Topeng Nusantara, Pergulatan dengan Roda Waktu
Seniman tari topeng Cirebon, Keni Arja, berlatih di sanggarnya di Desa Slangit, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, 11 Oktober. Para seniman tari topeng, salah satunya Keni Arja, masih berusaha melestarikan kesenian yang semakin ditinggalkan itu. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***
Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana
Nasib topeng yang jadi kekayaan peradaban Nusantara kini terimpit zaman. Topeng dan seni tarinya tak punya banyak pilihan lagi: bergeser mengikuti selera zaman atau mati berhenti dan terlupakan di roda waktu yang terus berlari.
Festival Topeng Nusantara, yang berlangsung Sabtu (16/10) di Cirebon dan Kuningan, Jawa Barat, adalah cermin bergesernya tradisi purba topeng dan tari topeng Nusantara. Sepanjang festival itu, topeng hadir dalam kemeriahan arak-arakan kesenian tradisional yang diikuti 1.000-an seniman dan rakyat. Topeng juga berusaha diabadikan dalam rekor Muri, membuat 5.031 topeng hanya dalam waktu lima jam (pukul 09.00-14.10).
Ratusan topeng, gambaran kekayaan peradaban Nusantara dari abad ke abad, juga diangkat sebagai sajian hiburan. Meski awalnya tari topeng sesungguhnya berkembang dan bagian dari wilayah abu-abu, pertemuan ritual kepercayaan dan seni tradisi. Dalam forum Cirebon itulah, sebagian darinya dijelmakan kembali jadi pergelaran penuh gebyar dan menghibur.
Tarian Rampak Klana dalam pembukaan Festival Topeng Nusantara di Gedung Negara, Sabtu pekan lalu di Cirebon, adalah contoh tari topeng yang menjadi tarian hiburan.
Di Kuningan, masih dalam rangkaian Festival Topeng Nusantara, tarian topeng Hudoq dari suku Dayak Kenyah dan Modang, Kalimantan Timur, mampu hadir sebagai hiburan dan memecah kesunyian di panggung puncak Festival Topeng Nusantara.
Menurut Wardiansyah, sesepuh suku Dayak Kenyah, para penari adalah media perantara roh-roh nenek moyang. Mereka datang untuk memberikan nasihat bertani kepada sang du- kun dan mengusir hama pertanian.
Wardiansyah, dukun dalam tarian itu, harus menata ulang tariannya. Jika lazimnya tarian ini melibatkan 13 penari topeng, kini cukup 6 penari topeng. Di panggung, proses komunikasi dengan arwah leluhur pun sebatas simbolik.
Sajian topeng panji pun begitu. Panji, menurut penari senior Cirebon, Keni Arja, dulunya dimainkan oleh penari dengan posisi membelakangi penonton. Penari dalam panji saat itu adalah simbol imam dan penonton adalah makmum atau pengikut. Penari panji akan menghadap kotak topeng yang dalam tarian adalah simbol alam semesta seisinya.
Sekarang, ketika panji naik ke panggung pertunjukan, posisi penari pun diubah menghadap penonton, memenuhi estetika pertunjukan.
Di daerah pesisir Indramayu dan Cirebon, pada dekade ini, tari panji bahkan tak populer lagi. Kalaupun ada tari panji, tarian dihadirkan hanya dalam waktu enam menit. Waktu sesingkat itu, bagi dalang topeng seperti Wangi Indriya, sangat tak cukup untuk menghidupkan panji, yang dipercaya memuat dengan filosofi tinggi.
Meski sanggup beradaptasi, ketika ditanggap, Wangi akan menawar jatah waktu pentas dan rangkaian gamelannya. Ia menolak jika harus menarikan tayub sesudahnya.
Pergeseran makna
Dalam buku Menusa Cirebon, Nurdin M Noer, budayawan Cirebon, menyebutkan, ada ajaran Islam dalam setiap gerak yang ditampilkan dalam tari topeng panji. Sunan Kalijaga-lah yang menyelipkannya sebagai bentuk tuntunan. Gerakan merentangkan tangan sepanjang pundak merupakan simbolisasi huruf Allah dalam tulisan arab. Gerakan itu juga diibaratkan sebagai bentuk kepasrahan kepada Ilahi. Ketika tarian tidak tampil utuh, pesan yang disampaikan akan susut, bahkan tak sampai. Pesan yang tak sampai bisa saja terjadi pada tarian lain yang semula adalah ritual.
Limbeng, etnomusikolog dari Sumatera Utara, mengatakan, pesan-pesan di balik tarian topeng, seperti gotong royong, tak lagi sampai. ”Dulu orang menari untuk mengingatkan agar bergotong royong karena setelah menari, mereka bekerja bersama. Seiring dengan waktu, tradisi itu mulai pudar,” kata Limbeng.
Endo Suanda, pengamat tari topeng dari Bandung, melihat pergeseran tradisi tak bisa dihindari. Ketika kini topeng dan tariannya lebih sering disajikan di panggung tontonan, artinya ada upaya penyesuaian dengan zaman. Tentu saja kemudian ada yang hilang dan ada adaptasi. ”Memang isi dari kekayaan topeng tak bisa terlihat sepenuhnya. Tapi, itu lebih baik daripada terlupakan,” kata Endo.
Iman Taufik, Pembina Yayasan Prima Adrian Tana yang menggagas festival itu, mengatakan, festival merupakan ajang memopulerkan kekayaan bangsa kepada publik nasional dan dunia.
Sebagaimana tema festival, ”Celebrating Our National Heritage”, festival ini sengaja merayakan perubahan itu....
Source : Kompas, Sabtu, 23 Oktober 2010 | 02:59 WIB
No comments:
Post a Comment