Tuesday, November 3, 2009

Mang Oman dan Gesekan Dawai Tarawangsa Yang Telah Melegenda

OMAN. (Foto : Kompas/Mawar Kusuma Wulan)***

Mang Oman Merasa dengan Tarawangsa

Oleh : Mawar Kusuma Wulan Kuncoro Manik

Mata Mang Oman hampir selalu terpejam ketika tangan kanannya menggesek dawai tarawangsa. Dalam setiap gesekan yang diselingi petikan, alat musik gesek tertua di Jawa Barat itu mengalunkan irama lengkingan panjang yang menyayat hati. Sungguh, alunan degung sunda sanggup menumpahkan air mata bagi hati yang terluka dan membuncahkan tawa di saat gembira.

Hampir setiap hari setelah pulang dari sawah, Mang Oman selalu memainkan alat musik dua dawai yang telah ditekuninya sejak masa remaja itu. Tarawangsa yang diartikannya sebagai alat untuk penerawangan rasa itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Mang Oman. ”Tiap kali menggesek tarawangsa, rasanya enak luar biasa,” ungkap Mang Oman saat ditemui di rumahnya, Kampung Cigelap, Parung, Cibalong, Tasikmalaya.

Rasa enak luar biasa inilah yang ingin senantiasa ditularkan oleh Mang Oman kepada semua orang. Selain memainkan alat musik tarawangsa, Mang Oman selalu menularkan kepiawaiannya menggesek tarawangsa kepada para tetangga dan rekan dekatnya. Dari tahun 1980-an, Mang Oman sempat membantu mengajar ekstrakurikuler tarawangsa secara cuma-cuma bagi para siswa di Sekolah Dasar Nangkasari, Kampung Cigelap.

Sejak setahun lalu, Mang Oman tak lagi mengajari siswa SD karena hampir seluruh waktunya tersita untuk menggarap sawah seluas 100 bata (1 bata > 14 meter persegi). Apalagi setelah istrinya, Enong (50), terkena stroke dan tidak lagi bisa menemaninya bertani. Padahal, kerinduan untuk menularkan keahlian musik tarawangsa masih melekat di hati Mang Oman.

Pada Sabtu (17/10) lalu, misalnya, sulit sekali menemui Mang Oman yang menghabiskan waktunya dari lepas subuh hingga jelang magrib untuk bertani dan menggembala sapi di pucuk bukit dengan jalan curam mendaki sejauh satu kilometer. Meskipun tubuhnya letih, senyum tak pernah lepas dari wajah Mang Oman.

Calung rantay

Semangatnya pun segera membuncah ketika mulai menggesek dawai tarawangsa yang terbuat dari kawat baja bekas kopling. Alat penggesek tarawangsa dibuat dari bahan yang mudah dicari, seperti ijuk dari pohon aren dengan gagang dari kayu jati. Bahan baku utama terbuat dari kayu lamek.

Mang Oman terbiasa membuat sendiri alat musik tarawangsa. Tak hanya digunakan untuk kebutuhannya pribadi, kadangkala Mang Oman juga menerima pesanan pembuatan tarawangsa dari rekan dan tetangga. Alat musik tarawangsa selalu digabungkan dengan permainan alat musik tradisional Sunda lainnya, yaitu kecapi dan calung rantay.

Bersama tiga rekannya, Mak Enar (70), Yayan (37), dan Yana (43), Mang Oman tergabung dalam Grup Calung Tarawangsa Dangiang Budaya di bawah pimpinan Aseng Kartija (68). Mereka selalu memainkan lebih dari sepuluh lagu tradisional yang tidak pernah diaransemen ulang seperti lagu bertajuk ”Ayun”, ”Salancar”, ”Manuk Hejo”, ”Aleuy”, dan ”Kang Kiai”.

Setiap lagu berdurasi lebih kurang lima menit. Mak Enar memetik kecapi atau dikenal juga dengan istilah jentreng sambil menyanyi dalam bahasa Sunda Buhun atau Sunda kuno. Petikan jentreng Mak Enar ini menjadi pengiring lagu utama yang dimainkan alat musik tarawangsa.

Dua rekan lainnya, Yana dan Yayan, bertugas memainkan alat musik bambu calung yang dirangkai dengan tali kuat dari tumbuhan merambat. Penampilan musik tarawangsa biasanya diiringi tari-tarian dari pasangan penari pria dan wanita dengan gerakan pelan dan teratur. Penonton tarawangsa pun diperbolehkan turut menari bersama para penari.

Seni musik tarawangsa sarat simbol. Menurut Mang Oman, dua dawai tarawangsa melambangkan paradoks kehidupan. Jika ada siang, maka ada malam; perempuan dilengkapi lelaki; dan ada langit, maka ada bumi. Sementara itu, jentreng berdawai tujuh melambangkan kepenuhan hidup manusia seperti tujuh hari dalam satu pekan.

Bersama grup Dangiang Sunda, Mang Oman telah memainkan alat musik tarawangsa ke berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, bahkan hingga Sumatera. Mereka juga pernah tampil di Universitas Padjadjaran maupun Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Setiap kali bermain di berbagai pementasan di luar Desa Cibalong, Mang Oman dan rekan-rekannya biasa dibayar Rp 100.000 per orang.

Menurut Mang Oman, pendapatan dari pementasan tarawangsa ini tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, dia mengaku bisa memperoleh kepuasan dari setiap gesekan tarawangsa yang dimainkannya.

Masyarakat pedesaan cenderung masih menyukai tarawangsa sebagai hiburan di hajatan pernikahan, syukuran rumah baru, dan khitanan. Pada bulan-bulan tertentu seperti bulan ruwah, bulan maulid, dan bulan haji, Mang Oman dan Grup Calung Tarawangsa Dangiang Budaya selalu tampil di berbagai pesta hajatan setiap hari.

Kehadiran alat musik tarawangsa juga terkait erat dengan tradisi bercocok tanam padi. Tarawangsa biasa dimainkan pada upacara ngalaksa sebagai ucapan syukur terhadap limpahan panen serta penghormatan terhadap Dewi Sri.

Tak sekadar sarana hiburan, tarawangsa juga dipercaya menyimpan fungsi magis. Sering kali, seni musik tarawangsa dilantunkan sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit seperti lumpuh, buta, atau kesurupan. Mang Oman mengaku sering diminta memainkan tarawangsa untuk kesembuhan warga.

Alat musik tarawangsa hanya dijumpai di daerah tertentu di Jabar, seperti Sumedang, Banten selatan, dan Tasikmalaya. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya telah memasukkan tarawangsa ke dalam daftar seni tradisional yang terancam punah karena lemahnya regenerasi. Padahal, alat musik itu merupakan kesenian asli tanah Pasundan. Nama tarawangsa bahkan telah tercantum sebagai alat musik tradisional Sunda pada naskah ”kuna sewaka darma” yang ditulis sekitar abad ke-16.

Tarawangsa, lanjut Mang Oman, memang cenderung sulit dipelajari karena mengandalkan olah rasa. Tak ada kunci atau tangga nada yang harus dihapal ketika memainkan tarawangsa. Paling cepat, dibutuhkan satu pekan untuk bisa menggesek tarawangsa.

Mang Oman yang tidak fasih berbahasa Indonesia ini mengaku selalu mengajak ”murid-murid”-nya untuk mengandalkan ketajaman rasa ketika menggesek tarawangsa. Alat musik yang hidup dan berkembang di kalangan petani itu hingga kini masih bertahan melintasi zaman karena kesetiaan dari orang-orang seperti Mang Oman.

OMAN

• Usia: 55 tahun • Istri: Enong (50) • Anak: 1. Titin 2. Iin Rustiana 3. Neni Heryani 4. Dian Hernawan • Pendidikan: Sekolah Rakyat • Penghargaan: Bersama Grup Calung Tarawangsa Dangiang Budaya mendapat penghargaan sebagai pelestari budaya Sunda dari Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya (2009).***

Source : Kompas, Selasa, 3 November 2009 | 02:41 WIB

No comments:

Post a Comment