Pengunjung mencoba membatik di sela-sela acara Smesco Festival 2009 di Balai Sidang Jakarta, Sabtu (17/10). Selain batik, pengunjung pameran juga bisa mencoba membuat sendiri aneka kerajinan tangan di arena pameran tersebut. (Foto : Kompas/Kris Razaianto Mada)***
BATIK
Wajar Harganya Mahal
Oleh : Kris R Mada
Farida (35) batal membeli selembar kain batik tulis di arena pameran Karya Kreatif UKM 2009 di Balai Sidang Jakarta, Minggu (18/10), begitu tahu harganya. Penjual menyebut harga Rp 450.000 untuk selembar kain yang ditunjuk Farida.
Sebelum menanyakan harga, ia sudah meneliti beberapa kain. Setelah menemukan kain dengan corak yang dirasa pas, baru ia bertanya harganya. ”Tadinya mau buat bawahan kebaya yang beli di sini juga. Enggak jadi beli deh, mahal banget. Heran kenapa harganya bisa begitu,” ujarnya.
Keingintahuannya terjawab sebelum ia keluar dari arena pameran. Penyelenggara pameran menyediakan tempat demo bagi pengunjung. Beberapa perajin menyediakan bahan demo yang bisa digunakan pengunjung. Pengunjung bisa memilih kerajinan tangan di pojok arena demo atau membatik di bagian tengah arena.
Farida memilih tempat demo batik. Ia mencoba menggambar bunga. Belum 10 menit, ia sudah merasa susahnya membuat batik tulis. ”Kadang malam (tinta batik)-nya enggak mau keluar, kadang keluar kebanyakan, keluar sampai meleber ke mana- mana. Bikin batik susah banget, wajar harganya mahal,” ujarnya.
Ibu dua anak itu butuh hampir 20 menit untuk membuat motif kelopak bunga yang kurang memuaskan hasilnya. Tetapi, ia senang karena bisa merasakan pengalaman membuat batik. ”Kalau di televisi kelihatannya mudah sekali, sebentar saja langsung jadi motif. Waktu coba sendiri, susahnya minta ampun. Buat batik cap juga katanya susah dan lama. Kalau batik cetak mudah dan cepat, makanya bisa murah,” ujarnya.
Meski tahu susahnya membuat batik, ia tidak kembali ke gerai penjual kain batik tulis yang sebelumnya didatangi. Ia sudah cukup puas dengan beberapa baju batik yang motifnya hasil cetakan mesin. ”Ini sudah bagus kok, bisa buat ke kantor atau acara biasa,” ujarnya.
Hasil latihan
Pengunjung lain, Dira (21), juga merasakan susahnya membatik. Kesusahan dirasakan mulai dari memegang canting. Alat untuk menorehkan malam ke kain itu terasa panas karena terus berada di kuali berisi malam. Kuali itu terus dipanaskan agar malam tetap cair dan bisa ditorehkan ke kain. ”Ini cantingnya panas, kelamaan di dalam kuali. Heran kenapa perajin-perajin itu enggak kepanasan,” tuturnya.
Sebelum malam bisa ditorehkan, canting harus ditiup dulu untuk melancarkan saluran ujungnya. Dira butuh melakukan beberapa kali sebelum bisa meniup dengan pas. ”Kalau meniup terlalu keras, malamnya muncrat ke mana-mana. Terus di kain meleber karena malam terlalu lancar mengalir dari canting. Kalau kelewat pelan, malam enggak mau keluar. Perajin-perajin di Pekalongan atau Solo itu sudah tiap hari niup canting, jadi kelihatan enak bener,” ungkapnya.
Uji coba di arena pameran itu membuat mahasiswi salah satu perguruan tingi swasta di Jakarta ini tahu kenapa batik mahal. Baginya, membeli batik bukan sekadar membeli kain. ”Pembeli lebih membayar untuk keahlian para perajin. Keahlian itu perlu latihan bertahun-tahun sebelum bisa membuat batik bagus-bagus,” tuturnya.
Motif-motif batik juga tidak sembarangan dibuat. Tiap motif memiliki landasan filosofi tersendiri. ”Kata teman dari Solo, tiap acara sebenarnya ada motif khusus. Bagi yang muda seperti saya sih, enggak terlalu ngerti. Cuma kalau dipelajari, menarik juga. Tetapi, saya sih belum punya batik tulis,” ujarnya.
Salah seorang teman kuliah Dira yang juga hadir di arena pameran, Arman, mengatakan, seharusnya ada lebih banyak pelajaran soal landasan filosofi dan nilai batik. Pelajaran itu akan mendorong orang mengerti dan menyukai batik. ”Sekarang orang pakai batik karena sedang tren. Kalau tren sudah habis, siapa mau pakai batik? Kan sama waktu sebelum tren, enggak ada orang mau pakai batik. Kesannya cuma orang tua yang pantas pakai batik,” katanya.
Tindak lanjut atas pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia seharusnya tidak berhenti sebatas anjuran memakai saja. Orang Indonesia harus diberi tahu lebih banyak mengapa UNESCO membuat pengakuan itu. ”Mungkin harus ada pelajaran lebih banyak soal sejarah batik pada masa lalu dan sekarang. Pelajarannya jangan kaku, nanti enggak menarik buat yang muda-muda,” ujarnya.
Pelajaran itu juga akan membantu orang Indonesia yakin batik memang dikembangkan bangsa ini. Jadi, orang Indonesia bisa menjelaskan kepada warga asing tentang batik. ”Waktu ada negara lain klaim batik, banyak yang marah. Tetapi, enggak semua ngerti kenapa harus marah karena enggak ngerti soal batik. Itu sebenarnya malah membuat citra Indonesia jadi jelek. Mending buat lebih banyak orang tahu soal batik biar makin banyak yang bisa jelasin soal batik,” ujarnya.
Cara seperti itu akan lebih diterima dan menarik simpati warga negara asing. Warga negara asing akan yakin batik memang warisan budaya asli Indonesia karena banyak orang Indonesia yang bisa menjelaskan soal batik. ”Sama juga dengan kepemilikan benda lain. Mana bisa ngaku punya sesuatu kalau enggak bisa jelasin sesuatu itu seperti apa,” tuturnya.
Namun, seperti Farida dan Dira, Arman belum punya koleksi batik tulis. Faktor harga jadi alasan utama ia belum memiliki busana dari batik tulis. ”Selain itu, rasanya sayang kain bagus dan mahal dipotong-potong buat baju. Mending buat yang lain aja deh,” tuturnya.***
Source : Kompas, Senin, 19 Oktober 2009 | 03:16 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar