"BOCAH-BOCAH CILIKE PINTER
NJOGED KEDOK"
NJOGED KEDOK"
Gerakan luwes Azwatun (4) menggoyangkan bahu, melenggokkan pinggul, dan menyibakkan selendang memukau tamu undangan di pelataran Sanggar Mulya Bhakti, Indramayu, Kamis (19/11). Penonton yang menyaksikan tarian mereka tak hanya merasa kagum, tetapi juga terhibur karena anak-anak itu menari dengan jenaka. "Bocah-bocah cilike pinter njoged kedok (Bocah-bocah itu pintar menari topeng)," ujar mereka.
Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin pun terkesima melihat tarian Azwatun bersama enam temannya menarikan topeng kelana udeng. Secara spontan, Bupati memberikan uang sawer kepada mereka. Masing-masing mendapat dua lembar Rp 10.000. Wajah bocah-bocah yang rata-rata belum genap berusia 10 tahun itu terlihat gembira menerimanya. Bagi Bupati, sawer merupakan bentuk apresiasi kekagumannya terhadap talenta anak-anak calon pelestari kesenian tradisional Indramayu.
Iis Istianah (26), ibunda Azwatun, bangga menyaksikan kemahiran putrinya menari. Dia tidak menyangka, anaknya mampu "membius" penonton meski baru setahun belajar njoged. Selain itu, dari garis keturunan keluarga suami dan dirinya juga tak ada yang menjadi seniman. Bakat anaknya tergali saat bergabung di sanggar tari yang diasuh Wangi Indriya.
"Dia (Azwatun) sendiri yang ingin belajar menari. Umurnya waktu itu baru tiga tahun. Sampai sekarang, meski tidak saya antar, dia berangkat sendiri bareng tetangga saya yang anaknya juga belajar di sanggar ini," kata Iis, yang mengaku kini lebih mengenal tarian topeng Indramayu setelah anaknya belajar menari di sanggar.
Lain lagi dengan Keisya (6), yang tertarik belajar menari setelah melihat pentas tari topeng di Kantor Kabupaten Indramayu. Menurut Endang (34), ibu Keisya, sebagai warga Indramayu yang pernah lama tinggal di Jakarta, banyak warga Indramayu tak mengenal lagi kesenian dan tarian Indramayu. Karena itu, dia mengaku senang anaknya mau belajar tari topeng.
Haus seni lokal
Azwatun dan Keisya adalah dua dari ribuan anak Indramayu yang haus kesenian lokal Indramayu. Sayangnya, hasrat mereka terhantam selera pasar yang kini cenderung berkiblat pada budaya pop dan hiburan semata tanpa nilai-nilai budaya lokal. Oleh sebab itu, sanggar kesenian tradisional, seperti Sanggar Mulya Bhakti, mutlak dihidupkan kembali.
Wangi Indriya mengatakan, jumlah siswa yang belajar menari di sanggarnya berkisar 200 anak, dan yang aktif datang berlatih saban minggu 150 anak. Umur mereka mulai dari anak-anak usia siswa SD sampai remaja usia SMA yang berasal dari berbagai desa di Indramayu. Dia tidak mematok tarif mahal bagi anak didik. Semua boleh membayar dengan sukarela. Biasanya, tak lebih dari Rp 5.000 per pertemuan. Uang itu ia gunakan untuk membayar asisten pelatih yang membantunya mengajar. Biaya operasional sanggar diambil dari penghasilannya menari.
Tidak hanya tari, sanggar itu juga membuka kursus pedalangan, macapatan, karawitan, berokan, seni ukir topeng, dan lukis kaca. Gratis pula. Mamak Taham, pendiri Sanggar Mulya Bhakti, mengaku rela membagikan ilmunya tanpa imbalan materi. Ia bahkan dengan gembira mengajari cara mengolah suara, memegang wayang, hingga menabuh gamelan kepada siapa pun.
"Belajar mendalang itu mudah kok, tidak sulit," kata Taham yang selalu memberi semangat kepada peminat pedalangan. Taham, Wangi, dan pegiat sanggar lainnya memang tak ingin ilmu yang mereka dapatkan, dan kesenian yang mereka agungkan, musnah tanpa penerus.
Karena itulah, mereka memberikan hati, harta, dan jiwa untuk seni agar nanti muncul lagi bocah-bocah cilik sing pinter njoged kedok seperti Azwatun dan Keisya. (SIWI YUNITA CAHYANINGRUM/ TIMBUKTU HARTHANA)***
Source : Kompas, Jumat, 20 November 2009 | 13:17 WIB
No comments:
Post a Comment