Petitih Hidup Keluarga Lengger
Foto dan naskah: Dhoni Setiawan
Bedak seharga lima ribuan menghiasi dua penari beda generasi. Dengan bantuan cermin kecil, ibu dan anak saling memalit celak serta lipstik ke beberapa bagian wajah yang sebelumnya telah dioleskan bedak putih kecoklatan. Tidak tanggung-tanggung, pewangi untuk laki-laki juga mereka semprotkan ke wajah. "Biar wangi bang," kata Nur, 18 tahun.
Kartim, 43 tahun, suami dan bapak dari kedua penari asal Cilacap tersebut tidak kalah sibuknya. Dengan berhati-hati ia mulai mencabuti kabel aki motor yang ia setrum ke aliran listrik rumah sejak semalam. Aki yang tenaganya telah penuh ia pasangkan kembali pada kotak musik. Jari-jarinya menari pada tombol-tombol volume, mengatur irama, sesekali kupingnya mencoba merekam suara dan menyelaraskan berbagai lagu campur sari. Tak butuh lama menjajal, ia sudah mendapatkan komposisi yang pas.
Tiga puluh lima menit berbenah. Dari ruang 3x4 meter yang mereka kontrak seharga Rp 5.000 per hari itu mereka telah menentukan tujuan. Kawasan Thamrin dan Tanah Abang jadi lahan penghidupannya.
Sampai di pusat perbelanjaan kawasan Tosari, kotak musik yang dibawa Kartim langsung ingar-bingar di tengah para pekerja mal yang beristirahat di warung makan tenda. Tanpa canggung apalagi malu, ibu dan anak itu langsung melibaskan selendang. Tanpa aba-aba mereka saling berpencar mencari kawanan manusia yang sudi memberi receh.
Nur Rahma dengan tubuh mudanya terlihat mendapatkan perhatian di tengah manusia pekerja mal. Dengan sedikit menggoda ia memanfaatkan kesempatan tersebut. "Sawer ra mas, sawer to bang," katanya dengan manja. Sedangkan sang ibu hanya memandang dingin tanpa ekspresi. Baginya ini adalah resiko kerja.
Samiyem, 37 tahun, menceritakan dulu pernah ada orang yang memberikan uang dengan menyelipkan langsung di antara buah dada anaknya, bahkan ada yang langsung menawarnya. Seketika ia langsung marah dan harus menahan kemirisan hati. Namun sang anak ternyata lebih gesit. Nur langsung melayangkan tamparan ke pipi orang tersebut.
"Emang dia cewek apaan, semua ada resikonya mas, kalau mereka sopan kita juga sopan, bagi kita tidak masalah kalau mereka tidak mau memberi," kenang Samiyem yang mengaku telah lima tahun menjalani profesi menari di jalanan atau lengger karena desakan ekonomi.
Perjalanan kemudian berlanjut ke kawasan permukiman penduduk yang dikelilingi gedung pencakar. Keringat mulai menetes, memudarkan riasan saat mereka mulai menyambangi pangkalan ojek. Sepeser demi sepeser mereka masukkan dalam tas pinggang hitam.
Waktu menunjuk pukul 17.30 dan mereka pun beristirahat. Saatnya makan ala kadarnya di salah satu warteg sembari merias kembali paras yang pudar karena keringat. Usai azan magrib, mereka menghitung uang hasil lengger. Kartim yang bertugas layaknya manajer sekaligus kepala keluarga berucap syukur atas hasil hari itu.
Menurut Samiyem, pendapatan kali itu Rp 142.700 lebih dari cukup. "Biasanya kita cuman dapat sekitar 100 ribuan serhari, lumayan buat si Rohim anak saya yang baru mau masuk SD di kampung," terangnya.
Setelah dirasa cukup beristirahat, mereka berniat pulang ke kontrakan. Sembari berjalan menuju ke arah jalur metromini, tidak ada salahnya bagi mereka untuk menari sekali lagi, melengger kehidupan demi menyambung...
Source : Kompas, Sabtu, 07 June 2010 | 15:50
Comment :
bandie joe @ 22 July 2010 | 13:34
sabar ya... suatu saat Insya Allah, Tuhan pasti memberikan kebahagiaan yang lebih dari yang kalian harapkan.. AMIEN...
lara @ 22 July 2010 | 08:02
sedih liat photo2 itu, alhamdulillah saya msh di beri kerja yg sgt layak dari mrk. gak perlu panas2 di jalanan. Tapi kadang msh suka mengeluh... Ya ALLAH, kuasa sungguh nyata. semoga selalu di beri kemudahan rejeki buat seluruh umat MU. AMIN99x
zudine al mazduqi @ 17 July 2010 | 22:23
waduh jadi malu saya....ama street figter macam mereka...
ijop @ 14 July 2010 | 23:01
Semoga Allah memberkati anda sekeluarga... juga potographer nya...
sabar @ 08 July 2010 | 10:48
bersabarlah.....kalau disykuri bawa berkah dari pada makan duit rakyat n negara
No comments:
Post a Comment