TAJUK RENCANA
Kompas, Selasa, 1 September 2009
Perlindungan Produk Budaya
Klaim kepemilikan Malaysia atas hak cipta tari pendet hendaknya jadi pelecut. Solidaritas kita hendaknya tidak ”hangat-hangat tahi ayam”.
Ajakan itu tidak lagi seruan atau imbauan, tetapi perintah. Perlu pertobatan atas kelalaian kita. Lalai atas kekayaan seni budaya, atas cagar budaya peninggalan nenek moyang, atas produksi industri kreatif yang kita miliki.
Hingga kini baru Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta yang menginventarisasi seni budaya. Hasilnya, sekitar 900 seni budaya ada di tiga provinsi. Padahal masih ada 33 provinsi lain, sedikitnya ada 300 gaya tari tradisional, belum lagi kain batik, songket, tenun, dan lain-lain dengan kekhasan daerah masing-masing.
Pemerintah mengaku sudah melakukan identifikasi. Namun, mengenai seni budaya, misalnya, ternyata belum ada data lengkap. Akibatnya, perlindungan lemah karena tidak adanya rasa memiliki. Sebaliknya, pada saat yang sama, digerakkan hobi, naluri dagang, atau kecintaan, muncul berbagai kelompok dengan semangat melestarikan seni budaya. Tak terhitung jumlah kolektor kain batik dan hasil seni budaya asli Indonesia.
Kehadiran mereka suportif dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya Indonesia. Ketika umumnya kita, bahkan pemerintah, lalai memberikan perlindungan, tidak langsung asosiasi-asosiasi itu menjadi pelindung kelestarian seni budaya.
Perusakan situs arkeologis di Trowulan merupakan contoh nyata ketidaktahuan budaya. Nafsu memperkenalkan cagar budaya, kok, dengan merusak! Vandalisme budaya tidak hanya dilakukan atas nama uang, tetapi atas nama ketidaktahuan. Vandalisme budaya macam itu tidak dirasakan sebagai kesalahan karena tidak ada perasaan harus melindungi.
Reaksi cepat atas klaim tari pendet hendaknya jadi pemantik mengubah mindset. Kita akhiri ketidakpedulian. Kita ingatkan perlunya perlindungan termasuk perlindungan hak cipta intelektual.
Tercatatnya 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni sejak 2002-Juni 2009, menunjukkan kelalaian justru lebih terletak pada lembaga pemerintah.
Pemerintah wajib memberikan perlindungan dan membangun kesadaran perlunya pengakuan hak cipta internasional. Dengan itu, kita melestarikan, menyelamatkan, dan mengembangkannya bagi kemaslahatan bangsa.
Meskipun sudah maksimal, tetap ada negara lain atau orang yang menistakan. Hasil budaya di antaranya karya seni diklaim sebagai hak miliknya. Kasus tari pendet dan klaim Malaysia atas berbagai hasil seni budaya Indonesia bukan yang pertama dan yang terakhir. Indonesia menjadi sasaran buruan karena berbudaya serupa dan serumpun. Tetapi terpenting... kita relatif lalai!
Alih-alih kasus terakhir, tari pendet kita tangkap sebagai kapstok dan pelatuk mengubah mindset!
Source : Kompas, Selasa, 1 September 2009
Illustrasi : Kompas.com & berita cerbon.com
No comments:
Post a Comment