KOLOM POLITIK EKONOMI
Politik Dagang Batik
Oleh : Andi Suruji
Batik Indonesia akhirnya resmi dimasukkan dalam 76 warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Batik Indonesia dinilai sarat teknik, simbol, dan budaya, yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.
Batik Indonesia konon memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Keunikan itu terletak pada penggunaan malam atau campuran sarang lebah, lemak hewan, dan getah tanaman dalam pembuatannya. Hal ini berbeda dengan teknik pembuatan motif kain dari China ataupun Jepang yang menggunakan lilin (Kompas, 2/10).
Begitu besar perhatian masyarakat Indonesia soal batik ini. Kemarin, di mana-mana di seluruh Nusantara dengan mudah kita jumpai warga bangsa ini mengenakan batik. Tua muda mengekspresikan berbagai bentuk luapan kegembiraannya terkait dengan dinyatakannya batik sebagai warisan budaya manusia. Sebelumnya wayang dan keris juga mendapat pengakuan terhormat dari masyarakat internasional.
Pertanyaan kita adalah setelah itu lalu apa? Apakah ”perjuangan batik” cukup sampai sebatas pengakuan dan kehormatan itu? Apakah kita cukup berbangga saja? Seharusnya tidak.
Suatu kehormatan seharusnya dikawal bersama karena kehormatan tinggi dan luhur nilainya. Sebagai bangsa, kita semestinya lebih maju lagi dengan melakukan kapitalisasi atau moneterisasi potensi batik. Batik bukanlah sebagai produk budaya semata dari perjalanan panjang peradaban manusia Indonesia. Di dalamnya ada proses kreatif yang melahirkan nilai ekonomis. Inilah yang seharusnya kita usahakan rebut sekuat tenaga.
Dari hasil pengumpulan data di lapangan oleh Yayasan Batik Indonesia bersama desainer batik Iwan Tirta di 19 provinsi di Indonesia terkumpul lebih dari 2.500 jenis batik dengan berbagai corak dan motif yang beragam.
Sekiranya potensi besar ini dapat dikapitalisasi, sudah pasti nilai ekonomis yang dapat diraih sungguh sangat besar. Kini, momentumnya sudah ada, jangan sampai berlalu begitu saja. Berhenti pada kebanggaan diakui dunia. Nah, bagaimana ”politik batik” itu akan dijalankan masyarakat Indonesia untuk meraih sebesar-besar manfaat finansial, tentu untuk kesejahteraan rakyat.
”Politik batik”, tentu saja dalam arti luas, menyangkut juga upaya-upaya yang seharusnya diambil segera untuk meraih manfaat ekonomis. Jangan sampai terjadi seperti ungkapan sapi punya susu, tetapi kambing punya nama. Jangan sampai kita berhenti sekadar pada rasa bangga memiliki sesuatu yang diakui dunia lalu benefit ekonomisnya ”dicuri” bangsa lain.
Kini era ekonomi kreatif, era globalisasi, era kapital. Bertali temali dalam dinamika ekonomi global. Siapa memiliki kapital, daya kreasi tinggi, tentu merekalah yang meraih manfaat besar.
Apalah artinya kita dinobatkan dunia sebagai ”pemilik” batik, tetapi manfaat ekonominya justru diraih bangsa lain dengan segala keunggulan kreatif, daya saing global, dan kekuatan kapitalnya.
Begitu mudah kita menemukan pakaian bermotif batik di pasar lokal. Bisa saja itu bukan buatan di dalam negeri, tetapi barang impor dari negara yang memproduksi secara mudah dan cepat serta murah. Dengan begitu, mereka memiliki daya saing tinggi untuk menerobos masuk ke berbagai pasar di seluruh penjuru dunia, termasuk pasar kita.
Ah...! Jangan-jangan baju atau rok berbahan kain bermotif batik yang Anda kenakan kemarin untuk menunjukkan rasa bangga atas pengakuan dunia terhadap batik justru buatan China atau negara lain. Ya, siapa tahu. Maaf, jangan tersinggung.
Soalnya, banyak di antara kita yang pasti kurang pemahaman, bahkan tidak tahu-menahu soal kain. Begitu melihat kain bermotif batik, kita sudah langsung menganggapnya itu buatan Indonesia. Buatan Pekalongan, Solo, Cirebon, Yogyakarta, atau batik daerah lain.
”Politik batik” adalah politik dagang juga. Itu kita tempatkan dalam konteks batik dan juga semua produk pertekstilan kita sebagai komoditas dagangan. Politik dagang kita sering kali kedodoran manakala memasuki arena pertarungan global. Bukan hanya di arena internasional, tetapi politik dagang kita juga harus kuat dalam membela kepentingan industri nasional di pasar domestik.
Betapa kalangan pengusaha industri tekstil dan produk tekstil mengeluhkan serbuan produk luar negeri yang masuk mengacak-acak pasar domestik. Mereka sering melontarkan kritik tidak adanya perlindungan pasar dan industri domestik. Barang impor, termasuk yang ilegal, begitu mudah menyerbu, melemahkan, bahkan mengancam ajal industri-industri pertekstilan nasional.
Padahal, industri tekstil dan produk tekstil merupakan industri padat karya berorientasi ekspor. Kamar Dagang dan Industri Indonesia menempatkan sektor ini sebagai industri pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, penetrasi produk ilegal di pasar domestik mengurangi daya saing industri di negeri sendiri.
Industri tekstil dan garmen merupakan industri padat karya dan terbukti pernah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pengalaman panjang pengusaha pada industri ini dan keragaman budaya yang dapat memperkaya ragam produk tekstil dan pakaian jadi merupakan modal dasar untuk tetap bertahan di tengah persaingan semakin ketat.
Mumpung daya saing produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki Indonesia di pasar dunia masih cukup tinggi. Neraca perdagangan untuk produk tersebut mengalami surplus 6,9 miliar dollar AS pada 2008 (56 persen dari total ekspor). Pada 2004, surplus perdagangan sempat mencapai 80 persen dari total ekspor.
Produk tekstil dan pakaian jadi ”Made in Indonesia” telah lama dikenal di pasar ekspor.
Source : Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2009 | 03:21 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar