Aksi saling lempar batu saat bentrok antara warga dengan Satpol PP yang berupaya membongkar gapura kompleks makam Mbah Prouk di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4/2010). Bentrokan ini mengakibatkan sedikitnya 100 orang terluka dan belasan kendaraan roda dua dan empat dibakar massa. (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)***
Kompas Images, Rabu, 14 April 2010 | 21:35
Fenomena Kolonialisme Pemda
Oleh ASMADJI AS MUCHTAR
Pada zaman merdeka dan damai seperti sekarang, menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia lebih nyaman dibanding menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja sebab menjadi anggota TNI nyaris mustahil berhadapan dengan rakyat sendiri.
Sebaliknya, menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sangat mungkin sering berhadapan dengan rakyat. ”Berhadapan” berarti berperang atau saling membantai. Artinya, setiap anggota Satpol PP sewaktu-waktu harus bersedia mengalami cedera atau bahkan tewas ketika menjalankan tugasnya.
Begitulah. Dua paragraf di atas dikutip dari perbincangan rakyat di warung kopi sambil menyaksikan tayangan berita kerusuhan di Koja, Tanjung Priok, Rabu (14/4) hingga dini hari kemarin, yang menelan banyak korban.
Seperti penjajah
Tragedi demi tragedi maut seperti kerusuhan di Tanjung Priok sangat mungkin akan sering terjadi di banyak daerah karena banyak pemerintah daerah (pemda) pada zaman merdeka ini justru sering tampil seperti penjajah.
Dengan berpijak pada regulasi yang dibuat sendiri, pemda bisa semena-mena merampas tanah milik rakyat untuk kepentingan pembangunan. Disebut merampas karena cara-cara pembebasan tanah sering berlangsung kejam terhadap rakyat.
Dengan kata lain, penjajahan demi penjajahan yang dilakukan pemda terhadap rakyatnya sendiri pada era reformasi ini sering berlangsung masif dan didukung regulasi sehingga Satpol PP sebagai kaki tangan pemda seolah-olah hanya punya tugas untuk menghadapi rakyat yang berani melawan kebijakan pemda.
Di mata rakyat, Satpol PP dianggap sama dengan serdadu penjajah yang menakutkan, dan jika terpaksa rakyat akan melawan mati-matian. Semua rakyat di daerah bisa saja tiba-tiba dipaksa bersatu melawan Satpol PP yang brutal dalam menjalankan tugasnya.
Citra Satpol PP yang identik dengan serdadu penjajah di mata rakyat selayaknya segera disadari oleh semua penguasa daerah agar tragedi maut, seperti kerusuhan di Tanjung Priok, tidak terulang lagi.
Dengan kesadaran tersebut, penguasa di daerah mungkin bisa lebih cermat menghitung setiap risiko atas kebijakannya yang mungkin saja terbilang korup.
Setiap kebijakan pemda yang mengandung konflik kepentingan dan berisiko menimbulkan tragedi maut harus dianggap korup, dan jika kebijakan korup dipaksakan secara semena-mena, risikonya pasti akan membenturkan Satpol PP dengan rakyat.
Dalam skala mikro, pemda sering mengeluarkan kebijakan korup dengan bentuk penggusuran paksa terhadap permukiman warga yang dianggap liar.
Jika jumlah warga yang digusur hanya sedikit, penggusuran berlangsung lancar. Sebaliknya, jika jumlah warga yang digusur cukup banyak, mereka pasti akan melawan mati-matian. Pada titik ini, Satpol PP sering dipaksa untuk berhadapan dengan rakyat.
Padahal, jika pemda memang mengharapkan semua warga untuk taat terhadap aturan, seharusnya langsung menertibkan setiap bentuk pelanggaran. Misalnya, jika ada rakyat yang membangun permukiman liar di tempat milik pemda atau milik pihak lain segera dilakukan tindakan proporsional tanpa menunggu permukiman liar berkembang luas dengan banyak penghuni.
Dengan demikian, kebijakan pemda berupa penindakan-penindakan yang terlambat dan berisiko menelan banyak korban harus dianggap sebagai kebijakan korup. Dalam hal ini, semua pihak yang terlibat layak dihukum seadil-adilnya.
Kepentingan rakyat
Pada era otonomi seperti sekarang, pemda sering mengabaikan kepentingan rakyat terkait dengan pembangunan daerah. Padahal, setiap kampanye pemilihan kepala daerah, semua kandidat berjanji akan mengutamakan kepentingan rakyat.
Dalam praktiknya, jika pemda peduli kepentingan rakyat, sering memosisikan rakyat sebagai obyek atau konsumen. Misalnya, jika ingin membantu rakyat memperoleh tempat tinggal layak, pemda membangun rumah susun lalu dijual kepada rakyat dengan harga tinggi. Akibatnya, rumah susun yang seharusnya untuk rakyat miskin justru banyak dihuni oleh mereka yang tergolong tidak miskin.
Selain itu, pemda sering tidak bisa melihat kepentingan rakyat secara proporsional sehingga mengeluarkan kebijakan yang salah dan riskan. Misalnya, kepentingan rakyat yang bernilai sosial dianggap remeh oleh pemda. Atau, pemda membandingkan kepentingan sosial dengan kepentingan ekonomi, tetapi hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi.
Konkretnya, jika kepentingan ekonomi dianggap lebih menguntungkan, kepentingan sosial yang notabene kepentingan rakyat akan dikalahkan. Pada titik ini, pemda sering bertindak seperti penjajah sehingga rakyat sering terpaksa melawan mati-matian.
Kapan fenomena kolonialisme pemda demikian akan berubah?
ASMADJI AS MUCHTAR,
Doktor Dakwah dan Pembangunan Insan Universiti Malaya; Tinggal di Kudus
Source : Kompas, Jumat, 16 April 2010 | 04:50 WIB
No comments:
Post a Comment