Histori
Junghuhn, Ahli Botani sekaligus Kartografi
Ingat Junghuhn, ingat pil kina! Ini bukan kalimat untuk jingle sebuah iklan, tetapi kenyataan bahwa pil kina yang kemudian menjadi obat penyakit malaria itu tak lepas dari peran lelaki keturunan Jerman itu. Pil kina "lahir" dari biji tanaman kina (Cinchona), varietas unggul asal Amerika Latin, yang lalu dibudidayakan di Lembang, Bandung.
Dengan dedikasi dan semangat tinggi, Junghuhn membikin sejarah baru bidang farmakologi lewat pengembangan budi daya tanaman kina. Bandung yang disebutnya "Parijs van Java" kian tersohor di mancanegara mengingat sebelum Perang Dunia II dikenal sebagai gudang bubuk kina. Sebab, sekitar 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia dicukupi oleh perkebunan kina di wilayah sekitar Bandung.
Kekejaman Perang Dunia II berdampak pula pada terbengkalainya pengelolaan perkebunan kina di Indonesia. Tak heran, Indonesia harus mengimpor rata-rata 3.000-3.500 ton kulit kina kering per tahun. Namun, lantaran sudah menjadi trademark, budi daya tanaman kina terus dijalankan di Jabar, dengan lahan yang tersebar di Bandung, Cianjur, dan Garut.
Namun, masih ada kiprah Franz Wilhelm Junghuhn yang jarang diungkap. Itu tak lain jasanya di bidang kartografi. Dalam penjelajahannya di Indonesia, lelaki kelahiran Mansfeld, 26 Oktober 1809, itu memetakan secara lumayan detail hampir seluruh gunung, bentuk bentang kenampakan berikut vegetasi dan tanaman di sekitar gunung yang didakinya. Bahkan, peta yang dibuatnya pada 1855 hampir sama lengkapnya dengan peta hasil rekaman satelit NASA tahun 2007.
Peran Junghuhn itulah yang ingin diingatkan kembali lewat simposium yang digelar atas kerja sama Goethe Institut, Erasmus Huis, dan Institut Teknologi Bandung yang berlangsung selama dua hari dan berakhir Selasa (20/10). Simposium yang dirangkai dengan pameran di Campus Center ITB itu juga diadakan guna memperingati 200 tahun kelahirannya, dilanjutkan ziarah ke pemakamannya di Lembang.
Dalam simposium hadir pembicara Thilo Habel dari Humboldt Universitat Berlin, Johan Angerler dari Universitas Leiden, serta peminat dan pengamat kartografi Gerhadt Aust.
Memetakan gunung
Menurut Roman Roesener dari Goethe Institut Jakarta, setidaknya 46 gunung dari 56 gunung di Pulau Jawa, mulai Ujung Kulon hingga Banyuwangi, sudah didaki Junghuhn. Selain merekam perjalanan lewat foto, Junghuhn juga memetakan dan mengukur ketinggian gunung berikut lanskap. Upaya itu membuat masyarakat mengetahui karakter gunung dengan jelas. Maka, ketinggian Tanah Jawa yang terbentang sepanjang 1.000 kilometer jadi mudah dimengerti.
Hasil ekspedisi yang dibuatnya sendiri itu diabadikan lewat Kaart van Het Einland Java yang lebih lengkap daripada Map of Java yang muncul dalam karya Thomas Stamford Raffles, History of Java (1817). Sayang, beberapa gunung yang tertera dalam peta buatan Junghuhn, menurut pantauan Gerhadt Aust, kini tidak tampak di lapangan, seperti gunung kapur di selatan DI Yogyakarta yang "hilang" akibat penambangan. (KHAERUL ANWAR)***
Source : Kompas, Rabu, 21 Oktober 2009 | 15:10 WIB Foto-Foto : geoblogi.wordpress.com & jakarta.diplo.de
Tidak ada komentar:
Posting Komentar