hiyang kemudian membangun kampung (wanua).
Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai jaya siddayatra, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya. Boechari (1993), ahli epigrafi, menyatakan, wanua yang dibangun Dapunta Hiyang kemudian berkembang jadi pusat Kerajaan Sriwijaya tersebut berada di Palembang sekarang.
Kisah ekspedisi itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan pada 1920 oleh seorang bangsa Belanda di Desa Kedukan Bukit, di bagian barat Kota Palembang. Prasasti Kedukan Bukit itu dipahat pada 16 Juni 682 Masehi.
Adapun Ekspedisi Sriwijaya zaman pascareformasi diikuti para arkeolog, antropolog, ahli kelautan, penyelam, polisi air, birokrat, dan wartawan. Jalur ekspedisi ditetapkan berdasarkan jalur yang paling dekat antara Kota Kapur dan Palembang.
Jalur yang ditempuh tentu saja harus melintasi Selat Bangka. Pada zaman dahulu para pelaut asing yang berlayar dari Selat Melaka dan Laut China Selatan ketika memasuki Selat Bangka mendapat petunjuk tentang Pulau Bangka dari tanda-tanda geografis: bukit, tanjung, dan pulau kecil.
Bukit Menumbing, yang terletak di Pulau Bangka, telah dikenal oleh para pelaut asing sebagai pedoman untuk masuk menuju ibu kota kerajaan di Palembang. Bukit ini letaknya berhadapan dengan mulut Sungai Musi, jalur transportasi ke ibu kota Sriwijaya.
Para pelaut Portugis menggunakan Roteiros (Buku Panduan Laut) dari masa-masa yang sama untuk melayari Selat Bangka. Bukit Menumbing disebut sebagai Monopim.
”Berlayar dari barat laut ke tenggara, setelah melihat Monopim di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatera sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut” (Pierre Y’ves Manguin, 1984).
Ada beberapa jalan masuk ke Palembang dari Selat Bangka. Berhadapan dengan Pulau Bangka terdapat beberapa muara sungai: Sungai Banyuasin, Musi (Sungsang), Upang (bertemu dengan Musi di Delta Upang), Sungai Saleh dan Air Sugihan.
Ekspedisi kali ini memilih jalur Air Sugihan dalam perjalanan menuju Palembang dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka. Selain lebih dekat, di daerah aliran Air Sugihan para arkeolog menemukan situs-situs arkeologi dari masa pra-Sriwijaya sampai abad XVI Masehi. Balai Arkeologi Palembang mencatat 26 lokasi situs di kawasan tersebut.
Boleh jadi ada hubungan antara Situs Kota Kapur dan situs-situs yang tersebar di kawasan Air Sugihan. Sebelum Dapunta Hiyang dan bala tentaranya mengadakan ekspedisi ke Kota Kapur, kawasan itu menjadi tempat bermukim komunitas yang menganut agama Hindu. Ditemukannya arca Wisnu dari abad V-VI Masehi di Situs Kota Kapur merupakan bukti arkeologis yang tak terbantahkan.
Berhadapan dengan Kota Kapur, yang dipisahkan oleh Selat Bangka, terdapat permukiman masyarakat pantai timur Sumatera dari masa awal abad-abad Masehi hingga abad XVI Masehi, terutama terkonsentrasi di kawasan Air Sugihan.
Jalur yang hilang
Hari kedua di Situs Kota Kapur, tim ekspedisi mengadakan survei arkeologi, lingkungan, dan pengamatan sosial budaya. Situs Kota Kapur mulai terancam oleh aktivitas penambang timah yang areanya mendekati zona inti situs.
Pada hari yang sama tim arkeologi bawah air melakukan survei laut. Mereka bertolak dengan perahu dari dermaga Kota Kapur menuju pulau-pulau kecil (Pelepas, Pegadung, dan Nangka), dekat Tanjung Tedung yang berada di selatan Kota Kapur.
Nelayan setempat menunjukkan di sebelah barat Pulau Pelepas terdapat bangkai kapal tenggelam di dasar laut. Penyelaman arkeologi bawah air pun dilakukan pada saat permukaan laut tenang. Ternyata, arus di bawahnya sangat kencang dan jarak pandang hanya 1-3 meter.
Sebuah kapal perang Belanda ditemukan terbenam di dasar laut pada kedalaman 17-25 meter. Kapal besi berukuran panjang 70 meter itu tenggelam dalam kondisi terbelah dua.
Di sekitar Selat Bangka dan perairan Kepulauan Bangka Belitung memang banyak ditemukan bangkai kapal tenggelam akibat banyak gosong karang di perairan ini. Namun, perahu-perahu kayu zaman Sriwijaya malah sering kali ditemukan di rawa-rawa.
Tiga hari di Bangka tim baru menyeberangi Selat Bangka dan langsung menelusuri Air Sugihan, yang semakin ke hulu semakin sempit. Hutan mangrove pun kian berkurang. Di belakang hutan mangrove terbentang lahan- lahan transmigrasi yang disekat oleh jalur-jalur irigasi sekaligus untuk jalur transportasi air.
Speedboat masuk ke Jalur 27 dan merapat di dermaga Desa Kertamukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Desa ini kaya tinggalan arkeologis berupa manik-manik berbahan kaca dan batuan, fragmen-fragmen tembikar dan keramik kuno, benda-benda emas dan logam lainnya, serta sisa tiang rumah kuno dari batang pohon nibung (Oncosperma filamentosa).
Esok paginya tim berangkat ke Palembang dengan kembali menelusuri Air Sugihan. Untuk masuk ke Sungai Musi, speedboat melewati Jalur 21. Jalur itu menghubungkan Air Sugihan ke Sungai Saleh, kemudian melewati satu jalur lainnya yang menghubungkan Sungai Saleh ke Sungai Upang.
Tim mampir di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin. Desa ini menjadi terkenal di kalangan ahli-ahli Sriwijaya ketika Boechari (1993) mengidentifikasi lokasi Desa Upang ini pernah dikunjungi oleh Dapunta Hiyang dan ribuan tentaranya dengan naik perahu. Mukha Upang yang teridentifikasi dalam Prasasti Kedukan Bukit disamakan dengan Upang, desa yang terdapat di Delta Upang.
Tiba di Benteng Kuto Besak, Palembang, para peserta turun dan ekspedisi pun usai. Nakhoda speedboat segera meluncur kembali ke Air Sugihan. ”Besok pagi saya kembali mengantar penumpang Air Sugihan-Bangka, pulang-pergi,” katanya.
Pekerjaan rutinnya itu boleh jadi meneruskan pekerjaan rutin para pelaut zaman Sriwijaya. Pelaut yang memahami tanda-tanda alam untuk pedoman navigasi, menguasai gelombang, dan hafal tiap kelokan sungai.***
Nurhadi Rangkuti,
Kepala Balai Arkeologi Palembang
Source : Kompas, Jumat, 13 November 2009 | 03:39 WIB
No comments:
Post a Comment