Nurjanah Ubah menyelesaikan tenun ikat pesanan seragam kantor dinas setempat di Kecamatan Teluk Berlian, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Senin (23/11). Satu lembar kain diselesaikan selama dua minggu dan dijual dengan harga mulai dari Rp 350.000 per potong. (Kompas/Lucky Pransiska)***
KERUKUNAN WARGA
Toleransi pada Selembar Tenun Alor
Oleh Iwan Santosa dan Samuel Oktora
Menjelang senja di sudut kota Kalabahi, Pulau Alor, Mama Nurjanah Ubah (48) membetulkan jilbab lalu menarik mesin tenun, menjalin benang di atas sehelai kain Alor indah bermotif Salib Putih bertuliskan huruf GMIT.
Nurjanah, wanita asal Pulau Pantar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), bersama sembilan perempuan lain perajin tenun tradisional Alor sedang sibuk menyelesaikan tenunan yang akan dipakai para rohaniwan dan penatua Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). ”Ini pesanan kain tenun untuk GMIT. Sudah sering saya buat bersama teman-teman. Waktu sidang Sinode GMIT, kelompok kita juga dipercaya membuat tenunan yang dipakai para pendeta,” kata Nurjanah.
Kelompok-kelompok perajin tenun yang ada di Alor selama ini menghimpun para mama Nasrani dan Muslim untuk bekerja bersama menambah penghasilan keluarga. Tenun Alor yang menjadi pemersatu warga mulai bangkit kembali sejak sepuluh tahun terakhir semasa kepemimpinan Bupati Ans Takalapeta (1998-2008).
Di sekeliling rumah Nurjanah, warga Muslim dan Nasrani tinggal bersebelahan. Tidak ada sesuatu yang ganjil atau patut dipermasalahkan bagi mereka atas warna-warni kehidupan di Pulau Alor.
Buat warga Alor, perbedaan agama tidak pernah menjadi persoalan. Warga pantai di sebelah barat Alor yang umumnya Muslim dan warga di timur dan Pegunungan Alor yang Nasrani adalah satu saudara. Identitas bersama sebagai orang Alor meleburkan perbedaan keyakinan.
”Orang gunung dan orang pantai itu saudara. Kami di Pulau Pantar menghargai perbedaan dan tetap bersaudara,” kata Dursila Polinggomang, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Alor, yang berasal dari Pulau Pantar.
Menurut Dursila, saat misi Gereja dan dakwah Islam berkembang di Pulau Pantar, para tetua mengimbau agar di dalam satu keluarga ada yang menganut Islam dan Kristen. ”Toh semuanya untuk mengajarkan kebaikan bagi semua orang,” kata Dursila yang lahir dari keluarga pendeta.
Di Kalabahi, gereja dan masjid leluasa didirikan. Menjelang Idul Adha pun malam takbiran berlangsung leluasa, Kamis malam (26/11).
”Kita juga angkat bela (angkat saudara) dengan warga pendatang dari pulau lain seperti Lomblen atau Adonara,” kata Nurjanah. Angkat bela atau dikenal di Ambon sebagai Pela Gandong membuat dua kelompok menjadi satu darah.
Pada masa lalu, ujar Nurjanah, upacara dilakukan dengan mencampurkan darah dalam satu mangkuk sebagai pengikat kekal persaudaraan warga dari kelompok yang berbeda menjadi satu keluarga besar.
Kebersamaan itu menyebar di seluruh Pulau Alor. Di Kolana, Kecamatan Alor Timur, yang menjadi salah satu pusat komunitas Kristen dan Kerajaan Kolana pada masa lalu, toleransi juga berkembang. Salah satu keluarga Raja Kolana ada yang menganut Islam. Beberapa warga Kolana juga kawin-mawin dengan warga Timor Leste yang beragama Katolik Roma.
”Keluarga mertua perempuan saya asli Timor Leste. Di sebelah barat Dili hingga kini masih ada permukiman warga asal Kolana. Mereka hidup rukun dengan warga asli Timor Leste,” kata John Karibera (47), warga Kolana, yang lama tinggal di Dili hingga penentuan pendapat berakhir kerusuhan yang memaksa seluruh keluarganya mengungsi.
Wujud kebersamaan lain ditampilkan di Museum Daerah Alor di Jalan Diponegoro, Kalabahi. Dalam sebuah lemari, sebuah Alkitab tua berbahasa Belanda disandingkan dengan foto Al Quran tertua dari kulit kayu beserta perlengkapan keagamaan kuno lainnya dari India serta patung era Kerajaan Majapahit.
Rivai Panara, dan Since Retebana, pegawai museum setempat, fasih menceritakan sejarah Islam dan Kekristenan di Pulau Alor. Di dinding museum terpajang foto Raja Alor yang Muslim dan Nasrani berdampingan.
Di daerah Alor terdapat beberapa kerajaan yang kemudian dihapuskan pada tahun 1950-an setelah Republik Indonesia berdiri. Namun, secara informal, raja dan bangsawan masih menjadi bagian penting dari kehidupan lokal warga Alor.
Bupati Alor Simeon Tapali yang menerima rombongan Ekspedisi Garis Depan Nusantara dan Kompas, di Kalabahi, mengatakan, warga Alor hidup bersama dalam kedamaian. ”Ada sekitar 178.000 orang Alor yang hidup di sembilan dari 15 pulau yang ada di Pulau Alor. Toleransi beragama tumbuh secara alamiah di sini,” kata Tapali.
Di balik toleransi warga Alor, ada persoalan sosial yang menghantui, yakni tawuran pemuda antarkampung. ”Kebanyakan pemuda di kota yang sekolah tinggi justru menganggur. Sebagian besar pengin jadi pegawai pemerintah. Kalau ada seratus lowongan, ada seribu yang mendaftar. Akhirnya rasa kecewa sering muncul dalam bentuk tawuran,” ujar Christofel Karibuy, warga Alor.
Kerusuhan antarkampung itu mulai muncul dalam empat tahun terakhir dan kerap menelan korban. Kerusuhan itu hanya terjadi di seputar Kecamatan Mutiara di Kalabahi. Tidak pernah terjadi kerusuhan di kampung-kampung di Alor.
Menurut Simeon Tapali, pihaknya berupaya menciptakan program bantuan modal bagi pemuda di Kalabahi agar memiliki usaha sendiri sehingga tidak mudah tersulut kerusuhan.
Di dataran tinggi Alor di sekitar Desa Tanglapuy tersedia ribuan hektar lahan siap olah. ”Kalau mau kerja bertani dan beternak di desa sebetulnya masih gampang mencari uang di Alor,” kata Hizkia Lazay, seorang tetua warga Kalona.
Sejauh pengamatan Kompas, dataran tinggi Alor dengan ketinggian lebih dari 800 meter dari permukaan laut sangat sejuk dan subur. Perekonomian adalah kunci langgengnya kedamaian di Pulau Alor. Para mama telah merintisnya lewat usaha kain. Sehelai kain Alor seharga Rp 400.000, dan sarung Rp 250.000, cukup membuat mereka bertahan di masa paceklik musim kering yang mendera.
Seharusnya pemuda Alor di Kalabahi belajar dari toleransi dan lapangan kerja yang diciptakan para mama mereka yang rukun-bersatu dengan tekun menenun sehelai kain indah yang juga dipasarkan bersama. ***
Source : Kompas, Sabtu, 28 November 2009 | 03:05 WIB
No comments:
Post a Comment