Kedatangan 14 pegawai Departemen Luar Negeri (Deplu) ke Universitas Sains dan Teknologi Jayapura di Papua, Rabu (28/10) sore, disambut demonstrasi oleh sekitar 50 mahasiswa. Pendemo mendesak Deplu mendorong penyelesaian masalah implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, pelanggaran hak asasi manusia, dan rendahnya taraf kesehatan serta pendidikan masyarakat. (Foto : Kompas/Ichwan Susanto)***
UNJUK RASA
Otonomi di Papua
Dinilai Tak Bermanfaat
JAYAPURA - Pelaksanaan otonomi khusus di Papua selama delapan tahun terakhir ini dinilai belum mampu meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Perlu dilakukan dialog antara Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua, yang dimediasi pihak ketiga.
Demikian tuntutan yang didengungkan pengunjuk rasa saat rombongan dari Departemen Luar Negeri (Deplu) datang ke Kampus Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Rabu (28/10). Unjuk rasa dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa.
Rombongan yang dipimpin Direktur Keamanan Diplomatik Deplu Sudjatmiko itu berjumlah 14 orang. Mereka, antara lain, diplomat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Inggris, Papua Niugini, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Rombongan datang ke Papua dalam rangkaian kunjungan kerja ke kampus-kampus dan instansi pemerintah di Jayapura.
Di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, rombongan mendengarkan paparan Pembantu Rektor I Maid Fabanyo mengenai potensi dan kondisi kampus. Selama paparan berlangsung, mahasiswa yang mengatasnamakan Koalisi Pemuda dan Mahasiswa Papua Barat menggelar unjuk rasa di luar ruang pertemuan.
Spanduk
Setelah mendengar paparan, rombongan yang keluar ruangan disambut pendemo dengan bentangan spanduk dan poster-poster. Selanjutnya, perwakilan pengunjuk rasa, Robby Edowai, membacakan surat pernyataan.
Disebutkan, kondisi Papua belum banyak berubah sejak otonomi khusus diberlakukan delapan tahun belakangan ini. Hal itu antara lain tecermin dari masih banyaknya kasus kesehatan, termasuk kematian ibu melahirkan.
”Di bidang pendidikan pun, warga Papua masih terpinggirkan. Hal ini terbukti dari biaya pendidikan yang masih tinggi. Dengan dana otonomi khusus yang besar itu seharusnya pendidikan menjadi prioritas untuk peningkatan sumber daya manusia Papua,” kata Elias Pekege, koordinator pengunjuk rasa, menambahkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Papua, jumlah penduduk miskin di Papua tahun 2001 sebanyak 41,8 persen. Enam tahun kemudian (2007), penurunan jumlah penduduk miskin hanya sekitar 1 persen, yakni menjadi 40,78 persen. Ini menunjukkan bahwa otonomi khusus tak banyak bermanfaat bagi orang asli Papua.
Semua permasalahan itu harus diselesaikan melalui dialog skala internasional. ”Artinya, perlu keterlibatan negara asing sebagai mediator dan pengawas jalannya dialog antara Pemerintah RI dan masyarakat Papua,” demikian penekanan pengunjuk rasa.
Seusai membacakan surat pernyataannya, pengunjuk rasa selanjutnya menyerahkan surat tersebut kepada rombongan Deplu. Tanpa komentar, rombongan dari Deplu menerimanya, bergegas menuju mobil, dan melanjutkan perjalanan. Massa pun membubarkan diri.
Ditemui terpisah, Neles Tebay, penulis buku Dialog Jakarta-Papua, menuturkan, berbagai elemen dan faksi di Papua telah menyatakan setuju adanya dialog skala nasional (hanya Pemerintah RI dan masyarakat Papua) maupun internasional. Karena itu, ia berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mematangkan rencana dialog itu dalam agenda kerja 100 hari kepemimpinannya.
”Kami harap presiden dapat mengirimkan utusan khususnya yang diberi mandat penuh untuk berbicara dengan faksi-faksi dan tokoh di Papua,” ujarnya. (ich)***
Source : Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009 | 04:24 WIB
No comments:
Post a Comment