Ekonomi China Setelah Pertumbuhan 30 Tahun
Oleh : Thee Kian Wie
Hari ini Republik Rakyat China merayakan HUT ke-60. RRC diproklamasikan pada 1 Oktober 1949 oleh Mao Zedong di hadapan massa di lapangan Tiananmen.
Pada peristiwa ini, ada baiknya merenungkan pencapaian negara raksasa ini di bidang ekonomi, terutama sejak reformasi ekonomi pada tahun 1979, dan berbagai tantangan yang dihadapi.
Reformasi ekonomi
Sejak Deng Xiaoping meluncurkan program reformasi ekonomi tahun 1979, ekonomi China mengalami pertumbuhan amat menakjubkan.
Akibat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 10 persen setahun dan berlangsung hampir 30 tahun—sebelum negara ini terkena dampak krisis finansial global akhir 2008—ekonomi China diukur dari besarnya produk domestik bruto menjadi negara ketiga terbesar di dunia sesudah ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Bahkan, menurut proyeksi, dalam beberapa tahun mendatang China akan melampaui Jepang jadi ekonomi kedua terbesar di dunia sesudah AS.
Selain itu, menurut perkiraan Bank Dunia, persentase penduduk China yang hidup di bawah garis kemiskinan telah menurun dari 60 persen pada 1978 menjadi 7,0 persen pada 2007. Ini berarti sejak 1979 kesejahteraan ratusan juta penduduk China yang miskin dapat ditingkatkan, suatu kinerja yang tiada taranya dalam sejarah ekonomi dunia.
Demokrasi
Menurut Profesor Deepak Lal dari Universitas California, Los Angeles, faktor penting mengapa pimpinan China berbeda dengan elite politik India dan Indonesia, telah berhasil menempuh kebijakan reformasi ekonomi yang lebih konsisten dan berkelanjutan, adalah karena mereka sepenuhnya merangkul ideologi kapitalisme. Di sisi lain, dalam pidato baru-baru ini, Presiden Hu Jintao menegaskan demokrasi Barat tidak cocok bagi China.
Investasi asing
Kebijakan ekonomi China adalah pragmatis yang didasarkan atas evaluasi pengalaman dalam pelaksanaan berbagai eksperimen program pembangunan yang mereka sebut ”mencari kebenaran dari kenyataan konkret”, seperti ”sistem tanggung jawab rumah tangga” yang pada akhir 1970-an telah meninggalkan sistem pertanian kolektif dan mengembalikan usaha tani kepada para petani. Hasilnya, kenaikan pesat dalam produktivitas, hasil produksi, dan pendapatan petani tanpa memerlukan pengeluaran besar dari Pemerintah China.
Kebijakan ekonomi yang pragmatis juga tecermin pada kebijakan ”pintu terbuka” bagi investasi asing. Meski dari tahun ke tahun sistem insentif dan peraturan mengenai investasi asing terus disempurnakan, insentif dan peraturan tentang investasi asing tetap menarik bagi investor asing. Dengan demikian, China menerima investasi asing dalam jumlah amat besar, jauh melebihi investasi asing ke negara-negara kawasan Asia-Pasifik lainnya (di luar Jepang).
Semula, Pemerintah China juga memberi prioritas pada pembangunan industri-industri manufaktur ringan dan menengah yang padat karya dan berorientasi ekspor—yang hanya memerlukan jumlah investasi kecil—tetapi dalam waktu singkat menghasilkan lonjakan jumlah produksi, seperti tekstil, garmen, alas kaki, mainan anak, dan barang elektronik konsumsi. Kenyataannya, industri ini telah mempekerjakan puluhan juta orang yang datang dari pedesaan. Namun, setelah krisis finansial global juga melanda China, puluhan juta pekerja ini kembali ke pedesaan karena pasar ekspor mereka mengalami kontraksi.
Program reformasi ekonomi China yang diluncurkan Deng Xiaoping disebut Gai Ge Kai Feng, terdiri dari dua unsur utama. Pertama, ”mengubah sistem insentif dan kepemilikan” di mana milik pribadi menjadi lebih dominan daripada milik negara.
Kedua, ”membuka pintu”, artinya liberalisasi perdagangan luar negara, investasi asing, dan domestik. Kebijakan investasi asing yang liberal dilengkapi peraturan ketat, yang mewajibkan berbagai perusahaan asing untuk mengalihkan teknologinya ke berbagai perusahaan domestik, sebagai imbalan dibukanya pasar domestik China yang besar bagi berbagai perusahaan asing.
Selain itu, Pemerintah China berhasil membangun jaringan prasarana fisik, terutama sistem transportasi yang luas dan efisien, yang implementasinya didasarkan atas pemulihan ekonomi total. Artinya, penghasilan dari pengenaan tarif yang dibayar para pengguna prasarana ini harus menutupi semua biaya yang diperlukan untuk operasi dan pemeliharaan prasarana.
Program reformasi ini juga memberi prioritas tinggi pada pertanian dan pembangunan pedesaan. Kenyataan menunjukkan hal ini belum begitu berhasil, yang juga diakui Presiden Hu Jintao. Presiden Jintao menyerukan perwujudan suatu ”masyarakat yang serasi” yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Tantangan China
Namun, selain keberhasilan ekonominya yang luar biasa, China juga menghadapi berbagai tantangan besar yang harus ditanggulangi guna menghindari pertumbuhan ekonomi yang melamban; ketimpangan pendapatan antargolongan yang amat besar; konflik yang makin tajam dengan mitra perdagangan yang pasarnya dibanjiri barang-barang China.
Untuk dalam negeri, China juga menghadapi polusi udara yang amat parah, yang mengakibatkan China kini menjadi sumber gas karbon (CO) paling besar di dunia; dan ketimpangan dalam perimbangan jender akibat kebijakan satu anak yang menyebabkan terjadi banyak aborsi bayi perempuan karena preferensi orang China untuk anak laki, serta jumlah penduduk China yang makin cepat menua yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, seperti yang kini sudah dialami Jepang.
Mengubah strategi
Pada Desember 2004, pimpinan puncak China memutuskan mengubah secara fundamental strategi pertumbuhan negara ini dari pola pembangunan yang terutama digerakkan oleh investasi dan ekspor ke pola yang lebih mengandalkan pertumbuhan domestik yang lebih pesat.
Pada awal 2006 Perdana Menteri Wen Jiabao mengulangi tekad Pemerintah China untuk mendorong konsumsi domestik sebagai sumber pertumbuhan utama China.
Dalam laporan triwulan kedua 2009 tentang perkembangan ekonomi China, Bank Dunia menekankan, China perlu memberi prioritas pada perubahan dalam kebijakan struktural yang diperlukan untuk memudahkan transisi ke pola pertumbuhan yang lebih didorong pertumbuhan konsumsi domestik dan lebih berorientasi pada pola pertumbuhan yang lebih mendorong sektor jasa dan padat karya.
Implementasi kebijakan ini akan memungkinkan China untuk lebih cepat menanggulangi dampak krisis finansial global dan mencapai lagi pertumbuhan ekonomi pesat yang berkelanjutan.
Thee Kian Wie, Staf Ahli Pusat Penelitian
Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Source : Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:32 WIB
Foto-Foto : Xinhua/Li Gang
Grafik : gmj.gallup.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar