Wednesday, September 30, 2009

Yang "Bergengsi" RSBI SMPN 2 Sindang

SMPN 2 Sindang

Sekolah Bertaraf Internasional dan

“Stempel” Bergengsi

INDRAMAYU – Rabu (30/9) pagi, sebuah pemandangan ramainya pelajar untuk masuk sekolah. Setelah lebih dari sepekan, sekitar Jembatan Utama (kreteg sorog) sekitar Kabupaten Indramayu wilayah perkotaan yang menghubungkan Sungai Cimanuk lama terlihat sepi dari kepadatan pelajar yang melintasinya. Namun di hari Rabu (30/9) itu, sejak pagi dan jam pulang sekolah siangnya, para pelajar terlihat sangat ramai melintasi jembatan bersejarah itu.

Kepala SMP Negeri 2 Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat selaku Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI), Dr. H. Abdul Tolib, MPd mengatakan, sekolah yang dipimpinnya sejak hari Rabu (30/9) itu langsung belajar efektif dan intensif. Semua itu ia lakukan demi lebih meningkatkan kualitas murid-muridnya, serta untuk persiapan matang para peserta didiknya dalam menghadapi ujian semesteran yang tak lama lagi bakal digelarnya.

Bahkan untuk lebih meningkatkan kualitas peserta didiknya itu, SMPN 2 Sindang berani mengundang Tim Pengajar SMPN RSBI dari Kediri. “Semua itu kami lakukan, demi meningkatkan kualitas murid-murid sekolah kami ini. Karena menjaga kualitas lulusan sekolah SMPN 2 Sindang dengan status RSBI-nya ini, sebagai buah dari berbagai perjuangan keras kami yang didukung oleh para otangtua murid, serta pihak-pihak lain yang turut menunjang keberhasilan SMPN 2 Sindang di mata pemerintah maupun masyarakat,” kata mantan Kepala SMPN Lelea Indramayu itu.

Beberapa pihak memang telah mengakui keunggulan dan kualitas SMPN 2 Sindang selama dipimpin Abdul Tolib itu. Fakta di lapangan membuktikan, bahwa SMPN 2 Sindang memperoleh “stempel” sebagai sekolah bergengsi di Kota Mangga Indramayu. (Satim)***

Monday, September 28, 2009

Rela Berdesak-Desakan Mengarap Berkah di Acara Ritual Grebeg Syawal Keraton Kanoman Cirebon

KOMPAS/TIMBUKTU HARTHANA

Masyarakat Cirebon berebut melempar uang, bunga, dan beras di depan Pintu Pasujudan atau Lawang Gede di Kompleks Pemakaman Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Sembung dalam acara Grebeg Syawal, Minggu (27/9). Pada acara ini keluarga Kesultanan Kanoman melakukan ziarah kubur sekaligus bersedekah kepada warga Cirebon dengan cara sawer uang logam.

GREBEG SYAWAL

Saat Sultan Kanoman Cirebon Bersilaturahim

Tarini (41), nenek dua cucu, segera berdiri kala sejumlah keluarga Kesultanan Kanoman Cirebon, Jawa Barat, berjalan melintas menuju Bangsal Pasanggrahan di kompleks makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Sembung, Kabupaten Cirebon, Minggu (27/9). Tiga jam sudah dia menanti kehadiran Sultan Raja Muhammad Emirudin, Sultan Kanoman XII.

Bagi Tarini, kaki yang kesemutan karena duduk berjongkok dan peluh yang mengucur karena sengatan matahari pagi, tak membuatnya gentar berdesak-desakan dengan ratusan orang di depan Bangsal Pasanggrahan. Tujuan mereka sama, ingin mendapat berkah dari Sultan Kanoman Cirebon yang melakukan ritual ziarah kubur Grebeg Syawal.

Mereka yakin, apa saja yang mereka dapatkan dan berikan dalam ritual Grebeg Syawal, akan mendatangkan kemakmuran dan perlindungan bagi keluarga. Karena itu, mereka pun rela menyemut di depan bangsal dan sepanjang jalan yang dilintasi Sultan. Banyak dari mereka yang mencoba menyentuh dan menggapai-gapai Sultan Kanoman XII.

”Senang rasanya bisa melihat Sultan. Dia kan keturunan orang suci. Kalau kita datang dan bertemu dengannya, pasti kita mendapat berkahnya,” kata Tarini yang antusias bersiap berebut uang receh dalam ritual surak atau sawer yang mengakhiri Grebeg Syawal Kesultanan Kanoman.

Damun (42) dan Sundari (40), suami istri asal Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, juga merasa senang. Pada Grebeg Syawal kali ini, mereka berhasil mendapat tiga koin uang receh dan sejumput nasi kuning yang disajikan saat doa di Bangsal Pesanggrahan. Rencananya, uang receh itu akan mereka simpan di dalam kendi beras dengan harapan dapat mendatangkan kemakmuran.

Pencerahan

Demikian pula Rohaya (65) dari Karangampel, Indramayu, senang setiap tahun bisa datang ke Grebeg Syawal. Selain melihat Sultan, dia juga menyempatkan berziarah ke makam kerabat Sunan Gunung Jati untuk mendapatkan pencerahan. ”Saya suka mendengarkan kalau Sultan berdoa. Hati rasanya lebih tenang,” tambahnya.

Menurut RM Arief Rahman, Sekretaris Yayasan Famili Kesultanan Kanoman Cirebon, banyak persepsi masyarakat terkait Grebeg Syawal yang dilakukan setiap tanggal 8 bulan Syawal. Kebanyakan menganggap kesempatan untuk mendapatkan berkah. Padahal, tujuan utamanya adalah ziarah kubur Sunan Gunung Jati dan leluhur Sultan Kanoman.

Ziarah dilanjutkan dengan silaturahim antarkerabat kesultanan dan masyarakat umum dalam bentuk doa dan zikir bersama. Setelah itu memberikan sedekah. Sultan melemparkan uang receh yang boleh diambil oleh siapa saja, khususnya khalayak umum. ”Ini adalah kesempatan Sultan bersilaturahim dengan kerabat-kerabatnya, juga dengan masyarakat,” ujar Arief.

Grebeg Syawal di Kesultanan Kanoman dilakukan setelah kelurga kesultanan melakukan puasa sunah enam hari pada 2-7 Syawal. Puasa sunah di awal bulan Syawal dilakukan Sunan Gunung Jati sehingga sebagai keturunannya, mereka pun harus menjalankannya.

Ritual diawali dengan penyambutan Sultan oleh Pangeran Komisi PM Rokhim dan kerabat, yang dikawal para kemit (penjaga makam). Sultan berjalan menuju Pintu Pasujudan atau Lawang Gede. Pintu ini hanya dibuka pada hari-hari tertentu, yaitu kala Grebeg Syawal dan Idul Adha. Masyarakat hanya boleh mengikuti Sultan sampai Lawang Gede atau pintu ketujuh.

Di depan Lawang Gede, masyarakat meyakini jika melempar uang, beras, dan bunga akan mendapatkan berkah. Sedekah yang mereka lemparkan bakal berbalik dan berlipat. Begitu keyakinan Rohaya yang pasti melempar uang saat melintas di depan Pintu Pasujudan.

Di kawasan Gunung Muria, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Minggu, parade ”sewu kupat Sunan Muria” berlangsung meriah. Parade diawali dari kompleks makam dan masjid Sunan Muria, salah satu Wali Sanga. Begitu pula dengan acara serupa di lokasi sendang jodoh Bulusan Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.

Puncak perayaan Syawalan dan Kupatan, Minggu, ribuan pengunjung Taman Rekreasi Pantai Kartini dan peserta Tasyakuran Laut dan Bumi memadati jalur pantai utara di Desa Tasikagung, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Keramaian itu menyebabkan arus lalu lintas di jalur itu padat merayap sekitar enam jam. (tht/sup/hen)

Source : Kompas, Senin, 28 September 2009 | 04:03 WIB

Sunday, September 27, 2009

Gelar Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987

  • REUNI ALUMNI SMEA NEGERI INDRAMAYU

Ekspresi Kenangan Setelah Dwi Dasawarsa

Baru Berjumpa

INDRAMAYU – Suasana hari Minggu (27/9) siang, di halaman Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Indramayu (dulu SMEA Negeri), Provinsi Jawa Barat berbeda dengan hari-hari biasa. Ramai dan dipadati ratusan alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987. Musik organ tunggal yang sengaja disediakan pihak panitia, iramanya terus mengalun mengiringi kehadiran tamu-tamu “kehormatan” yang telah sekian lama, sekitar dua puluh tahun lebih tak saling bertemu dan berbagi cerita tentang kisah perjalanan hidupnya masing-masing setelah lulus dari SMEA Negeri Indramayu.

Hari Minggu (27/9) siang itu, rupanya merupakan hari yang paling indah dan sangat berharga bagi yang menghadiri acara Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987. Setelah lulus dari SMEA Negeri Indramayu, beragam profesi yang telah dijalaninya hingga kini, dipertemukan dalam sebuah acara yang baru kali pertama digelarnya atas gagasan beberapa alumni di sekolahan itu yang dimotori Syamsul Bahri, Junaedi, Titin S, dan lain-lain untuk menggelar acara bertema “Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987” seusai merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1430 H di halaman sekolahnya dulu (kini SMKN Indramayu).

Acara itu memang terbilang kurang sempurna, mengingat dari 228 lulusan SMEA Negeri Indramayu Angkatan 1986/1987, yang hadir sekitar seratusan alumnus. Meski demikian, Ketua Panitia Reuni Junaedi mengatakan, bagi yang tidak hadir pihaknya sangat menyadari karena kemungkinan kesibukannya masing-masing dalam mengarungi kehidupannya. Ada yang sampai di luar Pulau Jawa, bahkan ada yang tengah berada di luar negeri. Bahkan ada yang sebagian kecil telah berpulang kepada Sang Pencipta dengan tenang.

Namun baginya, sebuah berkah tersendiri ketika bersama-sama dipertemukan dalam acara Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987. “Selain acara hari ini, pada saatnya nanti kita menginginkan dikumpulkan kembali seperti ini lagi sebagai bentuk untuk mempererat silaturahmi diantara kita,” kata Junaedi, mantan Caleg PBB yang “gagal” duduk di kursi DPRD Indramayu dalam Pemilu Legislatif 2009 lalu.

Dua puluh tahun lebih, nampaknya rentang waktu yang sangat panjang bagi perjalanan para alumni SMEA Negeri Indramayu jika dihitung dari tahun 1986/1987. Selama perjalanan itu, ada yang sudah sukses dalam mengarungi kehidupannya, namun tak sedikit pula yang masih belum beruntung, masih berjuang keras, masih pontang-panting dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, seperti ada yang menjadi penarik becak, penarik bajaj, sopir angkot, sopir angkutan Kopayu, pemulung, pedagang keliling, dan lain-lain. Kedati demikian, ada juga yang sudah dianggap sukses oleh rekan-rekannya karena sudah menjadi Direktur di perusahaan besar, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sudah punya kursi dan jabatan penting, Kepala Desa (Kuwu), Tentara, Polisi, guru, dan lain-lain.

Namun kondisi seperti itu, menurut Drs. H. Eno Suwarno (guru Ekonomi pada masa itu) mengatakan, merupakan hal yang wajar dan sudah biasa dalam perjalanan hidup seseorang. “Namun jalinan silaturahmi sesama alumni SMEA Negeri Indramayu, adalah amat penting untuk terus dilestarikan karena mengandung barokah yang tak ternilai di mata Allah SWT,” ungkap mantan Kepala SMK Endang Darma Indramayu itu.

Kemudian tampilnya Drs. H. Mujahid (guru Stenografi di masa itu) dan kini menjabat Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kabag Kesra) Setda Kabupaten Indramayu, mengatakan, acara Reuni itu merupakan arena silaturahmi yang tak ternilai harganya. “Sehingga perlu dipertahankan untuk memperkokoh jalinan silaturahmi diantara kita, baik sesama alumni SMEA Negeri maupun guru-gurunya,” tuturnya.

Mujahid mengajak seluruh alumni SMEA negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987 turut mendoakan guru-gurunya yang yang telah berpulang ke Rakhmatullah dengan tenang, agar di alam baka sana terbebas dari siksa api neraka, dan amal serta ibadahnya semoga diterima di sisi Allah SWT.

Beberapa guru dan Kepala Sekolah SMEA Negeri Indramayu Tahun 1986/1987 yang telah meninggal dunia itu, diantaranya Drs. Tubagus Ahmad S (Kepala Sekolah), Iyas Karlan, BA (guru Bahasa Indonesia), H. Sahidin Purwita, BA (guru Ilmu Pemasaran), H. Liyun Abdul Karim, BBA (guru Ilmu Koperasi), Maryono M. Nur (guru Ilmu Praktek Mengetik), Kamya Nurhasan, BA (guru Ilmu Mengetik), Ester Trihartati, BSc (guru Matematika), Suroso (guru Olahraga), Yoyo Subagyo (guru Bahasa Inggris), Cecep Suryadi (guru Ilmu Stenografi), dan Drs. Mahmud (guru Bahasa Indonesia).

Acara Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Tahun 1986/1987 itu diakhiri dengan saling berjabat tangan dengan sesama alumni dan para gurunya sambil berbaris di arena acara, Minggu (27/9) siang itu. Kemudian aneka hiburan dan berjoget bersama sebagai penutup dari serangkaian acara tersebut. Konon, para alumni SMEA Negeri Indramayu diberikan ruang untuk berekspresi kegembiraannya, setelah dwi dasawarsa mereka tidak saling bertemu. (Satim)*** Foto-Foto : Satim

Beragam Ekspresi Peserta Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987

Spanduk Reuni SMEA Negeri Indramayu

INDRAMAYU – Spanduk Reuni Alumni Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987 terbentang di depan SMKN Indramayu (dulu SMEA Negeri Indramayu), Minggu (27/9) siang. Kini, SMEA Negeri Indramayu itu sudah dilikuidasi (tidak ada lagi), berganti nama dengan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Indramayu. (Satim)*** Foto : Satim

Junaedi Ketua Panitia Reuni SMEA Negeri Indramayu

Angkatan Tahun 1986/1987

INDRAMAYU – Junaedi terpilih sebagai Ketua Panitia Reuni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987 yang digelar di Lapangan SMKN Indramayu (dulu SMEA Negeri), Minggu (27/9) siang. Dalam gambar, Junaedi memberikan kata sambutan tanpa teks yang intinya, bahwa acara Reuni itu untuk merajut kembali tali silaturahmi para lulusan SMEA Negeri Indramayu Angkatan 1986/1987 yang sudah sekitar 21 tahun tak kumpul bersama di tengah kesibukannya masing-masing. Junaedi berharap, acara Reuni itu bermanfaat untuk memperkokoh jalinan kekeluargaan para lulusan SMEA Negeri Indramayu Angkatan 1986/1987. (Satim)*** Foto : Satim

Sangat Antusias Dalam Acara Reuni

INDRAMAYU – Peserta Reuni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987 terlihat sangat antusias dalam acara yang baru saja digelarnya, karena sudah sekitar 21 tahun baru terselenggara seusai Idul Fitri, Minggu (27/9) di lapangan SMKN Indramayu (dulu SMEA Negeri Indramayu). Ratusan hadirin tampak hadir mengikuti acara yang terbilang langka itu. (Satim)*** Foto : Satim

Para Guru dan Murid SMEA Negeri Indramayu

Yang Seangkatan Pada Masa Lalu

INDRAMAYU – Para guru dan murid-murid SMEA Negeri Indramayu yang seangkatan pada masa lalu, yakni angkatan Tahun 1986/1987 turut hadir dalam acara Reuni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987, Minggu (27/9). Meski dari 228 lulusan pada masa itu, yang hadir di acara Reuni tersebut hanya sekitar seratusan alumni. (Satim)*** Foto : Satim

Rahayu Mewakili Kepala SMEA Negeri Indramayu

INDRAMAYU – Rahayu Setiawati merupakan alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987 yang menjadi guru di SMEA Negeri Indramayu, kemudian sekolahan itu dilikuidasi menjadi SMK Negeri Indramayu, dan Rahayu tetap mengajar di sekolah itu hingga kini. Dalam acara Reuni dengan rekan-rekannya yang seangkatan, Rahayu dipersilahkan mewakili atas nama Kepala SMEA Negeri Indramayu/SMKN Indramayu. Ia mengatakan, bahwa acara Reuni itu sangat bermanfaat untuk membangun rasa kekeluargaan dengan sesama alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987. Rahayu mengharapkan, kalau perlu acara Reuni itu harus dibangun secara rutin, apakah setiap tahun atau dua tahun sekali. (Satim)*** Foto : Satim

Eno Suwarno Juga Mengaku Terkesan

INDRAMAYU – Drs. H. Eno Suwarno, merupakan guru sewaktu tahun 1986/1987 mengajar Mata Pelajaran Ekonomi di SMEA Negeri Indramayu, turut memberikan sambutan dan rasa uneg-unegnya dalam acara Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987, Minggu (27/9) siang. Eno yang mewakili guru-guru SMEA ketika itu, mengaku terkesan dengan acara tersebut karena sangat bermanfaat dalam menjalin silaturahmi dengan sesama lulusan SMEA Negeri Indramayu. (Satim)*** Foto : Satim

Mujahid Dari Guru, Kini Kabag Kesra Pemkab Indramayu

INDRAMAYU – Karirnya dari guru SMEA Negeri Indramayu Tahun 1986/1987 kemudian menjadi pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, salah satunya adalah Drs. H. Mujahid, setelah sempat menjadi Kasubdin Agama di Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, ia kini menjabat Kabag Kesra di lingkungan Setda Kabupaten Indramayu. Dalam acara Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan 1986/1987, Minggu (27/9) siang, Mujahid hadir di pentas untuk menyampaikan uneg-unegnya kepada para alumni SMEA Negeri Indramayu. Mujahid mengaku, sangat terkesan dan bermanfaat acara Reuni itu, sehingga bisa dijadikan jalinan silaturahmi yang berkesinambungan. (Satim)*** Foto : Satim

Mengekspresikan Kesenangan Dengan Berjoget

INDRAMAYU – Berjoget bersama di panggung, salah satu cara mengekspresikan kesenangan setelah sekitar dua puluh tahun lebih tak pernah bertemu dalam jalinan silaturahmi sesama alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987. Nah, Minggu (27/9) siang, seluruh alumni SMEA Negeri Indramayu 1986/1987 dipertemukan dalam sebuah acara bertema “Reuni Alumni SMEA Negeri Indramayu Angkatan Tahun 1986/1987” yang dipimpin Junaedi di Lapangan SMKN Indramayu. Tampak dalam gambar, para alumni SMEA Negeri Indramayu 1986/1987 tengah berjoget bersama dalam mengekspresikan kegembiraannya setelah saling bertemu dan berjabat tangan dalam bingkai “Halal Bil Halal Idul Fitri 1 Syawal 1430 H Mohon Maaf Lahir dan Batin”. (Satim)*** Foto : Satim

Friday, September 25, 2009

Nasib Reog Dermayu dari Masa ke Masa : Keliling Kampung Setiap Lebaran

KESENIAN TRADISIONAL

“Reog Dermayu” Masih Lestari

Berkat Kegigihan Senimannya

INDRAMAYU – Kesenian “Reog Dermayu” alias Bleknong, tampaknya agak berbeda dengan Reog Ponorogo yang sangat populer hingga manca negara. Reog Dermayu masih tetap dikenal dan dikenang, khususnya di wilayah Provinsi Jawa Barat. Maklum, Reog Dermayu jarang naik pentas di arena-arena nasional maupun internasional. Namun jangan lupa, Reog Dermayu mengandung keunikan tersendiri bagi warga penikmatnya, terutama kalangan anak-anak di wilayah Kabupaten Indramayu.

Di setiap lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, yang dinanti-nanti kalangan anak-anak adanya Reog Dermayu yang berkeliling (mider) dengan atraksinya seperti penampilan burung Garuda (Bloak), Buta Ijo, dan penampilan beragam wayang orang dengan kedok Gatot Kaca, Arwana, Arimbi dan lain-lain dengan tariannya masing-masing. Iringan musiknya sederhana, berupa reog, terompet, tembang (sinden), kecrek, dan sekarang diiringi pula dengan piano kecil sebagai pelengkap musiknya sambil dibawa dengan sepeda onthel berkeliling perkampungan dan perkotaan. Sementara personil lainnya sambil membawa ceting (bakul kecil) mendatangi rumah-rumah warga sambil meminta sadaqah sebagai imbalan pentas kelilingnya menghibur warga setempat.

Meski tak ada jaminan dari pemerintah untuk kelestarian Reog Dermayu itu, namun sejumlah senimannya tetap ingin mempertahankan keberadaan kesenian yang merupakan peninggalan sejarah masa lalu itu. Konon, keberadaan Reog Dermayu sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit. Kemudian dikembangkan oleh para penyebar agama Islam pada jaman Wali Sanga dalam rangka meraih perhatian warga untuk masuk Islam. Ironisnya, sejarah Reog Dermayu tak pernah diungkap dalam Buku Sejarah Indramayu (1977) maupun sejumlah Buku Sejarah Indramayu lainnya. Sehingga amat wajar, jika sejarah Reog Dermayu terkesan masih bias. Namun Reog Dermayu bisa bertahan hingga kini, hanya karena semangat dan jiwa seni yang melekat di hati senimannya, bukan karena sumbangan dana pemeliharaan seni dari pemerintah.

“Meski pemerintah tidak peduli atau kurang perhatian sama sekali terhadap Reog Dermayu, kami ingin mempertahankan kesenian Reog Dermayu ini hingga akhir hayat. Meski jaman sudah modern, namun semoga tidak sampai menghilangkan Reog Dermayu ini,” tutur Sakur (58), seniman Reog Dermayu di Desa Panyindangan Wetan, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Jumat (25/9) siang.

Menurutnya, Reog Dermayu paling banter main di acara “Ngarak” (pesta adat ritual) penganten sunat, rasulan. Sementara kegiatan rutin tahunannya pada saat lebaran berkeliling ke sejumlah desa maupun kota. “Ada rejeki tambahan di luar sadaqoh warga, jika ketika pentas keliling ada yang “nanggap” (show) atas permintaan seseorang dengan ukuran durasi “babak” (setiap babak sekitar 7 menitan). Tarifnya setiap babak sekitar Rp 15-ribuan hingga Rp 20-ribuan,” ujarnya.

Dan lebaran tahun 2009 ini, sejumlah kesenian Reog Dermayu turut meramaikan suasana Idul Fitri 1430 Hijriyah. Sampai sepekan usai lebaran, Reog Dermayu masih dijumpai tengah pentas keliling di sejumlah perkampungan di wilayah Kabupaten Indramayu. Meski dari hasil pentas keliling itu jika dibagi rata dengan puluhan personilnya, mereka kadang hanya kebagian sekedar untuk menyambung hidup keluarganya yang nilainya tak seberapa. Tapi biar mengaku capek, mereka terlihat asyik menikmati hasil pentasnya itu. (Satim)*** Foto-Foto : Satim

Mempelajari Sejarah Candi Jawi

Belajar Sejarah

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Anak-anak mempelajari sejarah Candi Jawi, yang dibangun Raja Kartanegara, melalui diorama di Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (24/9). Candi Jawi dibangun pada tahun 1292 di Gunung Welirang. Candi itu merupakan perpaduan Sivaisme dan Budhisme, ditandai dengan arca Aksobhya di puncak candi dan arca Siva Mahadewa di bawahnya.

Source : Kompas, Jumat, 25 September 2009

Yulhendri, Seniman Patung dari Yogyakarta

Industri Patung


KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Yulhendri (46) menggarap patung berbahan campuran semen dan serat fiber di Dusun Mrisi, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (24/9). Patung pesanan sejumlah hotel di Inggris, Perancis, dan Spanyol tersebut dijual Rp 300.000 per buah.

Source : Kompas, Jumat, 25 September 2009




Tanah Papua "Surga" Yang Masih Dikucilkan

KOMPAS/PRIYOMBODO

Rumah semut setinggi satu hingga dua meter banyak dijumpai di Taman Nasional Wasur, Kabupaten Merauke, Papua, seperti terlihat beberapa waktu lalu.

PEMBANGUNAN PAPUA

Merauke, Surga Kecil yang Jatuh di Bumi

Tanah Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Itu adalah petikan syair lagu berjudul ”Aku Papua”.

Merauke adalah bagian dari surga itu. Sebuah kabupaten di bagian selatan Papua seluas 4,5 juta hektar dan berpenduduk sekitar 300.000 orang.

Pertengahan Agustus 2009 lalu, rombongan yang dipimpin pimpinan perusahaan Medco, Arifin Panigoro, datang ke tanah ini atas undangan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze.

Di antara rombongan ada Duta Besar Amerika Serikat Cameron R. Hume, pejabat politik (political officer) Kedutaan Besar AS di Indonesia Matthew A Cencer, Direktur Bank Rakyat Indonesia Bambang Soepeno, serta wartawan senior Fikri Jufri dan Aristides Katopo.

Di kawasan Nilam Wasur, sebuah tempat jauh dari kota Merauke, Arifin Panigoro diangkat sebagai salah seorang warga marga Gebze dengan sebuah upacara sakral suku besar di tanah Merauke, Marind Anim.

Dalam pidatonya, Johanes Gebze mengatakan, kini roh Marind Anim telah merasuk dalam diri Arifin Panigoro. Pengusaha besar dari Jakarta itu diberi nama Namek Arifin Warfuk Gebze.

Anggrek wangi

Dalam pidatonya, Arifin mengatakan, upacara ini sudah pasti dengan restu alam dan Yang Maha Transenden. ”Buktinya, di tepi jalan sepanjang jalan menuju tempat itu bunga-bunga anggrek yang beraneka ragam jenisnya mekar. Mengherankan sekali, anggrek ini menebarkan aroma wangi bagaikan melati. Hanya di Merauke ada bunga anggrek wangi,” ujarnya.

Arifin juga mengatakan, upacara kekeluargaan ini tidak boleh berhenti di sini saja, tapi harus berlanjut dengan menolong membangun Merauke.

Johanes Gebze mengatakan, pembangunan di Merauke harus memerhatikan lingkungan alam keragaman hayati yang ada. Arifin juga mengakui, Papua termasuk Merauke adalah tanah yang sakral dan magis. Untuk membangun kawasan ini tidak bisa sembarangan.

Dari Johanes Gebze selaku pengusaha pemerintahan tanah Merauke, Medco yang dipimpin Arifin Panigoro mendapat konsesi mengelola tanah dan hutan seluas 350.000 hektar. Tanah yang sudah digarap sampai kini antara lain sekitar 160.000 hektar berupa penanaman padi dan berbagai macam tanaman seperti pohon minyak kayu putih (tanaman asli setempat). Proyek Medco berada di tepi Sungai Bian, sekitar 20 menit dengan pesawat dari Merauke. Di kawasan itu telah dibangun sebuah base camp yang telah ditempati oleh sekitar 500 karyawan, termasuk 100 orang dari berbagai suku asli Papua.

Setelah upacara adat, rombongan berkumpul di Bandar Udara Mopah, Merauke. Sebelum makan malam, menyanyi, dan menari, rombongan berdiskusi tentang strategi membangun Merauke.

Dubes AS Cameron R. Hume berbicara soal menjaga kelestarian alam dalam menghadapi perubahan iklim, sementara Arifin bicara soal keistimewaan tanah Merauke yang bisa dinikmati banyak orang dari luar Merauke. Di tanah ini bisa dibangun pusat wisata. Merauke adalah sebuah wilayah tanah datar.

Di Merauke ada kanguru, ribuan rumah semut seperti pondok-pondok rumah manusia, ribuan buaya, rusa, dan pantai yang amat luas. Selain itu, juga terdapat puluhan sungai besar yang bisa dilayari dengan perahu-perahu besar.

Dalam diskusi itu, dua pejabat Conservation International (lembaga penjaga kelestarian alam internasional) untuk Indonesia, Jatna Supriatna dan Neville Kemp (orang Inggris yang pernah hidup 15 tahun di pedalaman Papua), mengingatkan, Merauke punya keunikan yang tiada tara. Menurut Kemp, pendekatan sosial dan menghormati adat setempat juga bagian dari pembangunan Merauke. ”Kesalahan pendekatan dan penghinaan terhadap adat bisa menimbulkan kerugian dahsyat,” ujarnya.

Kehadiran Dubes AS tanpa pengawalan petugas keamanan menunjukkan Merauke adalah tanah yang aman dan damai. Namun, keamanan dan kedamaian itu bisa terusik bila tidak memerhatikan peringatan Neville Kemp.

Mindiptana, sebuah kecamatan di Kabupaten Boven Digoel, tetangga Merauke yang berbatasan dengan Papua Niugini, hingga kini masih bergolak.

Berkaitan dengan kelekatan dengan NKRI ini, Mindiptana masih rentan karena keunikan setempat yang tidak dihormati sejak masa Orde Baru dulu. (J Osdar)***

Source : Kompas, Jumat, 25 September 2009 | 02:50 WIB

Kiprah Yayasan Talenta Surakarta

Sapto Membawa "Ideologi Kenormalan"

Oleh : SONYA HELLEN SINOMBOR

Isu difabel bukanlah monopoli difabel, tetapi merupakan isu manusia. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada jarak antara komunitas difabel dan nondifabel, yang akhirnya memunculkan ”ketakutan” masing-masing untuk berinteraksi satu sama lain.

Paradigma inilah yang coba dibangun Sapto Nugroho (45). Direktur Yayasan Talenta Surakarta ini merupakan salah satu di antara sekian difabel yang mengabdikan dirinya untuk komunitas difabel.

Sejak mendirikan Yayasan Talenta, 10 tahun yang lalu, ia aktif melakukan pemberdayaan terhadap individu dan organisasi difabel, menyosialisasikan dan membangun paradigma baru penanganan masalah kecacatan, serta mendorong kebijakan yang berperspektif kecacatan.

Bagi Sapto, kurang terjadinya interaksi yang wajar antara komunitas difabel dan nondifabel merupakan masalah yang serius. Akibat situasi ini, tidak tersedia ruang dan waktu yang cukup bagi komunitas difabel dan nondifabel untuk saling berkomunikasi, belajar, mengerti, dan memahami, hingga akhirnya memunculkan rasa solidaritas.

”Interaksi yang wajar kurang terjadi karena masing-masing pihak terhegemoni oleh sebuah ideologi kenormalan, yang mendefinisikan tentang siapa yang disebut normal,” ujarnya.

Bahwa yang disebut normal adalah orang yang memiliki organ lengkap dan berfungsi, dan jika seorang memiliki organ lengkap tetapi ada satu atau dua organ yang tidak berfungsi, orang lain akan menyebutnya sebagai seorang yang tidak normal. Istilah normatifnya cacat.

Meskipun ideologi ini tak ada dalam kurikulum sekolah- sekolah, dampaknya sangat kuat memengaruhi cara berpikir semua orang. ”Masing-masing mempunyai ketakutan, yang sebenarnya hanya asumsi, ketika ingin memulai interaksi,” paparnya.

Realitanya, masyarakat nondifabel beranggapan difabel adalah sosok yang gampang tersinggung, bertemperamen tinggi, dan tidak mudah berkomunikasi. Sebaliknya, difabel mempunyai rasa takut jangan-jangan dia tidak diterima secara wajar ketika ingin bergaul.

Kondisi inilah yang mendorong Sapto mendirikan Yayasan Talenta. Awalnya, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, ini terjun menjadi aktivis di sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sosial dan ekonomi di Solo. Bermodalkan tekad dan tabungan seadanya, tahun 1999 dia mendirikan Yayasan Talenta.

”Saya pilih nama Talenta karena talenta adalah titipan anugerah dari Tuhan. Talenta teman-teman difabel tidak bisa maksimal, kami ingin keluar melampaui batas. Makanya, slogan Yayasan Talenta ”We Fight for Human Liberation,” ujarnya.

Bagi Sapto, selain sarat diskriminasi, paradigma penanganan kecacatan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Hingga kini, sosok difabel masih dipandang sebagai individu yang lemah, tergantung, tidak produktif, perlu santunan/bantuan, dan berakibat memunculkan rasa belas kasihan. Saat ini hanya ada sekitar 40 panti yang menangani difabel, sementara jumlah difabel diperkirakan sekitar 6,2 juta dan bakal terus bertambah.

Paradigma kecacatan

Selain menyosialisasikan terminologi baru mengenai kecacatan, Yayasan Talenta aktif melakukan advokasi dan pemberdayaan difabel, kampanye problem-problem difabel, serta membangun kemitraan dengan pemangku kebijakan.

Pada tahun 2004, ketika Pemerintah Kota Solo memberikan asuransi kesehatan (askes) buat warga miskin Solo, Yayasan Talenta menuntut agar difabel juga mendapat askes, sehingga akhirnya 34 difabel mendapat askes. Pada tahun 2005 jumlah difabel pengguna askes meningkat menjadi 140 orang dan berlanjut hingga saat ini.

Sapto juga tidak pernah berhenti mengingatkan pemerintah dan pemangku kepentingan di Kota Solo bahwa Solo merupakan kota lahirnya upaya rehabilitasi. Oleh karena itu, penanganan difabel harus mendapat perhatian.

Perjuangan mendobrak paradigma kecacatan dilakukan Yayasan Talenta dan LSM Interaksi, yang melalui Konsorsium Lembaga Kecacatan Surakarta mengajukan Naratif Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kesetaraan Hak-hak Dasar Difabel di Kota Solo.

Perjuangan ini tidak sia-sia. Akhir 2008, DPRD Kota Solo menetapkan Perda tentang Kesetaraan Difabel yang mengatur hak dan kewajiban difabel Solo.

Perjalanan Sapto mengadvokasi komunitas difabel tidak selalu mulus. Selain sulit menggalang dana untuk kegiatan komunitas difabel, penolakan atas kehadiran dirinya di sejumlah tempat sering dialaminya. Sosok Sapto yang telah menggunakan kruk (penyangga tangan) sejak usia 5 tahun sering ditolak dan diperlakukan seperti difabel umumnya yang perlu dikasihani.

Ketika akan menyosialisasikan kegiatan difabel di Dinas Sosial Pemkot Solo, ia malah dikira ingin meminta bantuan. Begitu juga ketika mendatangi sebuah hotel berbintang di Solo, Sapto malah dihadang petugas keamanan hotel. Adapun saat menjadi fasilitator sebuah workshop di Flores Timur, dia sempat dikira seorang tukang kayu.

Tentang kecacatannya, Sapto yang sering disapa dengan panggilan Om berujar, ”Menurut keluarga, sewaktu berumur tujuh hari, saya mengalami panas tinggi dan diperiksakan ke dokter. Untuk mengatasi panas, saya disuntik. Ternyata suntikan itu berdampak bagi perkembangan tubuh saya. Ketika saatnya berjalan seperti anak-anak lain, saya enggak bisa jalan. Kaki cenderung mengecil, sehingga pada usia lima tahun mulai dilatih ayah saya menggunakan kruk, sampai sekarang.”

Bias difabel

Sapto menilai, program-program pemerintah hingga kini belum banyak yang menyentuh kaum difabel. Dalam konteks pemenuhan HAM, secara kuantitatif dan kualitatif, pemerintah sudah memberikan perhatian terhadap masalah difabel, tetapi diskriminasi terhadap difabel masih terjadi.

Perencanaan pembangunan pun masih banyak yang bias difabel (tidak mengakomodasi kebutuhan difabel). Misalnya, penanganan bencana alam gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten yang mengakibatkan munculnya difabel-difabel baru.

”Bukankah kita tidak pernah mendapatkan informasi resmi tentang jumlah ’difabel baru’ akibat bencana tersebut. Banyak yang tidak terakomodasi dalam perencanaan pemulihan,” ujarnya.

Seharusnya, lanjut Sapto, difabel diklasifikasi menjadi dua kelompok, yakni difabel yang mampu didik (kemampuan intelektual masih bisa dikembangkan) dan mampu latih (kemampuan intelektual tidak bisa dikembangkan), dan difabel mampu rawat (always patient). ”Kedua kelompok ini harus dipilah, tidak semua harus masuk panti,” paparnya.

Source : Kompas, Jumat, 25 September 2009 | 02:44 WIB

Foto : KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Thursday, September 24, 2009

Tingginya Potensi Korupsi Pendidikan

Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita

Oleh : Febri Hendri AA

Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Anggaran pendidikan yang minim menjadi berkurang. Akibatnya, warga negara tidak mendapat hak pendidikan sewajarnya.

Banyak sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan.

Selain itu, korupsi pendidikan juga merusak mental pejabat dari melayani menjadi dilayani. Birokrasi pendidikan tidak lagi mendahulukan kepentingan pendidikan, tetapi memprioritaskan kepentingan politik dan bisnis rekanan. Mereka sulit ditemui saat masyarakat kesulitan menghadapi masalah pendidikan. Padahal, sebagian besar pendapatan pajak dari masyarakat dihabiskan untuk membayar gaji, tunjangan, dan honor mereka.

Potensi korupsi pendidikan

Dalam lima tahun terakhir, korupsi pendidikan potensial terjadi. Hal itu terlihat dari hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Departemen Pendidikan Nasional, pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) dan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Berdasarkan perhitungan ICW atas audit BPK hingga semester II-2007, ditemukan potensi penyelewengan di Depdiknas sebesar Rp 852,7 miliar. Penyimpangan itu antara lain terjadi pada pengelolaan aset (Rp 815,6 miliar), tidak tepat sasaran (Rp 10,5 miliar), tanpa bukti pertanggungjawaban (Rp 16,8 miliar), pemborosan (Rp 6,9 miliar), penyimpangan lain (Rp 2,9 miliar).

Selain itu, potensi penyimpangan juga ada dalam pengelolaan DAK 2007 untuk rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah. Penyimpangan terjadi dalam bentuk pengadaan sarana prasarana dinas pendidikan, penunjukan pihak ketiga tanpa melibatkan sekolah, dan pemotongan dana oleh dinas pendidikan. Bahkan, pihak ketiga juga menjadi kolektor terselubung guna mengumpulkan dana sekolah untuk pejabat di dinas pendidikan.

Hal serupa terjadi dalam pengelolaan dana BOS. Berdasarkan audit BPK tahun 2007, enam dari 10 sekolah penerima dana BOS tidak mencantumkan BOS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Sekolah ini juga terbukti melakukan penyimpangan dari petunjuk teknis BOS. Praktik itu antara lain terjadi melalui penggunaan dana BOS untuk acara pisah sambut kepala dinas pendidikan, uang lelah kepala sekolah, iuran PGRI, dibungakan oleh kepala sekolah/bendahara, dan penyimpangan lain.

Penindakan

Tingginya potensi korupsi pendidikan ternyata tak disertai penindakan maksimal. Dari pantauan ICW selama lima tahun, penegak hukum hanya berhasil menindak 142 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 243,3 miliar. Adapun 287 pelaku ditetapkan sebagai tersangka.

Temuan menarik dalam pemantauan ini adalah dinas pendidikan diduga merupakan institusi pendidikan paling korup. Dari 142 kasus, 70 kasus terjadi di lingkungan dinas pendidikan dengan kerugian negara Rp 204,3 miliar. Kepala dinas dan jajarannya diduga merupakan tersangka paling banyak di antara pelaku lain. Di antara 142 kasus, 42 orang adalah kepala dinas pendidikan dan 67 birokrat di bawah kepala dinas pendidikan.

Selain itu, sekolah juga tidak luput dari praktik korupsi. Sebanyak 46 kasus terjadi dalam lingkungan sekolah dan 43 kepala sekolah telah ditetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara yang ditimbulkan tidak sedikit, lebih dari Rp 4,1 miliar.

Ironisnya, penindakan terkesan tumpul saat mengusut dugaan korupsi di Depdiknas. Dalam lima tahun terakhir, penegak hukum hanya mampu mengusut dua kasus korupsi. Kasus itu terjadi dalam pengelolaan dana di Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah. Penanganan kasus ini pun terkesan tertutup dan cenderung luput dari pengawasan publik.

Pendorong korupsi

Korupsi pendidikan terjadi karena rendahnya kontrol publik atas kewenangan pengelolaan anggaran pendidikan. Publik tak memiliki akses signifikan terhadap pengelolaan anggaran pendidikan. Dokumen dan informasi anggaran pendidikan cenderung tidak transparan dan dikuasai segelintir elite birokrasi pendidikan. Hal ini meningkatkan peluang penyelewengan anggaran pendidikan.

Penyalahgunaan kewenangan ini juga diperkuat buruknya tata kelola di sektor pendidikan. Perencanaan dan penganggaran pendidikan dilakukan dari atas ke bawah. Politisi dan rekanan dengan mudah menitipkan proyek ke berbagai pos anggaran pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran tidak mencerminkan kebutuhan pendidikan, tetapi justru mengakomodasi kepentingan birokrasi, politisi, dan pengusaha.

Sementara itu, birokrat pendidikan menganggap pertanggungjawaban publik bukan hal penting. Pertanggungjawaban keuangan cukup disampaikan kepada instansi atau pejabat lebih tinggi. Lagi pula, sudah ada pengawas internal yang akan mengaudit laporan keuangan mereka.

Di lain pihak, audit oleh pengawas internal sering tidak mampu mendapatkan temuan penyimpangan signifikan. Sebaliknya, audit malah menjadi legitimasi dan pembenaran atas pengelolaan anggaran pendidikan. Pengawas internal pemerintah tumpul saat penyimpangan melibatkan atasan mereka sendiri.

Solusi

Korupsi pendidikan harus segera diusut tuntas. Hal ini diharapkan memberikan efek jera bagi aktor lain agar kebocoran anggaran dapat ditekan. Penindakan senantiasa didasarkan pada dampak buruk korupsi pendidikan, seperti meningkatnya ruang kelas rusak, guru tidak sejahtera, meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua murid, dan meningkatnya anak putus sekolah, terutama pada kelompok miskin dan perempuan.

Kontrol publik atas penyelenggaraan pendidikan harus terus ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan mendorong munculnya gerakan sosial untuk terlibat aktif dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan. Di tingkat pusat, kebijakan nasional pendidikan serta APBN pendidikan pantas mendapat fokus pengawasan. Begitu juga di daerah, pengelolaan dana pendidikan di tingkat dinas dan sekolah senantiasa diawasi. Tanpa perubahan ini, kebocoran anggaran pendidikan mustahil ditekan. Warga negara semakin jauh dari hak pendidikannya.

Febri Hendri AA

Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik

Indonesia Corruption Watch (ICW)

Source : Kompas, Kamis, 24 September 2009 | 02:41 WIB

Illustrasi : Foto Antara-Sumbar

Monday, September 21, 2009

Kerbau-Kerbau Indramayu Nyaris Sirna

NASIB KERBAU DERMAYU

Pernah Berjaya Sebagai Pembajak,

Kini Nyaris Sirna

INDRAMAYU – Perkembangan jaman kadang harus menggusur lainnya. Setidaknya, begitulah nasib kerbau yang dulu sangat berjaya dan menjadi sarana andalan warga untuk membajak sawah, serta angkutan umum. Namun kini hewan berkulit hitam pekat itu nyaris sirna. Padahal, dulu hanya orang-orang kaya lah memiliki kerbau dengan sejumlah penggembalanya.

Di pagi buta usai Subuh, kerbau-kerbau itu sudah dilepas penggembalanya sampai ke sawah-sawah dan dibiarkan memakan rumput sebagai menu “sarapan” paginya. Kemudian sore menjelang petang, digiring ke Sungai Cimanuk pada mandi, sambil digosoki memakai daun “galing” oleh penggembalanya, lalu pulang dikandangkan di tempatnya masing-masing.

Generasi saat ini, mungkin akan kesulitan untuk menemukan pemandangan seperti itu lagi, karena penduduk sangat jarang memiliki kerbau. Bahkan di Desa Panyindangan Wetan, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu yang dulunya merupakan salah satu sentra peternakan kerbau di Indramayu, kini tak ada satu pun warga yang memiliki ternak kerbau. Konon, karena aktivitas pembajakan sawah sudah menggunakan traktor, bukan kerbau lagi.

“Saya dulunya pemilik ternak kerbau yang paling banyak, tapi sekarang buat apa beternak kerbau lagi. Semua kerbau dijual dan dibelikan traktor untuk disewakan kepada para petani,” tutur H. Sutara (67), mantan pemilik peternakan kerbau di Panyindangan Wetan, Senin (21/9).

Namun demikian, di wilayah Cantigi Kulon, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Senin (21/9) sore, Tim Ekspedisi Jejak Sejarah dan ToeNTAS News masih sempat menjumpai beberapa ekor kerbau yang tengah digembalakan oleh penggembalanya di sawah dan ladang yang rerumputannya cenderung mengering, karena musim kemarau.

Ironisnya, regenerasi penggembalaan kerbau terkesan sudah tak dijamin lagi, mengingat manfaat kerbau yang dianggap kurang potensial membantu petani dan warga setempat, kecuali untuk dimanfaatkan dagingnya, atau sesajian dalam acara ritual tertentu yang masih menggunakan kerbau sebagai sarana upacara ritualnya.

“Perkembangan dan perubahan jaman, kadang harus menggusur sesuatu lainnya yang dulu pernah ada dan sempat berjaya, seperti nasib kerbau itu,” ungkap Ki Tarpi (78), tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu.

Kemudian kerbau pun tampaknya akan mempunyai legenda tersendiri, meski keberadaannya kini nyaris sirna “ditelan” perkembangan jaman itu sendiri. (Satim)*** Foto-Foto : Satim