Saturday, August 7, 2010

INDRAMAYU DI BBJ : Dongeng Kegigihan Para Penari Pantura

INDRAMAYU DI BBJ

Dongeng Kegigihan Para Penari Pantura

Mimi Rasinah (80) memerhatikan dan sesekali memberikan contoh gerakan tari topeng yang benar kepada murid-murid di sanggarnya, yang dikelola cucu sekaligus penerusnya, Aerli Rasinah (24), di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (3/8). Anak didiknya berlatih tarian topeng Panji Rogosukmo, yang akan ditampilkan dalam acara "Indramayu dari Dekat" di Bentara Budaya Jakarta, Rabu ini. (KOMPAS/TIMBUKTU HARTHANA)***

Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana

Rumah Wangi Indriya, penari topeng ternama itu, masih saja sederhana. Sanggarnya sejak setahun lalu sudah berdiri megah, tetapi rumahnya yang dibangun tahun 1980-an itu masih setengah jadi. Dinding rumah yang sehari-hari menjadi tempat hidupnya tak dipoles semen.

Meski sederhana, di sinilah segala kegiatan tari dan tetabuhan hidup. Di sini pula semangat tari topeng yang berusia ratusan tahun berkembang di pantai utara (pantura) Jawa Barat.

Keluarga Wangi sudah bergelut dengan seni pantura turun-temurun. Kakeknya adalah pedalang tersohor. Ayahnya, Mamak Taham, pun kini menjadi tokoh dalang kenamaan Indramayu. Bagi keluarga seniman ini, kesenian pantura dan sanggar yang mereka punyai, yakni Mulya Bhakti, adalah satu-satunya kekayaan mereka.

Bukan hal yang mudah menjaga eksistensi kesenian dan sanggar. Butuh waktu, tenaga, dan biaya yang tak kecil. Wangi Indriya menghidupi sanggarnya dari keringatnya menari, juga bercocok padi. Setiap kali bisa pentas ataupun panen, Wangi selalu menyisihkan sebagian dananya untuk kebutuhan sanggar. Uang itu sebagian untuk pementasan dan sebagian lagi untuk kebutuhan rutin seperti membayar listrik sanggar.

Di les menari, Wangi hanya menarik tarif Rp 5.000 per anak tiap kali datang. Uang itu pun kembali ke para penari tersebut untuk keperluan pentas mereka di Indramayu atau di luar kota.

”Tidak semua pentas tari menghasilkan uang. Jika dana terbatas, uang dari sanggar pun harus dikeluarkan untuk penari ini, setidaknya buat ongkos pulang mereka,” kata Wangi suatu sore di sanggarnya di Tambi, sebuah desa kecil di Indramayu.

Penari sanggar seperti Suti (18) pun rela menjahit manik- manik sendiri agar mendapatkan kostum tari yang murah untuk membantu sanggar. Kostum tari topeng yang biasanya Rp 350.000 per set bisa hanya Rp 300.000 berkat keringat para pengurus sanggar yang meluangkan waktunya untuk memasang manik-manik dengan tangan mereka sendiri.

Wangi bahkan melupakan kepentingan pribadinya. Ketika harus menyekolahkan putranya, Aris, ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) di Solo, tahun 1998, Wangi bahkan tak punya biaya karena dana diperuntukkan bagi kegiatan sanggar.

Namun, hasil kerja keras dan berbagai bentuk pengorbanan yang ia lakukan memperoleh hasil yang sepadan. Sanggar Mulya Bhakti kini punya 350 siswa tari. Setiap malam bulan purnama sanggar itu selalu meriah dengan pentas Midang Sari. Pada saat itu berbagai seniman pantura berkumpul untuk mementaskan tari, macapatan, prolog, dan kesenian khas lainnya. Warga bukan hanya dari Indramayu, melainkan juga dari kota- kota lain dapat turut menikmati berbagai kesenian pantura yang kadang sudah jarang dipentaskan tersebut.

Mimi Rasinah

Bukan hanya Wangi yang mengalami ”jalan tak mudah” dalam berkesenian. Perjuangan gigih menghidupkan sanggar dan panggilan jiwa juga dilakukan oleh Mimi Rasinah. Di forum pameran kerajinan, foto, dan pergelaran ”Indramayu dari Dekat”, yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 4-8 Agustus 2010, keuletan, kegigihan, kesederhanaan, sekaligus ketangguhan penari topeng Indramayu yang mendunia itu bisa dinikmati masyarakat Ibu Kota.

Di balik namanya yang mendunia, Mimi Rasinah (80)—sejak lima tahun lalu terserang stroke—tetap hidup dengan segala keterbatasan ekonominya. Ia bahkan hidup sangat melarat sejak terserang stroke. Kehidupan Rasinah saat itu sangat tergantung dari nafkah anak-anaknya yang bekerja sebagai penabuh gamelan dan kuli pemecah batu.

Kendati demikian, Rasinah tetap menari. Ia tetap mengajari cucunya, Aerli, menari topeng ketika setengah dari tubuhnya tak lagi bisa digerakkan. ”Mimi masih bisa mengetuk kenong ketika saya menari, bahkan melempar saya dengan pemukul kenong ketika salah menarikan gerakan tari topeng,” kata Aerli.

Meski hidup serba sulit, semangat menari Mimi Rasinah tak pernah pudar. Baginya, tari topeng adalah takdir sekaligus pilihan hidup. Pilihan hidup itulah yang membuat sanggarnya kembali ramai dengan anak- anak muda, penari topeng baru.

Generasi baru ini memberikan angin segar bagi regenerasi tari topeng Rasinah. Aerli Rasinah (24), cucu Mimi Rasinah, menghidupkan kembali sanggar Mimi Rasinah dengan cara yang lebih inovatif, khususnya dalam hal manajemen panggung. Jika dulu Mimi Rasinah-lah yang mengurusi seluruh keperluan depan dan belakang panggung, kini pekerjaan itu diambil alih oleh penari, pemain musik, dan manajer panggung.

Facebook yang menjadi alat jejaring sosial modern pun digunakan sebagai alat promosi sanggar ini. Dari jejaring sosial inilah warga bisa melihat tarian Mimi Rasinah yang diunggah oleh Aerli, dan belajar darinya.

Sanggar dan kesenian benar- benar menjadi bagian dari hidup para penari pantura ini. Baik bagi Mimi Rasinah maupun Wangi Indriya, hilangnya pamor sanggar akan menghilangkan kesenian yang menjadi roh hidup masyarakat pantura.

Kehidupan para penari seperti Wangi Indriya dan Mimi Rasinah mengamini filsafat tarian topeng yang sudah merasuki hidup mereka, yakni berbagi dan bertindak benar. Dari kegigihan mereka, kesenian pantura tetap ada dan tumbuh di jiwa anak- anak muda di kawasan pantura. ***

Source : Kompas, Rabu, 4 Agustus 2010 | 03:13 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • jarot santoso

Rabu, 4 Agustus 2010 | 11:33 WIB

selamat atas kegigihan sanggar tari topeng......... lestarikan budaya lokal (bangsa kita) jangan punah meski kita memasuki abad modernisasi.

Balas tanggapan

No comments:

Post a Comment