Kalpataru bagi Masyarakat Adat
Hutan lindung seluas 38.000 hektar selain menyimpan kekayaan alam penopang kultur suku Dayak Wehea sekaligus rumah bagi flora dan fauna, termasuk ratusan orangutan Kalimantan. Sementara itu, Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung berhasil menjaga kelestarian hutan adat Rimbo Tujuh Danau seluas 1.000 ha dengan kekayaan alamnya.
”Negeri ini patut berterima kasih kepada pejuang lingkungan,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pada penyerahan anugerah penghargaan lingkungan di Jakarta, Jumat (5/6).
Kalpataru diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara kepada 12 orang atau kelompok masyarakat, sedangkan Adipura dan Adiwiyata serta Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah diserahkan Menneg LH di tempat lain.
Di Istana Negara, dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup, Presiden mengatakan, upaya bersama menyelamatkan dan merehabilitasi lingkungan hidup selama ini belum cukup. ”Harus kita tingkatkan dan harus berbuat lebih banyak lagi,” ujarnya.
Untuk langkah bersama ke depan, Presiden menyebut empat langkah. Pertama merawat dan melestarikan lingkungan hidup yang masih ada. Kedua, yang sudah telanjur rusak diperbaiki dengan mengubah gaya hidup, mengeluarkan anggaran, kerja sama internasional, dan melibatkan teknologi. Ketiga, mengurangi emisi karbon dioksida. Keempat, kampanye penanaman dan pemeliharaan pohon.
Selain bagi masyarakat adat, Kalpataru diberikan bagi 10 individu dari Sumatera hingga Papua, serta Sulawesi Utara hingga Nusa Tenggara Barat. Mereka terpilih melalui seleksi dari tingkat kelurahan hingga nasional.
Di Papua, peladang di pedalaman Fakfak, Papua Barat, tekun mengembangkan lahan dari 5 ha menjadi 55 ha selama 20 tahun. Puluhan ribu tanaman kayu dan buah bernilai ekonomi tinggi ditanamnya hingga mampu menyekolahkan kedua anaknya di jenjang perguruan tinggi.
Penganugerahan lingkungan diwarnai pembacaan Deklarasi Kalpataru yang dibacakan peraih Kalpataru tahun 1998, Eko Budiharjo, didampingi 40 tokoh peraih Kalpataru. Mereka risau dan prihatin terhadap kecenderungan bunuh diri ekologis.
Pada Jumat siang diserahkan pula Adipura bagi kota terbersih dan memiliki ruang terbuka hijau serta Adiwiyata bagi sekolah ramah lingkungan.
Tahun ini Adipura diberikan kepada 126 kota dari 375 kota yang dipantau tiga kali setahun. ”Jumlah kota penerima meningkat 8 persen, tetapi ada sembilan kota yang gagal menerima lagi,” kata Deputi II Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Gempur Adnan.
Tahun 2010, aspek penilaian Adipura akan ditambah dengan mempertimbangkan faktor kebersihan udara kota.
Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra, mewakili penerima Adipura, mengakui bahwa penghargaan itu bergengsi bagi daerah. Karena itu, kepala daerah berlomba-lomba meraih lalu mengaraknya ramai-ramai di kotanya.
Timotius Hindom (49)
Victor Emanuel Raiyon (51)
Tsunami tahun 1992 di pantai utara Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, justru membuatnya bertekad memperbaiki kawasan pesisir. Ribuan bakau ditanam di lahan seluas 55 ha. Bersama keluarga ia setia menanam hingga dijuluki orang gila. Kini, udang, kepiting, biawak, kera, dan burung hidup di hutan bakau itu.
Anyie Apuy (Kepala Adat Besar Hulu Bahau)
Menjaga hutan lindung Tana Ulen seluas 11.000 ha di Desa Long Alango, Malinau, Kalimantan Timur. Sejak tahun 1901, hutan lindung terjaga hingga menyediakan air warga. Kini, hutan menjadi tempat belajar dan model pengelolaan berkelanjutan.
Alexander Ketaren (59)
Warga Jalan Kamboja, Tanjung Rejo, kota Medan, Sumatera Utara. Ia membangun hutan kota dengan menanam bibit di lahan miliknya seluas 580 ha di pinggiran Kota Medan.
Kasmir Gindo Sutan (55)
Warga Padang Laweh, Tanah datar, Sumatera Barat, dikenal sebagai tokoh di balik hutan ulayat Patah Gigi seluas 1.000 ha. Hutan itu penting bagi kelangsungan Danau Singkarak dan Pembangkit Listrik Tenaga Air Singkarak.
Pengabdi Lingkungan :
Kadis SP
Petugas lapangan Kecamatan Gangga, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Selama 30 tahun ia memotivasi 46 kelompok tani menghijaukan lahan kritis milik anggota sebanyak 1.150 keluarga seluas sekitar 1.500 ha. Pendapatan warga pun meningkat.
Djoni (53)
PNS warga Flamboyan Baru, Kota Padang, Sumatera Barat. Puluhan tahun ia dedikasikan hidup bagi pertanian, khususnya organik. Ia memotivasi warga, turun ke lapangan, menyediakan pusat informasi, hingga mendirikan Institut Pertanian Organik.
Makaampo Ratundulange Madonsa (50)
Guru SMP Talaud, Tahuna, Sulawesi Utara. Ia tak hanya mengajar anak didik agar mencintai lingkungan, tetapi turun langsung menanam ribuan bakau menyelamatkan mata air. Ia juga menyebarkan bibit-bibit bakau di kawasan kepulauan di utara Provinsi Sulawesi Utara itu.
Pembina Lingkungan :
Irwansyah Idrus
Ketua RW di Petojo Utara, Jakarta Pusat. Ia gigih mengubah perilaku warga menjadi lebih bersih dan sehat melalui perbaikan sanitasi dan membangun sarana MCK, serta gerakan 3R sampah. Dapur umum dibangun memanfaatkan gas dan septic tank komunal yang mengurangi pencemaran air dan pemanasan global.
Imdaad Hamid
Wali Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Kebijakannya melindungi kawasan hutan Sungai Wain seluas 9.782 ha turut menjaga ketersediaan air warga. Daerah Aliran Sungai Manggar 4.944 ha pun dilestarikan serta rehabilitasi 600 ha lahan kritis dengan membangun hutan kota seluas 7.612 ha.
Penyelamat Lingkungan :
Lembaga Adat Dayak Wehea, Kecamatan Muara Wahau. Kutai Timur, Kalimatan Timur. Hutan lindung seluas 38.000 ha yang menjadi habitat flora dan fauna terjaga oleh adat.
Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung, Siak Hulu, Kampar, Riau. Hukum adat melestarikan hutan Rimbo Tujuh Danau seluas 1.000 ha, habitat aneka flora dan fauna khas. (GSA) ***
Source : Kompas, Sabtu, 6 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar