10 Maret 2011
EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE
Konsep RSBI Tak Jelas
JAKARTA, EKSPEDISI HUMANIORA ONLINE - Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional yang dimulai sejak 2006. Karena konsepnya tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.
Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan.
Proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dalam kenyataannya menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas.
Demikian kesimpulan dari studi awal proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Tergabung dalam koalisi ini, antara lain, serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Secara terpisah, praktisi pendidikan Mochtar Buhori, Jumat (5/11/2010), mengatakan, konsep ”internasional” dalam RSBI tidak jelas. ”Standar internasional itu apanya? Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi alasan pembenar bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Ini keliru besar,” ujarnya.
Dana melimpah
Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, mengatakan, subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar per tahun. Namun, ironisnya, pemerintah menutup mata ketika sekolah melakukan pungutan tanpa batas kepada orangtua siswa.
Dari hasil penelitian Koalisi Pendidikan, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.
Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.
Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, menjelaskan, secara konsep, program RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Program RSBI tidak berkontribusi signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. ”Pemerintah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya dalam menyediakan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” kata Lody.
Secara teknis, program RSBI cenderung dipaksakan. Pelaksanaannya pun ”amatiran”, mulai dari sosialisasi, penentuan sekolah pelaksana, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas guru RSBI masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris.(ELN)***
Source : Kompas, Sabtu, 6 November 2010 | 03:00 WIB
Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda
Dapati Giawa
Sabtu, 6 November 2010 | 12:07 WIB
hentikanlah konsep dan istilah INTERNASIONAL untuk menjadi lebih baik dan berguna buat rakyat. Mulai dari sekolah, rumah sakit, dll. ga usah jadi istilah dalam standarisasi, yang penting tepat, berguna, efisien, melayanid engan sungguh.
Abadullah Basrie
Sabtu, 6 November 2010 | 08:17 WIB
inilah resikonya kalau pendidikan sudah dijadikan bisnis dan dikelola oleh orang pengusaha,pemerintah(DIKNAS) agar lebih ketat melakukan pengawasan terhadap RSBI,karena dengan adanya RSBI dunia pendidikan jadi diskriminatif,seolah-olah pendidikan hanya untuk orang berduit
ahmad abu darin
Sabtu, 6 November 2010 | 08:11 WIB
kalaupun tidak semua kebijakan pemerintah bisa dikatakan hanya mengambil ampas dari modernisasi setidaknya peraturan tentang RSBI menjadi salah satu indikasi kearah situ. proyek RSBI hanya mengedepankan bentuk , bukan esensi dari pendidikan.
maskuri maskuri
Sabtu, 6 November 2010 | 06:19 WIB
pemerintah nampaknya akan lebih mempertahankan kebijakan yang dianggap salah soal RSBI/SBI, dari pada mendengarkan saran dan masukan dari luar yang memang benar. Ini lebih karena mempertahankan popularitas dan rasa malu.
lindawati tanjung
Sabtu, 6 November 2010 | 04:29 WIB
inilah akibatnya kalau kebijakan pemerintah mengadopsi aspirasi kalangan pendidik yang berjiwa pengusaha....pendidikan menjadi sesuatu yang sulit dijangkau dan hanya untuk masyarakat yang berduit....akhirnya para "laskar pelangi" bukan hanya di daerah terpencil saja tapi sudah berada di kota.....beginilah nasib anak2 Indonesia yang kurang beruntung itu hanya bermimpi untuk mendapatkan walau hanya pendidikan dasar
No comments:
Post a Comment