Dadan Sukandar
Aki Dadan, Pelestari Mamaos Cianjuran
Oleh : A Handoko
Seni tradisi mamaos cianjuran yang berbentuk penggabungan bacaan kisah adiluhung dengan permainan kecapi mulai berkembang di Cianjur pada 1834. Seni tradisi itu diwariskan oleh Dalem Pancaniti atau RAA Kusumaningrat, Bupati Cianjur saat itu. Mamaos cianjuran merupakan wejangan mengenai kebajikan-kebajikan hidup.
Seni tradisi itu dulu dipentaskan saat pernikahan, pertemuan, atau rapat warga yang dianggap sebagai momentum tepat untuk memberikan wejangan. Ketika hiburan modern terus berkembang dalam berbagai bentuk, seni mamaos cianjuran makin terpinggirkan. Belakangan ini seni mamaos cianjuran hampir sulit ditemukan dalam acara-acara yang diadakan masyarakat Sunda-Cianjur.
Dalam tekanan hiburan modern yang sama sekali tak terkendali itu, mamaos cianjuran masih bertahan berkat kesetiaan Dadan Sukandar. Seniman berusia 66 tahun yang sering dipanggil Aki Dadan itu bahkan rela hidup miskin untuk menghidupi idealismenya bersama mamaos cianjuran.
”Mamaos cianjuran jika diterjemahkan kira-kira artinya adalah membaca ciptaan Tuhan. Apa artinya membaca ciptaan Tuhan itu? Mensyukuri segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Kalau itu terjadi, pastilah yang ada hanya kedamaian,” ujar Aki Dadan menerangkan filosofi mamaos cianjuran.
Aki Dadan lalu menyanyikan sebuah bait mamaos cianjuran:
”Nyana katiga sabulan
hujan poyan silantangan
necekeun suku katuhu
dilawanan ku tikenca
nojer ka bagal buana
sampiung ngapung ka manggung”
Penggalan mamaos cianjuran dalam bahasa Sunda buhun atau Sunda lama itu merupakan penggambaran susahnya seorang ibu yang sedang mengandung.
”Ketika seorang ibu mengandung, dia sangat kerepotan. Apa-apa terasa tidak enak dirasakannya. Itu berarti, kita sudah merepotkan ibu kita sejak berada dalam kandungan. Untuk itulah, kita wajib menghormati ibu,” kata Aki Dadan.
Kewajiban seseorang untuk menghormati ibu yang melahirkan kita hanyalah contoh kebajikan hidup yang ingin disampaikan melalui mamaos cianjuran. Pada dasarnya, mamaos cianjuran memberikan nasihat kepada manusia untuk berhati-hati dalam bertindak selama hidup di dunia.
”Ketika manusia berada di tahap hidup di dunia, dia sebetulnya sedang mempersiapkan kehidupan selanjutnya di alam barzakh atau kubur dan akhirat. Maka, kehidupan manusia di dunia menjadi modal penting untuk hidup di alam selanjutnya,” tuturnya.
Aki Dadan sudah mementaskan mamaos cianjuran sejak berumur 17 tahun, bersama ayahnya, Edu Sulaeman Affandi (almarhum). Awalnya, Aki Dadan tak tertarik dengan mamaos cianjuran. Dia lebih senang belajar gitar, seperti layaknya anak-anak seusianya ketika itu. Sejak kelas tiga Sekolah Rakyat Cianjur, ia belajar gitar. Kemudian, bersama teman-temannya, Dadan suka pentas di panggung dalam sejumlah acara.
Suatu saat Dadan diminta sang ayah untuk belajar kecapi, alat musik petik untuk mengiringi mamaos cianjuran.
”Ayah saya waktu itu memberi alasan, saya harus menjadi penerus seni tradisi mamaos cianjuran. Ketika itu saya baru sadar, ternyata saya tidak menaruh kepedulian terhadap seni tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang,” cerita Dadan.
Dia tidak memerlukan waktu lama untuk belajar kecapi karena telah memiliki dasar keahlian memetik gitar. Keahlian dia melantunkan bait-bait mamaos cianjuran seperti yang dimiliki sang ayah juga bisa dikuasainya. Padahal, seni mamaos cianjuran bisa dikatakan sulit dipelajari, terutama bagi orang awam.
Pasalnya, bait-bait dalam mamaos cianjuran umumnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Penggalan-penggalan wejangan hidup itu disampaikan secara turun-temurun dalam bentuk lisan, dan itu berarti hanya mengandalkan daya ingat para senimannya.
Soekarno dan Soeharto
Tahun 1960 hingga 1964 Dadan dan sang ayah rutin dipanggil untuk pentas di Istana Cipanas, Jawa Barat, untuk menghibur Presiden Soekarno.
”Presiden Soekarno amat senang dengan mamaos cianjuran. Setiap kali beristirahat di Cipanas, beliau selalu memanggil kami untuk pentas. Dalam setahun, kami bisa dua kali pentas di Istana Cipanas untuk menghibur Bung Karno,” cerita Dadan.
Ketika itu, memang hanya Dadan dan ayahnya yang dikenal memiliki keahlian melantunkan mamaos cianjuran.
Masa keemasan mamaos cianjuran masih berlanjut saat Presiden Soeharto berkuasa. Dadan, yang sudah ditinggal wafat sang ayah, beberapa kali dipanggil untuk pentas di Istana Negara dan berbagai acara kebudayaan di Jakarta.
Berbekal kemahirannya melantukan mamaos cianjuran itu, Dadan beberapa kali diminta turut serta dalam tim kebudayaan Indonesia yang melawat ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea. Dadan pun merasa semakin ”kebablasan” mencintai mamaos cianjuran.
”Walaupun tidak bisa membuat saya kaya harta, seni mamaos cianjuran memberi banyak saudara. Ke mana-mana saya jadi bertemu saudara,” katanya.
Dadan memang mengimplementasikan ajaran hidup dalam mamaos cianjuran itu dalam kehidupannya sehari-hari.
Hidup miskin
Akibat terlalu menomorsatukan idealismenya bersama mamaos cianjuran, Dadan tidak memiliki pekerjaan lain, taruhlah seperti berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini menyebabkan kehidupan Dadan dan keluarganya tak menentu saat mamaos cianjuran makin jarang dipentaskan.
Dadan bisa dikatakan hidup dalam kemiskinan hingga hari tuanya. Rumahnya di dekat Stasiun Cianjur, Jawa Barat, bahkan hampir roboh pada 2008. Atas inisiatif Ketua Paguyuban Pasundan Cabang Cianjur Abah Ruskawan, bersama Komando Distrik Militer 0608 Cianjur dan sejumlah donatur, rumah itu kemudian diperbaiki hingga kembali layak ditinggali.
Hingga kini, Aki Dadan masih hidup bersama mamaos cianjuran tanpa pekerjaan yang lain. Dia hanya mengandalkan kepedulian komunitas-komunitas seni Sunda untuk menyelenggarakan berbagai acara yang bisa diisi mamaos cianjuran.
Sampai sekarang bisa dikatakan belum ada kaum muda yang mau belajar seni tradisi itu dengan serius meski Aki Dadan membuka diri untuk berbagi kepandaian yang dimilikinya itu.
Bagaimanapun, dia tetap yakin seni tradisi itu dapat menopang hidupnya dan keluarga. Aki Dadan bertekad akan menghabiskan sisa hidupnya untuk tetap melestarikan seni mamaos cianjuran lewat media apa pun yang tersedia.
Data Diri
• Nama: Dadan Sukandar • Lahir: Cianjur, 23 Mei 1943 • Pekerjaan: Seniman mamaos cianjuran • Istri: Entin (56) • Anak: 1. Rinrin (39) 2. Ade (36) • Cucu: 6 orang.
Source : Kompas, Sabtu, 5 September 2009 | 02:56 WIB
Foto-Foto : KOMPAS/A HANDOKO
No comments:
Post a Comment