Oleh : Radhar Panca Dahana
Pada misi purbanya, kebudayaan sebenarnya tidak lebih dari usaha manusia untuk survive, mempertahankan diri (spesies)-nya. Pada masa kemudian, katakanlah di masa yang disebut modern, kebudayaan menjadi upaya manusia memuliakan dirinya, dengan kesadaran ia adalah spesies terunggul, setidaknya di Bumi.
Di kurun akhir ini, keunggulan spesies itu mengalami ujian amat berat, saat berbagai fenomena alam—juga rekayasa kebudayaannya sendiri—menunjukkan indikasi teruji akan adanya semacam big bang baru yang berpotensi memusnahkan hingga 75 persen populasi dan hampir seluruh harta peradabannya. Tampaknya misi kebudayaan, dalam jangka dekat, tak tertolak akan kembali pada kondisi Purbanya.
Dalam pemahaman ini, semua gerak, aktivitas, hingga ambisi hidup manusia tak terhindarkan dari kewajiban untuk mempertimbangkan kerja-kerja kebudayaan. Kerja yang memberinya dasar eksistensial dan orientasi hasilnya. Namun, kesadaran atau obligasi peradaban ini, malangnya, belum mengisi alam kognisi kita, terutama para elite di segala dimensi; pihak yang sebenarnya menentukan kerja-kerja itu.
Di bagian politik, para penguasa atau pemimpin bangsa tampaknya kewalahan sekadar untuk menjelaskan pemahaman yang cukup komprehensif tentang hal itu. Terlebih saat mereka harus mengelaborasinya ke dalam sebuah strategi (kebudayaan) atau program-program konkret yang harus dilakukan. Dialog yang terjadi antara para budayawan dengan para calon presiden dan calon wakil presiden di Jakarta beberapa waktu lalu melukiskan kenyataan itu.
Kebudayaan lebih dipahami hanya sebagai sebuah kompleks pernyataan dan produk yang dapat teramati, bahkan terukur, baik dalam produk keras maupun lunak. Kebudayaan sebagai karya seni adalah bias pemahaman utama. Lebih jauh kebudayaan terkoleksi dalam bentuk bangunan, artefak, ilmu, syariat agama, atau teknologi. Dengan kata lain, kebudayaan mengalami materialisasi hingga ke tempatnya yang paling sempit: komodifikasi. Satu bentuk apresiasi kasar yang menempatkan kekuasaan lebih sebagai perangkat yang dapat dikooptasi atau diperalat untuk meneguhkan kekuasaan.
Kebudayaan dalam pemaknaan seperti ini sebenarnya tidak lebih dari cara mengerikan yang pernah dilakukan rezim Soeharto, yakni saat seluruh ekspresi dan produksi kultural kita dibakukan sekaligus dibekukan hanya untuk etalase kegenitan yang didistribusi secara murah meriah mengelilingi pentas-pentas selebratif ke penjuru dunia. Kita pun mafhum, kebudayaan dalam gerak dan apresiasi itu sebenarnya sudah teperdaya. Kebudayaan adalah hidup yang sudah menjadi mayat, menjadi zombi.
Kebudayaan proses
Hal yang lebih substansial namun dilenakan oleh para pelaku kekuasaan ada di wilayah di mana kebudayaan menjalani geraknya yang paling dinamis: proses. Wilayah di mana semua kerja budaya masih ada dalam tahap pencarian, pertukaran, penemuan, dan pembentukan. Tahap yang masih bersifat abstrak, dan kalaupun ada output-nya, ia masih berupa kode-kode atau simbol-simbol dasar.
Dalam tahap atau ruang ini, yang dapat dilakukan—oleh siapa pun—tidak lain adalah keterlibatan. Sikap apresiatif yang berjarak, bahkan menjadi penonton, lebih- lebih bermaksud memperalat atau memperdayanya, akan membuat kerja dan produk kebudayaan itu sendiri menjadi berjarak, bahkan teralienasi dari realitas diri sang apresiator/penonton/pemerdaya.
Maka, sebuah kerja kebudayaan yang sifat dasarnya adalah imanen dan semesta—bagi seluruh manusia yang dilingkupi maupun melingkupinya—sewajarnya menyertakan semua elemen kerja dari sebuah bangsa, termasuk dari para penyelenggara negara. Penafian afirmasi historis itu justru akan membuat negara terasing dari kerja sejarah ini; merendahkan bahkan melumpuhkan kemampuan atau potensi-potensi terbaiknya.
Wajar dan alami pula karenanya bila pemerintah atau penguasa (politik, ekonomi, dan sebagainya) turut berupaya agar proses kebudayaan dapat berlangsung dengan caranya yang terbaik. Cara yang sebenarnya sudah diwariskan oleh bangsa- bangsa di nusantara ini, yang sudah memiliki kurun—menurut banyak catatan—lebih dari dua milenia.
Dalam arti ini, adalah obligasi alamiah bagi pemerintah untuk melengkapi proses itu dengan infrastruktur kebudayaan (kesenian tentu di dalamnya) yang mencukupi, ruang ekspresi yang kondusif, apresiasi (hingga ke tingkat penghargaan material) yang sepadan pada karya/produk maupun pelaku/produsennya, dan seterusnya. Dan akan menjadi hal progresif bila mereka terlibat langsung dalam proses itu, menggunakan atau mengekspresikan diri lewat simbol-simbol artistik yang dihasilkannya.
Penafian atau penegasian atas obligasi—yang sebenarnya konstitusional—ini tidak hanya memberi ancaman bagi pemerintah itu sendiri (bukan semacam ancaman konyol yang dianggap berasal dari seniman, misalnya), tetapi juga menjadi sumber kecemasan bagi cara hidup kita sebagai bangsa. Penempatan yang dominatif dari satu sektor pembangunan, katakan ekonomi, adalah jalan terbaik untuk terjadinya hal itu.
Senyum itu
Melalui adagium klasiknya yang menyatakan: ekonomi lebih dulu dicukupkan sebelum kebudayaan digenapkan, sektor ekonomi sebenarnya sejak lama menjebak negara-negara ketiga (berkembang) dalam krisis yang berulang. Sementara realitas hidup berbudaya kita yang cukup panjang mengajarkan sebuah fakta: kebahagiaan—juga sebagai akhir perjuangan ekonomi, di antaranya—tidaklah semata karena limpahan harta.
Bagaimana hidup dapat tersenyum dalam pundi-pundi yang disimpan kecemasan dari kekikiran bahkan kedustaan koruptif ? Tidakkah senyum itu dapat timbul saat kita leluasa beraktualisasi, menjalankan ritus mental-intelektual-spiritual, yang disediakan antara lain oleh agama, adat, dan seni ? Meski hanya sekadar nasi-ikan-sambal di piring makan siang, atau pondok, TV 14 inci, dan sepeda motor cicilan kita miliki ?
Apakah petani, buruh, guru, seniman, siapa pun dari mayoritas bangsa ini harus didera dan dihela oleh nafsu jadi kaya raya, jadi orang yang punya kuasa pada orang lain (lebih dari diri sendiri)? Saya kira, rakyat banyak itu tak membutuhkan siksa ideologi ekonomi semacam itu. Apa yang lebih mereka, kita, butuhkan adalah sebuah senyum di bibir kehidupan kita.
Di manakah senyum itu, di bibir kehidupanmu?
Radhar Panca Dahana,
Sastrawan; Tinggal di Tangerang
KOMPAS, Sabtu, 6 Juni 2009 | 03:10 WIB. Illustrasi : www.arkib.gov.my
Aksi Penambangan Pasir di Indramayu Bagian Barat
Eksavator Gerogoti Pegunungan Cikawung
*) Warga Desa Cikawung Terancam Bencana
Penderitaan bekas kawasan hutan jati tak hanya berhenti sampai disitu. Sekarang, sudah jatinya sirna malah akan bertambah parah lagi. Lantaran, masih ada gerakan yang cenderung bakal memporak-porandakan daerah tersebut oleh warganya yang dilakukan bersama-sama, yakni dengan melakukan pengerukan pasir (atau yang lebih ngetrend dijuluki Galian C) yang diduga tak terkedali, bahkan cenderung mengancam kawasan hutan lindung berikut pemukiman penduduk sekitarnya, hanya karena memburu pasir-pasir yang bisa dijadikan lahan kehidupan sebagian warga di sana.
Galian C atau Pengerukan Pasir yang dinilai paling bagus di Asia, ada di gunung kecil atau yang lazim dikenal pegunungan batas Desa Cikawung, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu yang berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Namun kini, kawasan itu menjadi rebutan bagi para bos-bos yang berkantung tebal untuk mengeruk kekayaan dari daerah itu. Besok atau lusa, boleh jadi Desa Cikawung hanya meninggalkan kenangan masa indah yang kelam ditelan kerakusan zaman yang diduga oleh warganya sendiri, sementara yang menikmati hasilnya dan berubah menjadi orang kara raya hanya segelinitir saja.
Luasnya Ratusan Hektar
Luasnya kawasan pegunungan Cikawung yang menjadi batas Kabupaten Indramayu- Kabupaten Sumedang, tampaknya lebih dari ratusan hektar. Gunung kecil itu, kini diketahui menjadi sumber pasir dan sudah berjalan sekitar dua tahun dijadikan ladang Galian C.
Wrga yang pertama menunggu penambangan pasir di kawasan itu, kini sudah menjadi bos di Desa Cikawung. Karena Engkar (50), Maman (42), dan Oyo (45) satu keluarga dan bersaudara yang asalnya mengupayakan mencari pemodal untuk membiayai pengerukan pasir di Cikawung itu.
Maman menceritakan kisah awalnya, bahwa Engkar membawa bos dari Bandung. Dari tahun 2008 lalu sudah memodali pengerukan pasir di Kampung Cijati Desa Cikawung. Sedangkan Maman membawa pemodal dari Cirebon, dan Oyo berhasil menggandeng bos dari Kabupaten Sumedang.
Setelah mereka bertiga sama-sama memperoleh bos, lalu mengupayakan perizinannya ke Kota Indramayu. Diantaranya, menemui Perum Perhutani sebagai penangung jawab wilayah hutan. Lalu ke Pemda Indramayu yang punya wilayah sepengetahuan Kuwu (Kepala Desa) Cikawung dan Camat Terisi.
Maman menceritakan, bahwa dirinya sudah berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan, Dinas Perijinan dan Dipenda yang punya restribusi. “Artinya kami sebagai orang yang di depan mengupayakan usaha galian pasir ini, bukan sekedar mengambil hasilnya untuk kepentingan sendiri. Namun Anda juga tahu, setiap hari ratusan mobil truk meramaikan Desa Cikawung Blok Cijati, Siputat, dan Cibayak. Tiap mobil truk bayarnya Rp 330 ribu. Uangnya untuk biaya operasional, lebihnya sebagai keuntungan usaha pemodal dan bayar retribusi kepada Dipenda, Perum Perhutani, dan biaya keamanan, serta biaya lain-lain uga sejen-sejene,” ucap Maman.
Lain lagi seperti yang dituturkan Enggar. Dia memberi keterangan di Keker , bahwa dulunya sumber kehidupan masyarakat Cikawung Blok Cijati, Ciputat, dan Cibayak itu aslinya dari kayu jati sebagai sumber penghasilannya.
Meski galian pasir itu telah mengancam keselamatan hidupnya, namun hingga kini masih dijadikan andalan penghasilan bagi sebagian warga di sana, walaupun sebagai tukang korek pasir. Padahal, penghasilannya tak seberapa.
Warga di Cikawung pun, kini tampaknya tengah berhadapan dengan kenyataan hidupnya dalam dua sisi yang bersebarangan. Memilih jadi “kuli” korek pasir, di luar sebagai buruh tani, atau lebih memilih mereboisasi hutan jati yang dulu telah menghidupinya selama berabad-abad silam ?
Pasalnya, jika pengerukan pasir di alas kawasan Cikamurang Desa Cikawung digali terus menerus-menerus dengan alat berat jenis eksavator, cepat atau lambat terancam bencana alam, karena tanggul Sungai Cipanas terancam bobol dan menimbulkan banjir yang lebih parah. Selain bakal menenggelamkan wilayah Kecamatan Terisi, luapan air bah Sungai Cipanas itu pun mengancam keselamatan penduduk di wilayah Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. (Mas Noors)***
Source : KeKer, Juni 2009. Illustrasi : dwiayuni.files.wordpress.com
Deklarasi "Komitmen Moral" Polisi
Banyak Polisi Tak Profesional
BANDUNG – Kapolda Jabar Inspektur Jenderal Timur Pradopo mengatakan, hingga saat ini masih banyak polisi yang tidak profesional. Ketidakprofesionalan tersebut terlihat dari sikap dan perilaku polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Demikian disampaikan Timur Pradopo pada apel pembacaan “Komitmen Moral” dalam rangka reformasi birokrasi Polri di jajaran Polda Jabar, di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno-Hatta, Kota bandung, Selasa (9/6).
“Perilaku-perilaku seperti itulah yang menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi. Akibatnya, polisi semakin dijauhi dan dibenci masyarakat,” kata Timur Pradopo.
Kapolda berharap, komitmen tersebut bisa menjadi gerakan moral untuk mereformasi diri. “Reformasi ini sebagai wujud pengabdian di dalam membangun polisi yang profesional, bermoral, bermartabat, modern, serta dipercaya masyarakat,” ujarnya.
Hasil Sarasehan
Komitmen yang dibacakan bersama itu, terdiri atas sembilan poin yang merupakan hasil rumusan Sarasehan Polri. Intinya adalah pisisi polisi sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat harus benar-benar terlihat dan terasa nyata di masyarakat.
“Sembilan poin komitmen moral ini merupakan kritalisasi nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, harus dipahami, dihayati, serta diamalkan secara konsisten dan berkelanjutan agar menumbuhkan dan meningkatkan integritas moral dalam pelaksanaan reformasi birokrasi polisi,” ujar Kapolda Jabar.
Timur menambahkan, tumbuhnya kesadaran agar mau berubah ke arah yang lebih baik akan menjadi modal utama dalam membangun citra polisi ke arah yang lebih positif. “Komitmen ini adalah kehendak seluruh jajaran Polri agar berperilaku lebih baik,” katanya.
Menurut Timur, polisi harus mau berubah ke arah yang lebih baik sebelum diubah oleh masyarakat. “Suka atau tidak suka, perubahan dilakukan secepatnya apabila tidak ingin tergilas perubahan. Hal yang harus diingat adalah polisi harus menjadi teladan. Untuk itu, harus ada mekanisme kontrol efektif agar proses enkulturasi polisi berjalan ideal,” katanya. (A-128) ***
Source : Pikiran Rakyat, Rabu (Wage) 10 Juni 2009. Illustrasi :www.polwilcirebon.lodaya.web.id
Cegah Monopoli, Tender Dipecah
BANDUNG – Untuk menghindari monopoli pemborong, Pemprov Jabar memecah proyek pengadaan buku gratis senilai Rp 270,3 miliar menjadi enam paket tender. Selian untuk menghindari praktik monopoli, pemecahan tender pengadaan buku itu juga untuk mempercepat proses realisasi distribusi buku gratis.
Data dari Kantor Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (LPSE) Jabar menunjukkan, Paket I senilai Rp 46,8 miliar, Paket II Rp 46,9 miliar, Paket III Rp 46,8 miliar, Paket IV Rp 44 miliar, Paket V Rp 42,7 miliar, dan Paket VI Rp 43,1 miliar.
Pada pekan ini, LPSE baru akan menetapkan pemenang tender Paket I dan V. Semester tender paket lainnya akan diselesaikan dalam bulan ini (Juni 2009-Red).
Menurut Sekretaris Pelaksana Harian LPSE Jabar, Ika Mardiah, seluruh tender proyek itu akan dirampungkan bulan ini. Dia mengatakan, buku yang akan dicetak itu didistribusikan bagi 5,2 juta murid SD/MI, 2,1 juta siswa SMP dan sederajat, serta 2,1 juta siswa SMA dan sederajat.
“Tidak ada kendala, mudah-mudahan segera rampung,” ujar Ika dalam siaran pers LPSE, Selasa (9/6).
Ika menyebutkan, dengan dibagi menjadi enam paket, pengerjaan proyek pengadaan buku itu bisa segera direalisasikan.
Anggota Komisi E DPRD Jabar, Ikhwan Fauzi, menyatakan, tender proyek buku gratis tidak boleh dijadikan ajang bancakan pemborong. Dia menegaskan, dalam proyek itu pun harus dihindari upaya monopoli pemenang tender.
“Baguslah kalau dipecah jadi enam paket,” ujar Ikhwan kepada wartawan di kantornya.
Namun, ujar Ikhwan, sekalipun dibagi menjadi enam paket, harus tetap diperhatikan indentitas pemenang keenam tender tersebut. Menurut dia, keenam pemborong yang memenangi tender tersebut harus berasal dari pemilik yang berbeda.
“Harus diperhatikan, bisa saja nama perusahaannya berbeda, namun pemiliknya sama,” kata Ikhwan.
Penyebaran buku gratis, kata Ikhwan, akan sangat membantu mengurangi beban orangtua siswa. Dia mengungkapkan, jual beli buku kerap dijadikan obyek bisnis oknum pengajar.
“Sekolah boleh gratis, tetapi biaya pembelian buku masih mencekik warga,” kata Ikhwan.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menargetkan, pada Agustus 2009, seluruh buku sudah bisa didistribusikan. Menurut dia, buku pelajaran itu akan dinikmati oleh siswa tahun ajaran 2009-2010. Dengan demikian, orangtua siswa tidak boleh lagi dibebani biaya pembelian buku mulai Agustus 2009.
“Kami mengawasi dengan ketat pendistribusiannya,” ujar Heryawan seusai Sidang Paripurna DPRD Jabar, Selasa (9/6). (A-132)***
Source : Pikiran Rakyat, Rabu (Wage) 10 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar