Perbatasan dan Infrastruktur
Oleh Bambang Susantono
Kawasan perbatasan masih sering ”dianaktirikan” dan belum menjadi fokus utama pembangunan, seperti yang terlihat dalam serial laporan Kompas tentang nasionalisme di perbatasan pada Agustus lalu.
Padahal, kenyataannya, kawasan perbatasan justru merupakan pintu gerbang internasional dan beranda depan negara Indonesia. Kenyataan ini seharusnya segera disadari dan diimplementasikan melalui perubahan paradigma pengembangan kawasan perbatasan sehingga kesan ”daerah tertinggal” dapat dihilangkan, serta kesenjangan antara perbatasan dan kawasan bukan perbatasan dapat diminimalisasi.
Salah satu tantangan besar pengembangan kawasan perbatasan adalah bagaimana menyinergikan semua stakeholder terkait dalam pengembangan kawasan dengan segala permasalahannya yang multidimensi, seperti terkait dengan kepastian garis batas (delimitasi dan demarkasi), pertahanan dan keamanan, kedaulatan, ketersediaan infrastruktur, pergerakan lintas batas, dan kelembagaan, serta kesejahteraan penduduk.
Secara garis besar, karakteristik kawasan perbatasan meliputi, pertama, karakteristik fisik dan infrastruktur yang sangat terbatas (masalah garis batas, berada di pedalaman, sarana-prasarana terbatas, pos pengawas lintas batas dan custom, immigration, quarantine, security/CIQS belum lengkap). Kedua, karakteristik permukiman penduduk yang jarang dan tidak merata, kualitas relatif rendah, angka kematian tinggi, secara etnis memiliki hubungan kekeluargaan dengan saudara di negara tetangga. Ketiga, karakteristik ekonomi (ada kesenjangan sehingga memberi peluang arus barang dan jasa baik legal maupun ilegal). Keempat, karakteristik sumber daya alam (pengelolaan SDA kurang terkendali, terutama eksploitasi sumber daya laut secara legal/ilegal). Kelima, karakteristik pertahanan: penduduk mudah terprovokasi isu pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, rawan ancaman langsung dari luar, sistem informasi dan komunikasi lemah, serta lemahnya pengawasan karena pos-pos TNI dan pos lintas batas kurang memadai.
Konsep pengembangan
Pengembangan kawasan perbatasan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu kesejahteraan/prosperity (peningkatan kesejahteraan dan ketahanan), keamanan/security (menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI melalui pertahanan dan pengamanan teritorial wilayah perbatasan), serta environment (berwawasan lingkungan sekaligus berkelanjutan). Penanganan kawasan perbatasan tidak bisa mengandalkan pendekatan pertahanan teritorial semata. Pertahanan fungsional berupa pemberdayaan ekonomi dan pendekatan sosial budaya akan membuat ketahanan kawasan lebih efektif.
Infrastruktur yang dibangun mestinya mendukung semua aspek yang terkait dengan karakteristik ekonomi wilayah tanpa mengabaikan aspek lingkungan. Sektor perikanan, perkebunan, industri, perdagangan, dan pari- wisata merupakan potensi penggerak utama pengembangan ekonomi perbatasan. Karena itu, dalam rencana tata ruang perlu dialokasikan zona-zona untuk mendukung aktivitas sektor itu. Di sini diperlukan peran pemerintah yang lebih dominan mengingat daerah perbatasan sering kali kurang diminati investor.
Percepatan pembangunan
Percepatan kemajuan pembangunan wilayah perbatasan bisa ditempuh melalui pengembangan kawasan produksi, dengan membuka akses dari kawasan perbatasan ke sumber bahan baku setempat, meningkatkan kapasitas masyarakat melalui integrasi jaringan komunikasi dan transportasi sebagai penggerak ekonomi lokal, pengembangan pusat pertumbuhan wilayah melalui kerja sama ekonomi dan pengembangan kawasan perbatasan, seperti dengan negara bagian Sabah dan Serawak di Kalimantan, serta dengan membentuk zona perdagangan internasional.
Pada tingkatan kota di kawasan perbatasan perlu dirumuskan beberapa hal. Pertama, alokasi ruang untuk pusat promosi, investasi, kawasan komersial, perkantoran, termasuk fasilitas untuk kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan, dan pertahanan (CIQS), serta permukiman. Kedua, infrastruktur (detail kota). Ketiga, fasilitas perkotaan. Keempat, estetika kota perbatasan sebagai etalase negara. Kelima, tata bangunan dan lingkungan.
Pada tingkatan kawasan ekonomi perlu dirumuskan, pertama, penetapan komoditas atau produk unggulan ekspor ke negara tetangga, termasuk peluang investasi/pasar. Kedua, hubungan input-proses-output dari komoditas atau produk unggulan (kluster industri). Ketiga, alokasi ruang untuk kegiatan input-proses-output komoditas atau produk unggulan. Keempat, alokasi ruang permukiman dan perkotaan utama kawasan. Kelima, alokasi infrastruktur (detail kawasan). Keenam, tahapan pembangunan tahunan.
Reorientasi paradigma pembangunan untuk kawasan perbatasan dari semula hanya pada aspek keamanan memerlukan pengaturan tersendiri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis dalam struktur tata ruang kabupaten dan provinsi. Selanjutnya, langkah itu dapat diikuti dengan pembentukan badan pengelola sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi dalam operasionalisasi pembangunan di kawasan perbatasan tersebut.
Melalui langkah koordinasi yang terarah, optimalisasi, dan mobilisasi berbagai sumber dana, dan yang lebih penting, skenario pembagian peran antar-stakeholder yang jelas, diharapkan masyarakat di kawasan perbatasan mempunyai kebanggaan sebagai warga negara Indonesia karena taraf hidup mereka sejajar dengan masyarakat negara tetangga.
Bambang Susantono,
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia
Source : Kompas, Kamis, 8 Oktober 2009 | 02:42 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar