KOMPAS/AGUNG SETYAHADI
Masyarakat Muslim di Desa Latta, Kecamatan Baguala, Ambon, Maluku, sejak ratusan tahun lalu hidup bersaudara dengan umat Kristen, Jumat (4/9). Jejak hidup harmonis masyarakat di sana terekam dalam masjid dan gereja yang dibangun bergotong royong. Hidup bersaudara adalah inti kehidupan orang Maluku yang memiliki tradisi pela gandong.
"Seng" Akan Hilang Persaudaraan di Bumi Maluku
Oleh : AGUNG SETYAHADI
Konflik sosial yang melanda Maluku 10 tahun lalu tak akan selesai jika semangat pela gandong absen dalam proses rekonsiliasi. Pela gandong terus hidup dan semakin merekatkan rasa persaudaraan.
Persaudaraan adalah harga mati bagi masyarakat Maluku. Segregasi permukiman pascakonflik sosial tidak memutus ikatan keluarga yang sempat terkoyak oleh konflik Maluku pada 1999-2004. Tali silaturahim antarumat berbeda keyakinan sudah terjalin jauh ke belakang zaman, meninggalkan jejak-jejak kearifan hidup orang Maluku.
Awat Ternate, Raja (Kepala Desa) Batumerah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, begitu bahagia saat saudara-saudara Kristiani dari Desa Paso bersilaturahim ikut berbuka puasa bersama, Kamis (3/9). Masyarakat Batumerah yang mayoritas penduduknya Muslim berhubungan pela (bersaudara karena ikatan jasa) dengan masyarakat Paso yang didiami umat Kristiani. Hubungan pela ini terjalin sejak ratusan tahun, tak lekang oleh zaman.
Gang sempit di depan rumah Awat Ternate menjadi aula terbuka. Kursi-kursi ditata rapi dan di depannya ada meja panjang penuh santapan. Ada nasi, sayur, ikan, dan kolak dingin untuk membatalkan puasa.
Buka bersama penuh keakraban. Dua saudara berbeda keyakinan duduk bersama mendengarkan pesan moral menjelang berbuka dari seorang ustaz. Kehadiran saudara Kristiani adalah berkah di bulan Ramadhan yang mengajarkan kerukunan, persaudaraan, dan meniadakan perbedaan untuk mencapai kesucian saat Lebaran.
”Silaturahim seperti ini rutin digelar tiap Ramadhan dan Lebaran untuk mengikis habis (konflik) yang pernah terjadi,” ujar Awat Ternate.
Syaipudin Sapsuha, pemuda aktivis rekonsiliasi, menambahi, silaturahim seperti itu dilakukan juga oleh negeri-negeri (desa) lain di Maluku. Di Kecamatan Kairatu, Seram Bagian Barat, misalnya, setiap puasa masyarakat di Desa Siriholo, Hualoy, Tamalehu, Latu, Kairatu, dan Hunitetu selalu mengadakan buka bersama. Saat Lebaran dan Natal, mereka juga saling mengunjungi. ”Semua itu lahir dari inisiatif masyarakat. Dalam setiap pertemuan, yang ditekankan adalah pluralisme,” ujar Syaipudin.
Milik bersama
Bagi warga Maluku, Lebaran adalah milik bersama. Hari kemenangan merupakan momen berharga untuk menata, mengeratkan hubungan antarumat. Menjelang Lebaran, umat Kristiani biasa mengirim bingkisan untuk keluarga yang beragama Islam. Kiriman berupa parsel aneka buah, kue, atau minuman ringan. Nominal kiriman tak jadi masalah. Nilai tertinggi adalah keikhlasan untuk berbagi.
”Pada saat katong (kami) terima bingkisan dari basudara Kristen, rasanya seng (tidak) bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia, terharu, dan tersanjung. Saat Natal kami juga mengirim bingkisan ke saudara Kristiani,” ujar Awat Ternate.
Saat halalbihalal, umat Islam mengundang saudara-saudara Kristiani untuk bermaafan. Kedatangan rombongan tamu gandong (persaudaraan yang diikat hubungan darah) dan pela biasa disambut tari-tarian dan musik shalawat. ”Halalbihalal untuk menguatkan batin sehingga tidak ada lagi syak wasangka,”lanjutnya.
Pendeta Jacky Manuputty, pelayan umat pada Gereja Kristen Protestan Maluku, menilai model silaturahim masyarakat Maluku tidak akan pernah hancur, bahkan oleh konflik. Silaturahim di Maluku tak saja berbasis respek normal seorang terhadap lainnya seperti biasa terjadi di kebanyakan masyarakat Indonesia, tetapi umumnya berbasis hubungan darah, keluarga, atau sumpah.
”Jadi, silaturahim saat hari-hari besar agama dibangun pada basis hubungan yang lebih kokoh di Maluku. Itulah relasi orang basudara,” ujar Jacky yang sedang mendalami studi Muslim-Christian-Jewish Relationship pada Harford Seminary New York, Amerika Serikat.
Pada waktu konflik, ada banyak perjumpaan tersembunyi antar-basudara beda agama. Bahkan, upaya perdamaian waktu konflik tak akan berhasil secepat yang terjadi jika elemen-elemen budaya dalam relasi orang basudara tidak disertakan dalam proses-proses rekonsiliasi.
”Silaturahim tidak semata-mata menjadi tanggung jawab sosial antarpemeluk agama, tetapi juga dilakukan sebagai tanggung jawab moral dan kultural orang basudara,” ujar Jacky yang aktif di Lembaga Antar Iman Maluku.
Tak heran jika jejak kultural orang basudara masih tetap tersemai, misalnya dalam kehidupan komunitas Muslim dan Kristiani di Desa Latta, Kecamatan Baguala, sekitar 5 kilometer arah timur Kota Ambon. Komunitas Muslim menetap di Latta sejak zaman Belanda hingga delapan generasi sekarang ini. Latta menjadi unik karena minoritas Muslim, sekitar 77 keluarga, hidup harmonis dengan mayoritas umat Kristiani.
”Dulu Raja Latta memberikan wakaf tanah untuk kami tinggal. Kami diterima baik sejak kakek-nenek hingga saat ini,” ujar Parman Tagus (53), Ketua RT 3 RW 1 Latta.
Saat konflik pecah tahun 1999, umat Islam masih bertahan selama tujuh bulan di Latta. Mereka dilindungi umat Kristiani. Setiap hari mereka bersama menjaga keamanan orang dari desa lain yang mengganggu. Umat Islam kemudian mengungsi karena arus pengungsi dari desa-desa lain tak terbendung dan mulai sulit terkontrol.
Kini, 10 tahun pascakonflik, dinamika hidup mereka mengalir seperti biasa. Relasi antarmanusia pulih seperti sebelum konflik. Mereka bergotong royong membangun masjid dan gereja, misalnya Gereja Latta. ”Persaudaraan kami sudah sangat lama. Pembauran antarumat beragama melahirkan persaudaraan yang kuat,” ujar La Hajira (47), imam Masjid Nurul Hidayah Latta. ***
Source : Kompas, Senin, 14 September 2009 | 04:25 WIB
No comments:
Post a Comment