Sunday, May 6, 2018

Rencana Reuni SMEA Negeri Indramayu Angkatan 1986/1987


Sabtu, 5 Mei 2018
Indahnya Kebersamaan Diantara Teman Sekolah
SMEA Negeri Indramayu 1986/1987
KUMPUL BARENG – Pada kumpul bareng alumni SMEA Negeri Indramayu Tahun 2986/1987, Sabtu (05/05/2018) malam di los nasi goreng Yuni Cancer.(Satim)***
SATIMTERUS
MAJUTERUS EKSPEDISI HUMANIORA
INDRAMAYU – Kumpul bareng dalam sebuah acara bagi alumni Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri Indramayu Angkatan 1986/1987, merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terhingga.
“Ini amat berkesan, dan sebuah anugrah dari Allah Swt sehingga alumni SMEA Negeri Indramayu lulusan 1986/1987 kumpul bareng di los nasi goreng Yuni Cancer ini,” ungkap Muji Nurhayati, alumni SMEA Negeri Indramayu angkatan 1986/1987, Sabtu (05/05/2018) malam sekitar pukul 21.05 WIB.Muji mengaku merasa bahagia, karena malam itu berulang tahun dan didoakan oleh teman-teman sekolahnya sewaktu dulu yang ikut kumpul bareng di los nasi goreng milik Yuni Cancer di Pasar Lama Indramayu.
Moderator acara dadakan itu dipimpin H. Junaedi yang kemudian disambung dengan pemimpin doa bagi ulang tahun Muji Nurhayati oleh Salim.
Sementara Yuni Cancer menjadi penyedia konsumsi minuman ringan, nasi goreng dan mie goreng.
Semua bergembira dan bercengkrama bebas layaknya sewaktu sekolah dulu. Bicara lepas dan lepas…hingga menjelang tengah malam.
Kemudian bubar dan saling bersalaman sambil mengucapkan salam selamat bertemu kembali pekan depan, Selasa (15/05/2018). Konon, guna membahas keseriusan terselenggaranya acara Reuni Alumni SMEA Neegeri Indramayu Tahun 1986/1987.
Hadir dalam acara kumpul bareng di los nasi goreng Yuni Cancer itu diantaranya, Warlan, Satim, Dahliyah, Samsul Bahri, Melina, Salim Fadil, Yuni Cancer, Muji Nurhayati, Yayah Kurniyah, dan beberapa rekan lainnya yang Sabtu (05/05/2018) malam itu ikut kumpul.
Pihak panitia reuni dan teman yang seangkatan menghimbau, agar para alumni yang belum memperoleh informasi segera kontak ke Whatshapp Group SMEA NEGERI 86/87 dengan nomor W.A. 081320697943. Oke teman-teman, sampai jumpa dan kumpul bareng di acara reuni yang akan digelar pada hari Senin (18/06/2018) siang.(Satim)***

Tuesday, December 5, 2017

Logo STIDKI NU Indramayu 2017

Selasa, 05 Desember 2017
SATIM TERUS
MAJU TERUS EKSPEDISI HUMANIORA
 



























































MAKALAH DAKWAH KHULAFAUR RASYIDIN

SATIMTERUS
MAJU TERUS EKSPEDISI HUMANIORA
Selasa, 05 Desember 2017



MAKALAH
DAKWAH KHULAFAUR RASYIDIN

Dibuat untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Dakwah
Dosen Pengampu : FRANKY MUBAROK, M.Ud.



Disusun oleh :
                         S A T I M





FAKULTAS KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
SEKOLAH TINGGI ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STIDKI NU) INDRAMAYU
TAHUN 2017


KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Sejarah Dakwah yang berjudul “Dakwah Khulafaur Rasyidin”
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman Dakwah Khlalafaur Rasyidin, biografi singkatnya, serta gaya politiknya.
Merupakan suatu harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk penulis, kritik dan saran bersifat membangun  dari pembaca, tentu saja sangat kami perlukan demi perbaikan penulisan atau penyusunan makalah selanjutnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah kami ini.

   Indramayu, November 2017


                 Pemakalah











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................      i
DAFTAR ISI ................................................................................................      ii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................      1
A.    Latar Belakang ..................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah .............................................................................      2
C.     Tujuan ................................................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................      3
A.    Biografi singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin ..........      3
B.     Gerakan dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin ..      5
C.     Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin .................................      11

BAB III PENUTUP .....................................................................................      27
1.      Kesimpulan ....................................................................................      27
2.      Saran ..............................................................................................      28

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................      29












BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Khulafaur Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan Radhiallahu Ta’ala anhum, dan Ali ibn Abi Thalib Karamallahu Wajhahu dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang Islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan Beliau Shallallahu’Alaihi Wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat.
Nabi Muhammad SAW nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
 Karena itulah, tidak lama setelah Beliau wafat, jenazahnya belum segera dimakamkan. Sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar malah disibukkan berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka menggelar musyawarah siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin umat Islam pengganti Nabi Muhammad SAW.
Musyawarah itu berjalan cukup alot, karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu’anhu terpilih.
Tampaknya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, untuk menggantikan Beliau dalam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama, dan kepala pemerintahan.

B.      RUMUSAN MASALAH
1.    Siapa saja yang dimaksud dengan Khalifaur Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin berikut biografi singkatnya ?
2.    Gerakan dakwah apa saja yang beliau lalukan demi terjaganya ajaran Islam hingga sekarang ?
3.    Bagaimana sistem politik pada masa Khulafaur Rasyidin ?

C.      TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah “Dakwah Khulafaur Rasyidin” ini adalah :
1.        Mengetahui sejarah pembentukan Khulafaur Rasyidin.
2.        Mengetahui siapa saja Khulafaur Rasyidin dan bagaimana sistem politik pemerintahannya.
3.        Sebagai bahan pelajaran dan kajian ilmu pengetahuan dalam syi’ar Islam hingga di zaman sekarang.












BAB II
PEMBAHASAN

Yang termasuk Khulafaur Rasyidin  pasca wafatnya Nabi Muhammad SWA berikut biografi singkatnya dalah sebagai berikut :

A.   Biografi singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin
v    Abu Bakar As-Shidiq
Nama asli Abu Bakar Ash-Shidiq ialah Abdullah ibn Abi Quhaafah ‘Utsman ibn Umar, yang sanad keturunannya masih bersambung dengan Nabi SAW yaitu pada Ka’ab. Beliau dilahirkan 5 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Adapun pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dilakukan atas kesepakatan orang Muhajirin dan Anshor lantaran terjadinya kevakuman dalam kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar menjadi khalifah ialah Umar ibn Khatthab kemudian diikuti oleh seluruh orang Muhajirin dan Anshor.[1]

v    Umar ibn Khatthab
Umar ibn Khattab dilahirkan 13  tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Nama asli Khalifah Umar ibn Khatab ibn Nufail ibn Abdil Uzza ibn Rabbah. Beliau juga dijuluki Abu Hafshin yang didapatkan dari Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad SWA melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafshin adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. Kekhalifahan Umar ibn Al Khaththab berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 Hijriyah hingga 26 Dzulhijjah Tahun 23 Hijriyah.[2]

v ‘Utsman ibn ‘Affan
‘Utsman ibn ‘Affan adalah seorang saudagar atau pedagang, ia termasuk saudagar yang sukses dan berhasil, beliau terkenal lembut, sabar, tekun dan pemurah. Dengan ketekunan yang dimilikinya serta kemurahan hatinya dalam berdagang, pada usia yang masih muda, ia sudah berdagang di negeri Syam dan Hirah. Pada waktu itu, negeri Syam masih dijajah kerajaan Romawi, sedangkan Hijrah merupakan jajahan Persia. Dengan berbekal pengalaman berdagang, ia memiliki kakayaan yang banyak dan sahabat yang banyak. Beliau berasal dari suku Umayyah ibn Abdu Syams ibn Abdu Manaf, dengan nama asli ‘Utsman ibn ‘Affan ibn Abi al-Ash. Sebelum Beliau masuk Islam beliau tidak banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad SAW, Beliau hanya mengetahui tentang beberapa kepribadian Nabi Muhammad SAW dari perang lain. Yang Beliau ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki kejujuran. Selain itu, ia juga mengetahui sedikit tentang kepemimipinan Nabi Muhammad SAW.
Adapun keinginan Beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW kemudian disampaikan kepada sahabatnya, yaitu Abu Bakar. Kebetulan, rumah Abu Bakar tidak terlalu jauh dari rumahnya. Beliau masuk Islam sebelum Nabi Muhammad SAW masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya raya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar ibn Al Khaththab r.a berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau dilahirkan 5 tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 Hijriyah dalam usia 90 tahun. Menurut salah satu pendapat ulama, Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang tahun 35 Hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah.[3]

v    Ali ibn Abi Thalib
Ali Ibn Abi Thalib lahir 32 tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.  Beliau merupakan putra dari paman Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama asli Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Mutholib ibn Hasyim.
Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Rasulullah shallallahu‘Alaihi Wasallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar, yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran.
Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah 12 hari.[4]

B.   Gerakan dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin
1)    Dakwah pada masa Abu Bakar As-Shidiq
Abu Bakar yang memerintah selama dua setengah tahun tepatnya dua tahun tiga bulan dua puluh hari. Walau masa pemerintahannya sangat singkat, namun sarat dengan amal dan jihad. Di saat Abu Bakar memerintah, tiba-tiba Madinah dikejutkan oleh gerakan yang menggerogoti sistem Islam yang meluas hampir ke semenanjung Arabia.
Bentuk gerakan tersebut ialah : murtad dari agama Islam karena mengikuti nabi palsu yaitu Musailamah al-Kadzab, Thulaihah al-Asad dan al-Aswad al-Anasi dari Yaman. Kemudian muncul gerakan keengganan (membangkang) untuk membayar zakat karena mengikuti Malik ibn Nawiroh dari Bani Tamim.
Selain menghadapi rongrongan dari dalam Islam sendiri Abu Bakar juga melakukan ekspansi wilayah keluar daerah diantara hingga mencapai Bashrah, Qatar, Kuwait, Iraq, bahkan hingga daerah kekuasaan kekaisaran Romawi yang meliputi Mesir, Syiria, dan Palestina.
Gerakan dakwah yang paling menonjol pada Khalifah Abu Bakar, ialah pengumpulan Al-Qur’an. Alasan utama dikumpulkannya Al-Qur’an, ialah rasa kekhawatiran seorang Umar ibn Khatthab terhadap masa depan Islam jika kadar intinya yang menjaga Islam dengan Al- Qur’an (Qurra dan Huffadz) gugur satu per satu di medan perang.[5]

2)    Dakwah pada masa Umar ibn Khatthab
a.    Penyempurnaan Fath Irak
Irak dijadikan pangkalan kekuatan kaum Muslimin untuk melakukan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya. Irak saat itu meliputi kawasan Kuffah (ibu kota Islam pada masa Ali), kemudian Baghdad (ibu kota Islam pada masa Abbasiyah), dan Samra yang didirika pada masa Mu’tasyim.
b.    Iran
Setelah Irak ditaklukkan, kemudian negeri-negeri lain pun di Persia juga ditaklukkan, diantaranya negeri-negeri di seberang sungai. Dengan demikian habislah riwayat Imperium Persia.
c.    Syam dan Palestina
Ketika khalifah pertama Abu bakar meninggal dunia sedang berlangsung di Syam dibawah komando Khalid ibnn Walid, dibantu oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah, Amr ibn Ash, Yazid ibn Abi Sufyan Syurahbil ibn Hasanah. Ketika Umar diangkat menjadi Khalifah, beliau mengangkat Abu Ubaidah sebagai panglima teringgi untuk kawasan Syam. Khalid dikirimi surat pengunduran dirinya sa’at perang sedang berlangsung. Pakar sejarah berpendapat, peristiwa ini terjadi pada perang Yarmuk. Khalid menerima keputusan itu, beliau tetap aktif ikut dalam peperangan dibawah komando Abu Ubaidah. Sebagian ahli sejarah mengatakan, ditunjuknya Abu Ubaidah oleh Umar karena kondisi di lapangan saat itu membutuhkan pemimpin yang kriterianya ada pada Abu Ubaidah, beliau memiliki keahlian dalam hal lobby dan administrasi, sedangkan keahlian Khalid adalah strategi perang.

d.    Yordania 
Dalam upaya perluasan daerah kewilayah ini, kaum muslimin harus mengambil jalan terakhir, yaitu menghadapi pasukan Romawi yang  tidak mau mempersilahkan kaum muslimin melakukan dakwah secara damai. Kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran.
e.    Syiria 
Pasukan Islam melanjutan perjalanannya menuju Dimasyq (damaskus) dibawah komando Ubaidillah ibn Jarrah. Setelah Syiria tunduk, pasukan bergerak menuju ke utara. Yaitu Hims, Hamat, Halb, Shoid, dan Bairut.
f.     Palestina
Sejak terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, negeri Palestina tidak bisa dipisahkan dengan kaum muslimin. Aqhsa adalah negeri suci ketiga yang diperintahkan kepada kaum muslimin untuk dikunjungi. Berdasarkan kenyataan tersebut, kaum muslimin betul-betul serius untuk membebaskan negeri ini dari kekuasaan Romawi. Namun akhirnya mereka memilih damai, dan meminta kepada pasukan agar langsung menghadirkan Umar ibn Khatthab perihal tersebut. Di pintu negeri Palestina, Umar disambut oleh Beartrick Ciprunius dan sebagian pemimpin kaum muslimin.
Pada kesepakatan itu, Umar membuat kesepakatan untuk memberikan rasa aman, yaitu keamanan harta benda dan jiwa, serta syiar keagamaan kepada penduduk asli. Kesepakatan itu dikenal dengan perjanjian Umar.
Ketika waktu sholat ashar Umar menolak untuk sholat di gereja Qiamat, tetapi beliau sholat di luarnya, khawatir dikemudian hari kaum muslimin mengikuti sunnah Umar. Perbuatan Umar ini menegaskan bagaimana toleransi kaum muslimin dengan orang yang tidak seagama. 

g.    Ekspedisi kawasan Maghribi
Ekspedisi penyiaran Islam keluar kawasan Arab, kemudian memecah diri ke beberapa penjuru. Disamping gerakan kearah Timur mereka juga bergerak kearah Barat. Pasukan sebesar 4.000 orang prajurit muslim bergerak ke Mesir dibawah Panglima Amr ibn Ash.
Sepanjang perjalanan pasukannya makin bertambah, sampai mencapai 20.000 orang. Hal ini menimbulkan kesan bagi orang Islam telah membangkitkan daya tarik untuk bergabung dalam pasukan dibawah panji-panji Islam. Sukses kembali ada di prajurit berkuda kaum muslimin yang telah terlatih pula. Seruan kalimat Allahu akbar disetiap medan perang tampaknya menimbulkan efek ganda. Disatu sisi, berhasil membangkitkan semangat dan ketegaran bagi umat Islam dalam melaksanakan misi suci mereka dalam penyebaran Islam. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Khalid ibn Walid adalah menjadikan kota Heliopolis sebagai ibu kota Islam di Mesir. Dalam perkembangan selanjutnya kota ini dikenal dengan sebutan Cairo Lama yang kelak mejadi ibu kota Mesir.
Setelah mendapatkan izin dan restu khalifah pasukan Amr ibn Ash meneruskan ekspedisinya ke kawasan matahari tenggelam di jalur Afrika Utara. Dalam ungkapan bahasa Arab, kawasan itu disebut kawasan Magribi, yang berasal dari dari kata ghurubi syamsy yang berarti tenggelam matahari.
Tidak seorang prajurit dan orang Arab berhak atas kawasan baru itu. Semua kawasan dan kekayaan baru langsung menjadi milik Islam. Penguasa setempat tidak dipaksa untuk memeluk Islam, kecuali atas kemauan sendiri. Mereka diberi hak untuk meneruskan kepemimpinan otonom di kawasan mereka, namun tetap berkewajiban untuk membayar pajak perlindungan (jizyah) kepada kekhalifahan di Madinah.[6]
3)    Dakwah pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan
Melalui proses yang panjang, maka terpilihlah ‘Utsman ibn ‘Affan sebagai khalifah. Pada masa kekhalifahannya langkah yang diambil ialah sebagai berikut:
a.    Perluasan wilayah
Pada masa khalifah ‘Utsman inilah pertama kali dibentuk angkatan laut untuk menyerang daerah kepulauan yang terletak di laut tengah. Masa ini juga dibangun kapal perang sehingga dapat menaklukkan wilayah hingga mencapai Asia dan Afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, juga Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan sisa dari wilayah Persia.
b.    Sosial budaya
Membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Membangun jalan, jembatan, masjid, rumah, penginapan para tamu dalam berbagai bentuk serta memperluas Masjid Nabawi di Madinah.
Namun pada pertengahan kedua pemerintah ‘Utsman retak ditimpa perpecahan yang disebabkan karena kebijakan ‘Utsman dalam mengganti para gubernur yang diangkat Umar yang didominasi dari keluarga Bani Umayyah. Sebagai contohnya, khalifah ‘Utsman mengganti Sa’ad ibn Abi Waqash yang merupakan gubernur Kufah dengan Walid ibn Uqbah yang merupakan saudara se-ibu khalifah ‘Utsman.
c.    Penetapan Mushaf ‘Utsmani
       Umat Islam pada masa khalifah ‘Utsman tinggal dalam wilayah yang sangat luas dan terpencar-pencar, sehingga penduduk masing-masing daerah tersebut membaca ayat-ayat Al- Qur’an menurut bacaan yang mereka pelajari dari tokoh sahabat yang terkenal dari wilayah mereka (di Syiria masyarakat mengacu pada bacaan Ubay ibn Ka’ab, di Kufah masyarakat mengacu pada bacaan Abdullah ibn Mas’ud). Persoalan tersebut menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam.
Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah ‘Utsman membentuk sebuah tim yang bertugas untuk menyalin dan mengkodifikasikan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu mushaf resmi yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Mushaf tersebut dibuat lima buah, empat buah dikirim ke wilayah Makkah, Syiria, Kufah, Bashrah dan satu tinggal di Madinah. Mushaf hasil kerja dari tim kodifikasi Al Qur’an pada masa khalifah ‘Utsman yang tinggal di Madinah disebut dengan Mushaf ‘Utsmani atau Mushaf Al-Imam yang sampai sekarang masih kita gunakan, bahan digunakan di selruh penjuru dunia.[7]

4)    Dakwah pada masa Ali ibn Abi Thalib
Sejarah kepemimpinan khalifah Ali adalah sejarah terakhir masa kekhalifahan umat Islam dalam sejarah setelah masa kenabian. Pada saat diangkat menjadi khalifah, mewarisi kondisi yang sedang kacau. Ketegangan politik terjadi akibat pembunuhan atas khalifah ‘Utsman. Seluruh jabatan gubernur saat itu hampir seluruhnya diduduki oleh keluarga Umayyah. Para gubernur ini menuntut Ali untuk mengadili pembunuh ‘Utsman.
Gerakan dakwah yang telah dilakukan oleh khalifah Ali secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut:
a)      Merombak para pejabat teras, terutama pejabat yang di dominasi oleh keluarga Bani Umayyah.
b)      Menyamakan kedudukan seseorang dimata hukum. Seperti ketika khalifah Ali menuduh seorang Yahudi mengambil baju besi kepada hakim. Dipihak Ali memiliki keyakinan, bahwa si Yahudi tersebut mencuri baju besinya. Sedangkan di pihak Yahudi bersikukuh, bahwa baju besi itu ia dapat dengan membelinya dari orang lain. Hakim pun kemudian memutuskan bahwa yang berhak atas baju besi itu adalah si Yahudi karena dari pihak Ali tidak dapat menghadirkan saksi bahwa baju besi itu milik beliau. Hal inilah yang membuat si Yahudi terkesima dan terkagum-kagum, betapa adilnya hukum Islam. Bahkan karena kejadian ini sampai membuat si Yahudi bersyahadat dan menyatakan ke-Islamannya.[8]

C.   Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.       Awal Persoalan
Meninggalnya Nabi Muhammad SAW, menimbulkan kevakuman pemimpin yang hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan hanya seorang pemimpin negara (sebagai pemimpin negara mungkin ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga seorang nabi, pembuat undang-undang, guru spiritual, dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.
[1][1] Sangat sulit menggantikan Muhammad dalam kualitas-kualitas tersebut.[2][2] Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliu wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.  Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.  Hal ini sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal pembahasan masalah Khulafaur Rasyidin.
2.    Pengertian Khalifah
Di dalam bukunya Fiqih Siyasah, Mujar Ibnu Syarif memaparkan bahwa Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial,sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Pada intinya,khalifah merupakan kepemimpin umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari nabi SAW.
Dalam bahasa Ibn Khaldun,kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimun di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul dakwah Islam ke seluruh dunia.[3][3]
Dalam Al Qur’an terdapat dua bentuk kata khalifah,yaitu dalam surat Al Baqarah : 30 yang berarti : “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." dan dalam surat shaad : 26 yang berarti; “ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Menurut Watt, khalifah dalam pengertian yang dipakai sebagai gelar Abu Bakar serta  Khulafaur Rasyidin adalah bukanlah diambil dari ayat di atas, melainkan pengertian yang diambil dari pemakaian sehari-hari. Dalam bahasa arab, khalifah mempunyai makna dasar pengganti.[4][4]
Dalam bahasa Arab kuno, terjemahan lazim untuk khalifah adalah pembantu atau wakil pelaksana. Jadi makna ini menunjukkan kepada orang-orang yang diberi kekuasaan untuk  melaksanakan sesuatu. Dari kata dasar pengganti atau wakil atau pembantu inilah Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, serta Ali akhirnya menyandang gelar sebagai Kalifah al Rasyidin, yang berarti mendapat bimbingan yang benar. Karena mereka melaksanakan tugas sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW menjadi kepala negara Madinah al-Munawwaroh dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam pidato penganugerahan sebagai Khalifah, mereka mengadakan kontrak sosial dengan masyarakat Islam, bahwa mereka akan bekerja sama dengan masyarakat yang dipimpinnya. [5][5] Dengan demikian para Khalifah menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam menduduki jabatan duniawi sebagai pemimpin politik kepala negara, dan jabatan ukhrawi sebagai pemimpin agama. Bukan menggantikan nabi dalam jabatan kerasulan. Karena nabi tidak akan tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu wahyu pun yang diturunkan setelah berakhirnya kenabian Muhammad SAW.[6][6]
3.    Sistem Politik Yang Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.     Abu Bakar Al Shidiq : Politik Konsolidasi
Nama lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at Tamimi. Pada zaman sebelum Islam, ia bernama Abdul Ka’bah, kemudian oleh Nabi Muhammad SAW diganti dengan Abdullah. Ia dijuluki pula dengan Abu Bakar (pelopor pagi hari) sehingga nama ini yang banyak digunakan, karena ia menjadi pelopor masuk Islam saat masyarakat Makkah masih dalam kegelapan Jahiliyyah. Gelar Al Shidiq diperolehnya karena ia segera membenarkan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai peristiwa, terutama tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.[7][7]Abu Bakar adalah pilihan yang paling ideal, lantaran dialah yang semenjak awal telah mendampingi Nabi Muhammad SAW, dan paling paham tentang risalah Nabi Muhammad SAW.[8][8]
Masa kekhalifahan Abu Bakar yang berlangsung selama 2 tahun,11-13 H (632-634 M), diawali dengan pidato yang memberi komitmen bahwa dirinya diangkat menjadi pemimpin umat Islam sebagai khalifah rasulillah, yaitu menggantikan Rasul melanjutkan tugas-tugas kepemimpinan agama dan kepemimpinan pemerintahan. Penegasan ini membawa implikasi bahwa Abu Bakar akan selalu menjadikan nilai dasar Islam yang dibawa rasul sebagai dasar dari kepemimpinannya.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, pada satu sisi memberikan keuntungan tersendiri bagi berlanjutnya pemerintahan negara Madinah. Namun pada sisi lain munculnya penolakan orang-orang Arab, terutama orang-orang yang baru masuk Islam.
Penentangan terhadap negara Madinah yang dilakukan oleh suku-suku Arab merupakan sebuah realitas bangsa Arab yang sangat sulit menerima kebenaran, sangat sulit untuk tunduk pada ajaran yang baru, yang tidak umum berkembang pada lingkungan mereka.
Gerakan oposisi dan penetangan mereka yang disebut Riddah dibagi menjadi :
(1). Gerakan melepas kesetiaan kepada ajaran Islam, kembali kepada kepercayaan semula. Gerakan Riddah ini secara politik merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan.[9][9]
(2).  Gerakan menolak membayar zakat. Penolakan mereka membayar zakat disebabkan pandangan salah mereka tentang zakat yang dikira pajak.
(3). Gerakkan yang mengangkat diri mereka menjadi nabi : seperti yang dilakukan Musailamah al Khazzab (pendusta) yang menyatakan bahwa nabi telah mengangkat dirinya sebagai mitra di dalam kenabian. Di Yaman muncul orang-orang yang mengaku nabi, yaitu Aswad Ansi dan Sajjah ibn Haris.[10][10]
(4). Gerakan dari suku-suku pembangkang yang mengklaim, bahwa Islam adalah agama bangsa Arab semata. Mereka berusaha meraih kembali kemerdekaan.[11][11]
Melihat kondisi bangsa Arab dalam wilayah kekuasaan Islam yang menolak terhadap kekhalifahan Abu Bakar, bahkan penolakan terhadap Islam, maka orientasi politik yang dijalankannya pertama kali adalah melakukan konsolidasi, mempersatukan masyarakat Arab dalam kekuasaannya, dan dalam keagamaan Islam, serta tetap dalam menjalankan ajaran agama.
Terhadap gerakan Riddah, kembali ke ajaran nenek moyang mereka, Abu Bakar melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka dengan melakukan tekanan dan ajakan kembali ke jalan Islam. Namun ketika mereka menolak, baru dilakukan peperangan. Begitu juga ketika menghadapi orang yang tidak mau membayar zakat dan nabi-nabi palsu, tindakan Abu Bakar adalah melakukan pembersihan, menumpas,  serta memerangi mereka. Perang Riddah melawan kemurtadan yang berjalan alot berhasil dimenangkan oleh pemerintah Abu Bakar di bawah pimpinan Khalid ibn Walid.
Namun, disamping itu semua, banyak dari penghafal Al Qur’an yang tewas dalam perang tersebut. Melihat suasana ini Umar merasa cemas,dan mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan Al Qur’an.Abu Bakar pada awalnya tidak menyetujui usulan ini, karena tidak ada otoritas dari Nabi Muhammad SAW untuk membukukan Al-Qur’an. Namun kemudian,  ia setuju dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya.
Perilaku politik lain yang dijalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi. Ada dua ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu Bakar, yaitu :
(1). Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Dalam ekspansi ini (tahun 634 M). Pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah, sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia
(2)    Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang,yaitu Ubaidah,Amr ibn Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil. Ekspansi yang dilakukan oleh keempat panglima perangnya ini dikuatkan lagi dengan kehadiran Khalid ibn Walid untuk menguasai wilayah tersebut. Karena kemenangan tersebut akan sangat besar artinya bagi penguasaan daerah-daerah lain di barat dan utara. Akhirnya pasukan Islam di bawah panglima Khalid dapat mengalahkan pasukan Romawi dalam peperangan Ajnadain pada tahun 634 M.[12][12]
Ketika pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian Damascus, Baalbek, Homs, Hama,Yerussalem, Mesir, dan Mesopotamia, Abu Bakar meninggal dunia, Senin 23 Agustus 634 M, setelah menderita sakit selama beberapa hari. Dalam menjalankan politik pemerintahannya selama 2 tahun 3 bulan dan 11 hari, Abu Bakar mengedepankan aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga secara internal kondisi pemerintahnnya stabil.
2.     Umar ibn Al Khattab Al faruq : Politik Ekspansi
Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza merupakan keturunan dari ‘Adi, salah satu suku bangsa Quraisy yang terpandang mulia. Ia lahir lebih muda 4 tahun dari Rasulullah di Makkah. Umar dibesarkan dalam lingkungan yang meskipun kecil dan tidak kaya, tapi menonjol di bidang ilmu. Karena itu, kabilah ini sering dipercaya untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dalam suku Quraisy, seperti pernah dilakukan oleh kakenya Nufail ibn al uzza yang sukses menyelesaikan persengketaan antara Abd al Muttahlib dengan Hazid ibn Umayyah.[13][13]
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun, dari tahun 13-23 H (634-644 M).  Dalam masa pemerintahannya, Umar melakukan beberapa langkan politik. Langkah politik ekspansi merupakan langkah yang paling populer selama pemerintahan Umar. Langkah ini harus dilakukan, karena pasukan Islam sudah menyebar ke beberapa wilayah yang dikirim oleh pemerintahan Abu Bakar. Mau tidak mau dia harus meneruskan langkah tersebut. Umar sangat tahu sekali kondisi psikologi pasukan Islam, yang punya semangat dakwah yang sangat tinggi untuk menyerukan ajaran-ajaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
Selain karena bangsa Arab (kaum Badui) terbiasa dengan kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan suka berperang. Penyatuan antara kedua aspek dakwah, nomad dan suka berperang dari pasukan Islam, akhirnya digunakan untuk melakukan ekspansi dan dengan cepat dapat menundukkan wilayah kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.
Kemenangan besar yang didapat pasukan Islam dalam peperangan dengan pasukan Romawi di Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di Persia disebabkan pula oleh ; (1). Kondisi internal kedua kerajaan tersebut yang secara militer telah lemah akibat peperangan di antara mereka, atau perang melawan pasukan Islam sebelumnya. (2). Perilaku kedua kerajaan ini terhadap rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka bergabung dengan pasukan Islam bahkan mereka lebih memilih untuk menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan Umar ibn Khattab.
Langkah politik kedua sebagai akibat dari penyerbuan pasukan Islam ke daerah bekas kekuasaan Romawi dan Sasania adalah mengkonsentrasikan pasukan Islam hanya digunakan untuk menjalankan penaklukan dan untuk membentengi wilayah yang telah ditundukkan.[14][14]
Langkah politik ketiga yang dilakukan Umar ibn Khattab, adalah pasukan Islam tidak diperbolehkan memaksakan warga taklukan untuk memeluk agama Islam. Prinsip ini sudah pernah dijalankan pada masa Rasulullah yang memberi izin kepada pemeluk Yahudi dan Kristen tetap berpegang pada agamanya, dengan catatan mereka harus membayar upeti.
Gubernur yang dikirim hanya ditugasi untuk menangani pengumpulan pajak dan upeti, mengawasi distribusi pajak sebagai gaji tentara, dan memimpin peperangan serta pelaksanaan Shalat jama’ah. Namun dalam perkembangannya, ada perubahan dalam pengaturan terkait dengan urusan sosial dan administrasi kenegaraan. Meskipun dalam penerapan antara satu propinsi dan lainnya berbeda. Di Iraq seluruh wilayah dikuasai dan diurusi negara Khurasan, dikuasai oleh penguasa lokal, di Mesir menghapus otonomi kekeyaan fiskal, dan kota mengatur afministrasi yang mandiri.[15][15]
Langkah politik keempat adalah didasari oleh keberhasilan meluaskan jajahan yang membawa implikasi pada membanjirnya harta-harta, baik rampasan,upeti, pajak dan lainnya. Untuk memudahkan urusan administrasi dan keuangan, maka dalam pemerintahannya dibentuk lembaga-lembaga dan dewan-dewan, seperti Bait al Maal (perbendaharaan negara), pengadilan, dan pengangkatan hakim, jawatan pajak, penjara, jawatan kepolisian juga membuat aturan pembagian gaji kepada tentara, dan tentara cadangan, pemberian gaji kepada guru-guru, muadzin dan imam, pembebanan bea cukai, pemungutan pajak atas kuda yang diperdagangkan, pungutan pajak atas orang-orang Kristenbani Tighlab sebagai ganti jizyah.[16][16] Umar juga menempa mata uang dan tahun Hijrah yang dimulai dari Hijrah Rasul.[17][17]
Dalam keagamaan tokoh cerdas ini merupakan mujtahid yang handal pada zamannya. Dia menghasilkan ijtihad dimana pandangan-pandangannya berbeda dengan Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hal. Namun tidak keluar dari komitmennya yang kuat terhadap Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Seperti peniadaan hukum potong tangan pada tindak pidana pencurian, jatuhnya talak tiga sekaligus memasukkan lafal asshalatu khairun min al naum dalam shalat shubuh, shalat tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak 20 dan lain-lain.
Pemerintahan khalifah Umar yang berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan dan 40 hari. Dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis, selain karena dia meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya dengan jalan membangun jaringan pemerintahan sipil[18][18] juga bersifat egaliter dengan menjamin persamaan hak dalam bernegara, tidak membedakan antara atasan dan bawahan, penguasa dan rakyat. Ketika akan menjalankan shalat shubuh, seorang budak berkebangsaan Persia bernama Feros atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang Umar dan menikam dengan pisau. Khalifah terluka yang sangat parah,d an setelah 3 hari dari peristiwa penikaman tersebut, Umar wafat pada tanggal 1 Muharram 23 H.
3.     Usman ibn Affan : Politik Sentralistik dan Nepotisme
Ia bernama Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn Umayyah.dengan demikian ia berasal dari bani Umayyah,walaupun tidak dimasukkan dalam dinasti Umayyah yang berkuasa setelah Khalifah Ali. Ia lahir di Makkah dari trah bangsawan Makkah yang sangat dihormat,dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad atau seusia Abu Bakar. Usman merupakan sahabat nabi yang sangat kaya raya tetapi berlaku sederhana dengan lebih menggunakan kekayaannya untuk kejayaan Islam.
Usman menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun,dari tahun 23-35 H (644-655 M), merupakan masa pemerintahan yang terpanjang di antara khulafa al Rasyidin. Masa pemerintahan Usman terbagi atas dua periode, yaitu : 6 tahun pertama merupakan pemerintahan yang baik, dan 6 tahun kedua merupakan masa pemerintahan yang buruk.[19][19]
Kebijakan politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan ekspansi yang dilakukan Umar ke berbnagai wilayah di front barat,timur dan utara. Dalam ekspansi ini dimotivasi oleh dakwah sekaligus memperluas kekuasaan, dimana hasil rampasan, serta pajak dapat digunakan untuk meningkatkan kemajuan negara serta kesejahteraan umat Islam.
Langkah politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian kekuasaan pemerintah dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) dari seluruh pendapatan provinsi, dan menetapkan juru hitung safawi.[20][20] Langkah ini merupakan langkah yang strategis untuk menata administrasi kenegaraan, karena makin luasnya wilayah kekuasaan dan makin banyak pegawai, dan pasukan yang mendapat gaji, bahkan pendapatan negara ia bagi-bagikan untuk kepentingan kalangan migran orang Arab di daerah-daerah pendudukan yang jumlahnya semakin meningkat. Kebijakan yang brilian inilah saling dimanfaatkan antara Usman yang memang berasal dari aristokrat Makkah Bani Umayyah,  atau bani-bani yang lain yang ada  di Makkah, sehingga dapat dikatakan ia terlalu terikat dengan kepentingan orang-orang Makkah.
Perilaku politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati posisi penting dalam pemerintahan Usman, dalam pandangan sahabat dan masyarakat Madinah menjadi titik kelemahan. Maka muncullah kebencian rakyat yang pada beberapa waktu kemudian meletuslah pembangkangan, dan pemberontakan di beberapa negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan khalifah.  
Ketidak senangan mereka terhadap Usman sebetulnya sudah sejak terpilihnya Usman menjadi Khalifah, terutama orang-orang yang menyokong Ali ibn Abi Thalib, yaitu orang-orang Badui dan penduduk Mesir. Kebencian ini akhirnya menimbulkan tuduhan terhadap Usman, bahwa ia telah membagikan harta negara kepada kerabat Khalifah seperti Hakam mendapat tanah Fadah, kemudian Abdullah diizinkan mengambil sendiri 1/5 dari harta rampasan perang di Tripoli. Tuduhan yang lain adalah bahwa Usman tidak bertindak atas perilaku Marwan yang mengambil dan menyalahgunakan harta Baitul Maal dan Mu’awiyah mengambil alih tanah negara di Suriah.[21][21] Padahal Utsman Radhiallahu‘anhu yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota.Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Sebagai seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha memperkenalkan edisi Al-Qur’an standar dengan membuat kodifikasi baru dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan pengkodifikasian ini karena Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di antara penduduk yang menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al Yaman,maka Usman menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan shuhuf yang ada pada Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah tersebut, maka pengkodifikasikan telah selesai dan naskah tersebut disebut dengan mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh menyalin empat naskah dengan pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana nantinya akan dikirim ke Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus dibakar termasuk shuhuf yang ada pada Hafsah.[22][22] Namun maksud baik ini ditentang oleh sebagian kelompok muslim yang merasa merekalah yang paling berhak atasAl-Qur’an. Usman tidak mempunyai otoritas sama sekali untuk menetapkan edisi Al-Qur’an tersebut.[23][23]
Kebencian terhadap Khalifah Usman makin membara di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Di Kufah dan Basrah sebagai basis pendukung kekuatan Ali pun muncul ketidaksenangan terhadap Khalifah. Mereka diprakarsai oleh Thalhah dan Zubair menentang gubernur yang diangkat oleh khalifah.
Tepat pada saat khalifah sedang membaca Al-Qur’an tanggal 17 Juni 656 H  (35 M) Usman meninggal dunia karena dibunuh pemberontak. Pemerintahan khalifah Usman masih dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis, karena Khalifah tidak pernah menunjukkan sifat refresif, bahkan dia sangat baik dan shaleh. Seluruh waktunya banyak digunakan untuk ibadah. Namun perilaku bawahannya yang tidak dapat diawasi karena faktor usia yang telah tua dan lemah pada Usman inilah yang menjadikan pemerintahannya berkurang demokrasinya.[24][24]
4.     Ali bin Abi Thalib
Ia bernama Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, sepupu Nabi Muhammad dan menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti Muhammad. Ali merupakan sahabat nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12 tahun telah masuk Islam dan mengakui risalah. Sebagai anak Abu Thalib yang secara materi sangat kekurangan dan ditempa dengan tauladan ayahnya yang berakhlak mulia dan terhormat, telah membentuk Ali mempunyai watak yang lebih mementingkan aspek spiritual, sehingga sepanjang sejarahnya Ali lebih berkonsentrasi pada perjuangan menegakkan Islam, keagamaan, dan keilmuan tanpa menoleh sedikitpun pada aspek duniawi.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun,dari 36-41 H (656-661 M), diwarnai oleh timbulnya banyak kekacauan, dan pemberontakan-pemberontakan. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah dialami oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Hal ini disebabkan, karena Usman tidak sempat menunjuk pengganti atau membentuk dewan formatur untuk memilih khalifah. Ali diangkat melalui proses pembai’atan langsung yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Madinah, secara terbuka di masjid termasuk dihadiri kaum Muhajirin dan Anshar.[25][25]
Menurut Munawir Syadzali, setelah pembunuhan Usman, kota Madinah dalam kondisi yang sepi dan kosong, karena banyak ditinggal oleh para sahabat ke wilayah yang baru ditaklukkan. Kondisi ini diperparah oleh tidak amannya kota, sehingga keamanan dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari. Hanya sedikit para sahabat yang masih tinggal di kota Madinah dan tidak semuanya mendukung Ali, seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Abdullah ibn Umar. Mu’awiyah Amr ibn ‘Ash serta Aisyah menganggap tidak sah dengan pembai’atan Ali sebagai khalifah karena tidak semua  ahli al halli wa al aqdi hadir saat pembai’atannya. Ia menggugat  kepemimpinan Ali dengan alasan : (1). Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman (2). Hak pemilihan khalifah ada pada seluruh wilayah negara, bukan monopoli orang-orang Madinah.
Ali mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Setelah dibai’atnya Ali sebagai khalifah, dikeluarkannya 2 buah ketetapan : (1). Memecat kepala-kepala daerah angkatan Usman. Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu ter[paksa kembali dsaja ke Madinah,karena tak dapat memasuki daerah yang ditetapkannya.[26][26] (2). Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali.
Terhadap para penentangnya seperti Aisyah, Talhah serta Zubair yang menuntut supaya Ali segera menghukum pembunuh Usman, Ali mencoba menjalankan politik secara damai. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pertikaian di antara masyarakat Islam. Namun ketika kompromi ini diajukan kepada Aisyah, Thalhah serta Zubair, ditolak. Maka peperangan tidak bisa dihindarkan lagi. Terjadilah perang Jamal (unta), karena Aisyah janda nabi menaiki unta, pada tahun 36 H. Dalam peperangan ini, pasukan Ali yang didukung masyarakat Anshar,masyarakat Kufah dan Mesir,dapat memenangkan peperangan. Aisyah tertawanvdan dikembalikan ke Madinah,sedangkan Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri bersama 20.000 kaum muslim yang gugur.
Adapun terhadap Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang tidak mengakui kekhalifahannya dan menolak meletakkan jabatannya sebagai gubernur di Suriah, Ali melakukan tindakan penyerangan terhadap penguasa Suriah itu. Peperangan terjadi di Shiffin, dekat Sungai Euphrat pada tahun 37 H. Dalam peperangan ini sebenarnya pasukan Mu’awiyah telah terdesak kalah, dengan terbunuhnya 7.000 orang. Namun dalam kondisi yang terdesak ini, Mu’awiyah yang mempunyai siasat lihai, dengan mengangkat Al-Qur’an sebagai tanda meminta damai dengan cara tahkim (arbitrase). Dalam tahkim diusulkan agar Ali dan Mu’awiyah meletakkan jabatan yang diklaim mereka. Karena Musa al Asyar sebagai wakil dari Ali lebih tua daripada Amr ibn Ash wakil Mu’awiyah, maka dia lebih dahulu menyampaikan pidato. Namun ketika Amr ibn Ash menaiki mimbar, bukannya yang diucapkan tentang penurunan Mu’awiyah sebagaimana kesepakatan semula, tetapi mengucapkan penerimaan turunnya Ali sebagai khalifah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. Peristiwa tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan di antara kaum Muslim, namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan Mu’awiyah membuat kedudukan Mu’awiyah sejajar dengan Khalifah Ali, dan menyulut pertikaian baru, dengan munculnya kelompok khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali dan menegaskan ketidak setujuannya terhadap tahkim, bahkan berusaha membunuh Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya tidak berhukum pada hukum Allah.
Dengan demikian umat Islam terpecah lagi ke dalam 4 golongan, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (Ali), Khawarij serta kelompok yang tidak ikut dalam pertikaian politik dan lebih concern pada kesalehan dan ilmu. Dan dengan keluarnya Khawarij dari mendukung Ali, maka menjadi lemahlah kekuatan Ali, sehingga Mu’awiyah dapat memperluas pengaruh dan kekuasaannya bukan saja di Suriah, tapi juga di Mesir.  Hal ini membuat Ali menyetujui perjanjian dengan Mu’awiyah yang mengakui kekuasaan atas Suriah dan Mesir. Ketika berita itu didengar oleh khawarij, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik bernama Ibnu Muljam dapat membunuh Ali pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 M).[27][27]  Setelah Ali terbunuh, kedudukan khalifah dijabat oleh Hasan selama beberapa bulan sampai terjadinya perjanjian damai yang pada intinya menyerahkan kekuasaan khilafah pada Mu’awiyah. Perjanjian itu dibuat dengan harapan dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan politik. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 41 H (661 M) dan disebut dengan ‘Am Jama’ah (tahun persatuan)[28][28].
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perlu dijelaskan bahwa khilafah yang timbul setelah wafatnya Rasulullah tidak berbentuk kerajaan, dalam arti kepala negara dipilih, dan tidak didasarkan turun-temurun.
Tampilnya Abu Bakar al-Shidiq sebagai khalifah (11 H/632 vM-13 H/634 M) merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam yang berpusat di Madinah.
Sepeninggal Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin al-Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua. Tampilnya Umar sebagai khalifah kedua (13 H/634 M-23 H/644 M) tidak melalui pemilihan dalam satu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukkan atau wasiat oleh pendahulunya.
Sementara itu, Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga (23 H/644M- 35H/656M) dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari 6 orang yang ditentukan Umar sebelum wafat. Pasca wafatnya Umar, keenam orang tersebut berkumpul untuk bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman ibn Auf, terjadilah permusyawarahan yang akhirnya sepakat memilih Usman bin Affan sebagai pengganti Umar bin Khattab dengan pertimbangan lebih tua dan lebih lunak sifatnya. Pasca pembunuhan Usman oleh para pemberontak, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah melalui pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu menurut Munawir Syadzali jauh dari sempurna.  Semasa kepemimpinannya Ali memerintah selama 5 tahun (35 H/656 M-40 H/660 M) dan di akhir kepemimpinannya ia pun terbunuh oleh para pemberontak.
Ciri yang menonjol dari sisitem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah bukan dari turun temurun. Tidak ada satupun dari 4 khalifah tersebut  yang menurunkan kekuasannya pada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
B.     Saran
Penulis menyadari, bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan, guna perbaikan makalah kami di masa yang akan datang.


























DAFTAR PUSTAKA

Engineer, Asghar Ali. Asal-Usul dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Al Husna.1992.
Watt, William montgemory. Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2003.
Zada, Mujar ibnu Syarif Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran politik Islam. Jakarta : Erlangga. 2008.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya : Pustaka Islamika.2003.
file:///E:/MAKALAH/SEJARAH DAKWAH/Fajrifasri DAKWAH PADA MASA KHULAFA'UR RASYIDIN.htm




[1][1] adalah:
[2][2] Asghar Ali Engineer. Asal-usul dan Perkembangan Islam.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar.1999).hlm.213.
[3][3] Mujar Ibnu Syarif,Khamami Zada. Fiqh Siyasah.(Jakarta: Erlangga.2008)hlm.205.
[4][4] Ayat yang menunjukkan makna pengganti sebagai kata dasar ada pada 7 tempat.
[5][5] Lihat Abdul Azizi Thaba,Islam dan Negara,(Jakarta :Gema Insani,1996),102.
[6][6] Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. (Surabaya:Pustaka Islamika.2003).hlm.60.
[7][7] Shaban, SejarahIslam, (Jakarta : Rajawali,1993),25.
[8][8] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh Al Islam I, (Kairo : Maktabah Al Misriyyah 1979),205. Lihat juga padaSyalabi.Sejarah dan kebudayaan Islam I, Jakarta,jaya Murni,226.
[9][9] Bernand Lewis,39.
[10][10] Amin Said,220.
[11][11] Ira M Lapidus, Sejarah Sarid Ummat Islam,( Jakarta : Rajawalim1999),57.
[12][12] Ibid, 168
[13][13] Lihat Abbas Mahmud Al Aqqod, Abqoriyatu Umar, (Kairo Darus Sya’b,1969),27-28.
[14][14] Ibid, 63.
[15][15] Ibid, 65-66.
[16][16] Disarikan dari Syibl, Nu’mani, Al Farouq, Lifeat Omar the Great Second Caliph of Islam, Terjemahan Kadiriyo Djojosuwarno, (Baqndung, Pustaka 1981), 555-557.
[17][17] As Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 263.
[18][18] Mahmudunnasir,184.
[19][19] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta Ui Press, 1991,25-24.
[20][20] Ira M.Lapidus, 83-84.
[21][21] Mamudunnasir, 188-189.
[22][22] M. Hasbi Al shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an,(Yogyakarta : Bulan Bintrang  1986), 87-89.
[23][23]  Ira M. Lapidus 84, lihat juga dalam Ahmad Al Beladzuri, Futuh Al Buldan V, (Kairo :Maktabah, Al Mishriyah    tt),62
[24][24] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya : Pustaka Islamika 2003),81.
[25][25] Coba anda lihat dan  bandingkan  dengan Yusuf  Musa,121-131. Ada suatu Riwayat yang menyatakan bahwa pembaiatan Ali diawali dengan pemberontakan Usman yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Datang ke rumah Ali memintanya untuk jadi kholifah. Pada mulanya Ali menolak,namun mereka tetap memaksa dan akhirnya Ali menerima dengan syarat harus dilakukan di masjid.baca Abdul Aziz Thaba, 105-106.
[26][26] Lihat At Thabari III:456 dan seterusnya.
[27][27] Lihat Mahmudunnasir, 197-202.
[28][28] Hasan Ibrahim Hasan,64.