C(h)ina
Oleh : Christine Susanna Tjhin
Sebulan ini, Beijing sibuk menyiapkan perayaan 60 tahun Republik Rakyat China.
Tak hanya itu. Media penuh program patriotik. Parade disiapkan, memamerkan kekuatan militer dan budaya China. Film epik Berdirinya Sebuah Republik yang melibatkan artis-artis besar seperti Jackie Chan, Jet Li, dan Andy Lau memecahkan rekor penjualan tiket terbesar. Hajatan sepekan itu ditutup pergelaran opera Turandot karya Puccini di megastadium Sarang Burung oleh sutradara Zhang Yimou, sebagai simbol ”China yang baru”, perpaduan budaya tradisional Kerajaan Tengah dan republik yang mendunia.
Namun, di sela-sela kemeriahan pesta, keamanan ibu kota dan wilayah rentan, seperti Tibet dan Xinjiang, diperketat. Warga lokal, sejumlah diplomat, dan wartawan asing yang tinggal di sekitar Tiananmen mengeluhkan peringatan untuk tidak membuka jendela saat parade berlangsung. Akses internet kian dibatasi, bahkan Facebook dan Twitter diblok. Apa yang sebenarnya terjadi dalam merefleksikan enam dekade kehadiran China di dunia?
Setelah enam dekade
Dari era Mao Zedong, modernisasi Deng Xiaoping, dan globalisasi saat ini, kompleksitas dari realitas China kian nyata. Pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan devisa dua triliun dollar AS mengangkat 200 juta lebih penduduk China dari kemiskinan dan melahirkan kota-kota megapolitan. Namun, masih ada ratusan juta warga yang miskin dan menganggur. Melebarnya kesenjangan ekonomi sosial dan degradasi lingkungan meningkatkan potensi instabilitas.
Kecepatan pembangunan fisik tak sepenuhnya diimbangi pembangunan nonfisik. Problem terkikisnya komunisme sebagai ideologi negara belum nyaman terjawab oleh kehadiran nasionalisme. Gelora nasionalisme mendapat tantangan konflik sosial di mana faktor kesenjangan, politik identitas, dan hak asasi manusia bersilangan.
Dari kasus obor olimpiade di Paris, konflik Tibet dan Xinjiang, gempa Wenchuan, hingga astronot China pertama menampilkan ekspresi nasionalisme yang berwarna. Pemerintah sering kelimpungan saat harus menangani gelombang pasang nasionalisme.
Sebuah arena interaksi narasi nasionalisme adalah dunia maya. Birokrasi ruang maya menjadi fenomena sosial yang hangat. Lebih dari 380 juta pengguna dari kelas menengah/atas berkelit dari polisi internet serta mencari gelanggang berekspresi secara kritis dan kreatif di dunia maya sebagai alternatif kekakuan dunia nyata. Banyak kebijakan direvisi/dihapus karena tekanan opini publik bertebaran di blog.
Seputar sistem politik, sekilas tidak tampak perubahan dari esensi struktur multipartai yang didominasi Partai Komunis (tertutup dan tanpa oposisi riil), tetapi internal partai ternyata lebih dinamis. Era pemimpin karismatik diganti kepemimpinan kolektif, diwarnai persaingan kubu ”populis” (Liga Pemuda Komunis) dan kubu ”pangeran” (penerus pemimpin era lalu).
PKC menunjukkan peningkatan kemampuan beradaptasi, terutama dalam pemanfaatan media dan pemberdayaan kaum intelektual. Desentralisasi dan ”konsultasi publik” dalam proses kebijakan kian mendapat angin.
China bersiap menjalani transisi, dari generasi ke-4 (Hu Jintao) ke generasi ke-5 (Xi Jinping?). Pengamat menerka-nerka, bagaimana transisi pada 2012 akan berlangsung setelah dalam rapat ke-17 PKC lalu, Xi tidak ditunjuk sebagai Wakil Ketua Komisi Militer Pusat, posisi yang dulu memuluskan jalan Hu.
China dan dunia
China tidak berpretensi ingin mengubah dunia, kata beberapa pemikir strategis China. Hanya dengan mengubah diri China sendiri, seluruh dunia akan ikut berubah. Apa pun motivasinya, meningkatnya kepercayaan diri atau keinginan untuk menenangkan dunia sulit dimungkiri.
Meski masih jauh bagi China untuk menggantikan hegemoni Amerika Serikat, kehadirannya mendorong kita untuk mau tidak mau menggunakan lensa berbeda dalam meretas perjalanan dan pemikiran baru komunitas global. Kehadiran konsep ”Konsensus Beijing” telah mengundang perdebatan kritis seputar sebaran kapitalisme dan demokrasi liberal yang terpatri dalam ”Konsensus Washington”.
Selama krisis keuangan dunia, ekonomi terbesar ketiga dunia ini muncul sebagai salah satu penyangga dunia. Bahkan, dalam pertemuan G-20 lalu, China tampak kian lugas menuntut rekayasa ulang sistem keuangan global dan tatanan ekonomi baru. Perdebatan perlunya G-2, meski dikatakan prematur, mengindikasikan nilai strategis China untuk bersanding dengan AS. Yang jelas, China kian piawai memanfaatkan mekanisme multilateral.
Menuju ”mitra strategis”
Bagaimana posisi hubungan Indonesia-China? Meski lambat, posisi China bergeser, merefleksikan aspirasi mengangkat peran Indonesia ke tataran global. Kecanggungan kita sebagai aktor global masih terasa, dan ini diperburuk oleh institusionalisasi persepsi ”ancaman China” semasa Orde Baru. Ini akan memengaruhi kita dalam berinteraksi dengan China. Sejak penandatanganan kemitraan strategis 2006, pertanyaan ”mana dagingnya?” masih belum terjawab.
Dalam pertemuan G-20, Hu menggarisbawahi skema pertukaran mata uang antarnegara sebesar 95 miliar dollar, termasuk Indonesia, yang menjanjikan perdagangan lebih dinamis. Pertukaran mata uang bilateral masih diwarnai kebingungan dan keraguan. Kajian mendalam diperlukan guna menimbang manfaat skema ini dan mengurangi ketergantungan terhadap dollar, terutama pada saat krisis.
Diplomasi kita harus didukung kajian kritis tentang dampak perubahan China. Jangan sampai kecanggungan kita, terefleksi dalam kebingungan menyebut nama Negara Tirai Bambu (China, Cina, atau Tiongkok), trauma sejarah, dan kesenjangan pengetahuan, menghilangkan kesempatan mengambil manfaat dari perkembangan China.
Christine Susanna Tjhin, Peneliti di CSIS;
Sedang Mengambil Doktor di Jurusan Diplomasi Universitas Peking, China.
Source : Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:29 WIB
Foto-Foto : Xinhua/Li Gang
No comments:
Post a Comment