Membatik telah menjadi tradisi turun-temurun yang hingga kini masih banyak ditekuni oleh para ibu rumah tangga, sebagaimana yang ditemui di Dusun Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (30/9). Setelah wayang dan keris, batik akhirnya mendapat pengakuan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya milik Indonesia di dunia, yang akan ditetapkan besok, 2 Oktober 2009. (Foto : Kompas/Wawan H Prabowo).***
Jangan Puas Sebatas Pengakuan Batik
Upaya Pelestarian Harus Serius
JAKARTA - Upaya pelestarian batik jangan hanya puas sebatas pengakuan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Semua pihak harus terus berjuang agar batik bisa semakin berkontribusi positif secara multidimensi bagi masyarakat Indonesia.
Demikian pendapat sejumlah kalangan mengenai rencana pengukuhan batik Indonesia dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang direncanakan pada Jumat (2/10) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Doddy Soepardi, dari Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (30/9), optimistis bahwa setelah ditetapkan UNESCO, batik akan semakin berkembang.
Seandainya penetapan UNESCO sesuai rencana, batik menjadi warisan budaya Indonesia ketiga yang diakui dunia. Sebelumnya adalah wayang (2003) dan keris (2005) yang ditetapkan UNESCO sebagai karya agung budaya lisan dan tak benda warisan manusia.
Menteri Ad Interim Kebudayaan dan Pariwisata Mohammad Nuh mengatakan, dengan adanya pengukuhan dunia kepada batik Indonesia, tidak perlu lagi ada keraguan dari masyarakat soal kepemilikan batik.
Menurut Nuh, sekitar sejam setelah diumumkan secara resmi oleh UNESCO, rencananya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mendeklarasikan pengukuhan batik tersebut.
Kurator Museum Batik Yogyakarta, Prayoga, mengatakan, penetapan UNESCO perlu disertai dengan pelestarian seni batik, terutama teknik membatik, regenerasi, dan memerhatikan kehidupan para pembatiknya. Selama ini kepedulian kepada batik baru sebatas pada pemakaian busana bermotif mirip batik.
Padahal sebagian besar pakaian tersebut justru tidak dibuat melalui proses batik. ”Pakaian bermotif batik itu sebagian besar adalah hasil printing atau sablon, bukan batik,” ujar Prayoga.
Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat Komarudin Kudiya di Bandung mengatakan, dengan adanya pengakuan UNESCO, kebesaran batik kembali terangkat. ”Ini adalah saat yang tepat untuk kembali mencintai dan melindungi karya batik Indonesia,” kata Komarudin.
Komarudin menyatakan sangat bangga dengan pengakuan UNESCO. Ini menandakan, Indonesia adalah bangsa yang menghargai seni dan budayanya sendiri. Namun, ia mengharapkan semua pihak tidak berpuas diri. Dikatakan, pekerjaan rumah untuk melindungi dan melestarikan batik masih terbentang panjang. (ELN/IRE/ARA/CHE)***
Source : Kompas, Kamis, 1 Oktober 2009 | 03:51 WIB
Foto-Foto Pengrajin Batik Paoman Indramayu : ToeNTAS/Satim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar