Friday, May 29, 2009

Pandangan Pengamat Militer soal Komponen Cadangan Pertahanan

Dandim 0616 Indramayu, Letkol Arh. Hindro Martono ketika memberikan materi penyegaran "Bela Negara".
Materi yang disampaikan Hindro Martono dalam acara copy morning "Silaturahmi Keluarga Besar TNI "
di Makodim 0616 Indramayu, Rabu (27/5). Yang diundang dalam acara tersebut Pengurus
Ormas PPM, FKPPI, LVRI, Angkatan '45, dan Pepabri.
(Foto: Satim)

OPINI

Catatan RUU

Komponen Cadangan Pertahanan

Oleh : EDY PRASETYONO

Saat ini DPR sedang membahas Ran­cangan Undang-Un­dang tentang Komponen Cadangan Pertahanan Ne­gara. RUU ini melahirkan beberapa kekhawatiran militerisasi masya-rakat sipil yang mengancam de­mokrasi. Pandangan kritis lain mengatakan, lebih baik membe­nahi kekuatan TNI daripada membuat komponen cadangan.

Praktik universal

Sulit mempertahankan argu­men bahwa komponen cadangan merupakan militerisasi masyara­kat dan mengancam demokrasi. Amerika Serikat mempunyai komponen cadangan melalui sis­tem wajib militer, seperti Singa­pura dan Korea Selatan. Sedang­kan kekuatan cadangan Inggris, Australia, dan Kanada dibentuk secara sukarela. Ada juga yang menerapkan sistem pendataan otomatis terhadap prajurit yang baru memasuki pensiun dan be­berapa profesi yang secara fisik dan kemampuan siap dipakai se­bagai komponen cadangan, seperti dilakukan Jepang. Jadi, se­cara umum, komponen cadangan adalah praktik universal.

Yang harus dipikirkan adalah bagaimana komponen cadangan dibentuk ? Dengan wajib militer, kekuatan cadangan reguler suka­rela, sistem registrasi otomatis aneka kekuatan yang sudah siap, atau penyiapan seluruh warga negara melakukan bela negara (kewajiban milisi) yang hanya bi­sa dikerahkan melalui keadaan darurat dan mobilisasi umum ?

Komponen cadangan merupa­kan kekuatan penting pertahan­an negara yang mempunyai tiga peran. Pertama, operasionalisasi sistem pertahanan semesta. Ke­dua, kekuatan penangkal (deter­rence). Ketiga, kerangka legal ke­wajiban bela negara (kewajiban milisi), terutama untuk mengha­dapi agresi militer dari luar. Perlu digaris bawahi, kewajiban bela negara dalam keadaan darurat perang berlaku di semua negara.

Isu-isu sensitif

Bagian paling sensitif dari RUU ini adalah Pasal 8 Ayat (l), "Pegawai negeri sipil, pekerja, dan/atau buruh yang telah me­menuhi persyaratan wajib men­jadi anggota komponen cadang­an". Persepsi yang muncul, wajib militer akan diberlakukan. RUU tentang ini tampak ragu, apakah yang dimaksud wajib militer ter­batas meski tidak eksplisit me­nyebut wajib militer. Sebagian berpendapat, ini bukan wajib mi­liter karena perekrutan, besaran, dan pengaktifan masa dinas aktif 30 hari per tahun dalam masa bakti lima tahun tidak lazim di­gunakan dalam wajib militer.

Isu sensitif lain adalah Pasal 14 Ayat (3), "Setiap pemilik, penge­lola, penanggung jawab sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana, dan prasarana nasional yang diperlukan dan telah dite­tapkan wajib menyerahkan pe­makaian sumber daya alam, sum­ber daya buatan, sarana, dan pra­sarana nasional, termasuk yang mengawaki yang berada di bawah kekuasaannya kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk guna dibentuk menjadi komponen ca­dangan".

Perlu ditegaskan, untuk sum­ber daya yang bukan milik nega­ra, dalam kondisi normal me­reka dan pemiliknya ada di luar kekuasaan negara. Para pemilik hanya wajib menyerahkan pema­kaian sumber daya saat negara menyatakan keadaan darurat dan mobilisasi. Identifikasi keperluan dan penetapan sumber daya un­tuk menjadi komponen cadangan tidak dilakukan dengan menye­rahkan pemakaian, tetapi melalui pembangunan infrastruktur. Pa­sal ini juga rancu dengan Pasal 25, bahwa dalam keadaan tidak aktif, meski sudah berstatus komponen cadangan, tetap ada di tangan pemilik.

Ketentuan tentang mobilisasi juga bermasalah. Pasal 4 menya­takan, komponen cadangan ha­nya digunakan saat latihan dan mobilisasi. Dalam RUU ini mo­bilisasi diartikan sebagai peng­gunaan semua sumber daya, sa­rana, dan prasarana sebagai ke­kuatan pertahanan negara. Da­lam pengertian ini, seharusnya mobilisasi mensyaratkan pernya­taan keadaan darurat.

Untuk komponen cadangan manusia, saat dalam masa dinas aktif dan terintegrasi pada matra masing-masing, pengerahan dan penggunaannya tidak melalui mobilisasi, tetapi Undang-Un­dang TNI. Sementara untuk non­manusia, penggunaan dalam si­tuasi normal melalui koordinasi dan integrasi kebijakan pemba­ngunan infrastruktur pertahan­an. Mereka hanya bisa diserah­kan kepada negara, dipakai seba­gai komponen cadangan hanya saat negara dalam keadaan da­rurat.


Dengan kompleksitas politik dan teknis itu, sebaiknya pem­bentukan komponen cadangan tidak diselenggarakan lewat sis­tem wajib militer, tetapi melalui sistem voluntary regular reserve force dengan kualifikasi seperti komponen utama, tetapi dengan masa dinas jauh lebih pendek.

Kekuatan itu ditopang sistem kewajiban bela negara (kewajib­an milisi). Secara operasional, ini bisa diwujudkan sejak dini dalam aneka kebijakan, program, dan bela negara. Sedangkan sumber daya lain dapat diarahkan untuk memberikan sumbangan bagi ke­pentingan pertahanan melalui aneka kebijakan pembangunan infrastruktur. Mereka bisa dise­rahkan pemakaiannya kepada negara hanya saat negara mela­kukan mobilisasi umum melalui pernyataan keadaan darurat.

EDY PRASETYONO

Dosen Jurusan Hubungan Internasional

Universitas Indonesia, Depok, Peneliti pada IODAS, Jakarta

Source : KOMPAS, Senin, 25 MEI 2009

Gambar : Dokumen Mahkamah Konstitusi

Illustrasi Foto-foto hasil jepretan Satim

2 comments:

  1. Merupakan pemikiran yang mantap, terimakasih

    ReplyDelete
  2. menwa
    tuh cocok dan pas utk mjd komponen cadangn negara yg intelekt
    lngsung angkt jdi perwira semua

    ReplyDelete