Senin, 16 Maret 2009

Opini Kompas Tentang Pemilu 2009

Tak Apatis, Pilih dengan Kritis

Oleh : Sutta Dharmasaputra

Tahun 1995, Marsani mulai berjualan es dawet di Senayan, tempat wakil rakyat bekerja. Saat itu Gedung Nusantara I yang menjulang tinggi belum berdiri. Kini ia masih setia berjualan. Bedanya, jika DPR sudah merencanakan menambah lagi gedung bergaya Arc de Triomphe di Paris seluas 100.000 meter persegi, Marsani masih berjualan di gerobak dorong butut berukuran 1,25 x 0,5 meter.

Marsani, sekitar 50 tahun, biasanya meletakkan gerobaknya disamping kanan luar Kafetaria Koperasi Pegawai Sekretariat Jenderal DPR. Ia tidak bisa menyewa gerai karena penghasilannya tidak mencukupi untuk itu. Guna melindungi dari sengatan panas dan terpaan hujan, ia cuma mengandalkan berteduh di rindangnya dedaunan pepohonan, payung warna-warni yang juga sudah bolong disana-sini, atau topi hitamnya yang sudah belel.

Ketika Jumat lalu ditemui dan ditanya soal Pemilu, tak heran Marsani hanya bisa tersenyum sinis. Baginya, ada atau tidak ada Pemilu sama saja. Setiap Pemilu, Marsani mengaku selalu datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mengambil surat suara, dan masuk ke bilik suara. Namun, kalau pemilih umumnya bisa berlama-lama di bilik suara, dia dalam hitungan detik sudah keluar. Surat suara sama sekali tidak dibuka, apalagi dicoblos, langsung dia masukan ke kotak suara.

Ngapain puyeng-puyeng. Gak ada untungnya,” ucapnya kepada Kompas sambil menyerut es meladeni seorang pembeli.

Ade (25) yang bekerja sehari-hari memperbaiki mesin pendingin (AC) di Gedung Nusantara I DPR juga pesimis.

“Kalau lagi benerin AC di ruangan, anggota DPR itu ngomong-nya sombong-sombong semua. Kecuali Mbah Tarjo, meskipun ngomong sama orang kecil, ramah, sopan,” ucapnya.

Ade tidak tahu harus memilih siapa di Pemilu 2009. Anggota DPR yang dia kenal sombong-sombong, yang belum dikenal pun tak tahu seperti apa sepak terjangnya. Satu-satunya yang membuat dirinya sedikit terhibur, banyak pejabat, termasuk anggota DPR yang korup, yang sudah masuk bui. ”Saya limayan seneng juga banyak yang sudah nyangkut. Kalau gak, uang negara habis saja sama mereka,” ujarnya.

Apatisme

Dalam diskusi terbatas Kompas, apatisme pemilih menjadi salah satu sorotan. Sesungguhnya, dalam proses penyusunan Undang-Undang Pemilu disadari adanya kondisi ketidaksukaan masyarakat yang sedemikian tinggi kepada partai politik atau politisi, karena sedemikian banyaknya citra negatif.

Secara sepintas, masyarakat sekarang umumnya masih dalam kondisi kebingungan. Pertama, kebingungan berkaitan dengan teknis Pemilu. Kedua, kebingungan untuk menentukan siapa yang akan dipilih dalam Pemilu.

Dalam simulasi di lapangan, banyak yang masih bertanya tentang cara pemberian suara yang benar, apakah mencoblos, mencontreng, atau melingkari. Penandaan yang benar juga apakah dilakukan satu kali atau dua kali.

Kerbingungan menentukan pilihan disebabkan dalam Pemilu 2009 kali ini sangat banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu. Dengan sendirinya, calon anggota legislatif (Caleg) pun menjadi sangat banyak.

Di pihak lain, sosialisasi Caleg kepada masyarakat sangat minim. Banyak Caleg memasang baliho atau iklan, tetapi mereka tidak cukup dikenal masyarakat di daerah pemilihannya, apalagi karyanya dalam memberdayakan masyarakat.

Belum lagi soal karut-marutnya pendaftaran pemilih. Di Jawa Timur ditemukan 230.000 pemilih yang tidak terdaftar. Di Yahukimo, Papua, ditemukan kelebihan 127.000 pemilih dengan alasan keliru memasukkan data.

Meski demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap optimis, KPU berkeyakinan, pemilih dalam Pemilu 2009 akan lebih meningkat daripada Pemilu 2004. Hal itu diindikasikan dengan adanya peningkatan jumlah pemilih terdaftar.

Pada Pemilu 2004, dari 214 juta penduduk Indonesia, yang terdaftar hanya 148 juta. Berarti, ada 66 juta penduduk yang tak memilih. Pada Pemilu 2009, berdasarkan data Departemen Dalam Negeri kepada KPU, hingga Agustus 2008, dari 232 juta penduduk, yang terdata sebanyak 147 juta. Berarti, hanya 61 juta warga yang tak memilih pada 2009, atau berkurang lima juta dari Pemilu 2004.

Untuk meningkatkan animo pemilih, KPU juga terus berupaya melakukan sosialisasi. Dengan anggaran sosialisasi yang terbatas, Rp 23 miliar, KPU akan menitikberatkan sosialisasi pada Panitia Pemilihan. Anggaran itu tak cukup bila digunakan untuk sosialisasi di media massa, terlebih di televisi.

Departemen Komunikasi dan Informatika juga mengimbau pengusaha seluler rutin mengirimkan pesan Pemilu kepada semua pemilik telepon genggam, sesuai dengan operatornya masing-masing.

Momentum Perubahan

Di tengah apatisme, yang kini perlu dilakukan adalah membangun upaya untuk menyadarkan masyarakat bahwa politisi itu tak semuanya buruk. Pemilu 2009 justru merupakan momentum terbaik bagi bangsa untuk melakukan perubahan.

Pemilih terpelajar, pemilih di perkotaan, atau yang memiliki akses informasi lebih baik semestinya tak lagi mengambil sikap apatis, tetapi justru membantu mendidik masyarakat untuk memilih secara kritis partai politik atau Caleg yang paling baik diantara semua calon yang ada.

Terlebih lagi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan ruang besar kepada pemilih untuk memilih langsung nama Caleg dalam Pemilu, bukan lagi memilih lambang partai. Dengan bersikap kritis dan tidak apatis, akan kian banyak Caleg berkualitas yang terpilih untuk duduk di DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun DPRD.

Dengan begitu, kita membantu Pemilu menjadi lebih berarti. Pemilu tak sekadar menghambur-hamburkan uang, tetapi benar-benar membawa perubahan yang lebih baik bagi seluruh rakyat. (Kompas, 10/3/2009). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar