Sabtu, 01 Mei 2010

Carpan, Maestro Topeng yang Terpinggirkan

CARPAN. (Foto : Her Suganda)***

Carpan, Maestro Topeng yang Terpinggirkan

OLEH HER SUGANDA

Di tengah suasana mistis yang diwarnai bau asap kemenyan di sekitar arena pagelaran, Mama Carpan melepas topeng tumenggung yang menutup wajah dan mahkota di kepalanya. Sebelum menginjak ke babak berikutnya, ia bersiap-siap memasuki adegan selanjutnya yang mirip dengan pemain sirkus atau kesenian tradisional lain.

Ia mengambil ancang-ancang naik ke seutas tambang sepanjang lima meter dan bergaris tengah tiga sentimeter yang direntangkan pada dua tiang atau pohon. Di atas rentangan tambang itu Carpan memperlihatkan kebolehannya.

Mula-mula ia bertahan pada kedua kaki yang dilipatkan sehingga tubuhnya bergelantungan dengan kepala ke bawah. Karena mirip dengan kebiasaan kalong, gerakannya itu dinamakan kalongan. Giliran berikutnya adalah menari di atas tambang sekitar dua meter di atas permukaan tanah.

Dalam rekaman keping VCD yang berdurasi selama setengah jam, Carpan masih tampak lincah walaupun usianya sudah lebih dari 60 tahun. Gerakannya tetap ringan kendati tidak selincah masa mudanya. Namun, dalam usianya yang tergolong tua, ia masih mampu berkonsentrasi menjaga keseimbangan tubuh. Dia tetap seimbang berada di atas rentangan tambang seraya menari-nari mengikuti iringan gamelan.

Salah satu atraksi dari pagelaran tarian topeng cibereng itu tidak akan dijumpai dalam tari topeng dari daerah lain di Indramayu ataupun Cirebon. Sekalipun masih berada dalam satu rumpun kesenian, topeng cibereng memiliki perbedaan mendasar. ”Banyak gerak tari kelompok topeng masih asli,” kata Carpan, dalang Topeng Cibereng ”Sekar Muda” itu.

Tarian pertama yang menggunakan topeng panji dilakukan dengan gerakan kaki yang kokoh. Carpan terdiam dalam konsentrasi penuh sehingga terasa menggetarkan. Urutan tarian pada babak-babak berikutnya hampir sama dengan tarian topeng lainnya. Namun, satu hal yang tidak dijumpai, gerakan tarinya terlihat bervariasi. Menurut Carpan, gerak tari topeng cibereng tidak mengalami variasi yang terpengaruh oleh tari kursus sebagaimana tari topeng di daerah lainnya.

Garis keturunan

Kesenian itu disebut topeng cibereng karena kesenian tradisional tersebut tumbuh dan bertahan di Desa Cibereng, Kecamatan Terisi, sebuah wilayah yang dikelilingi areal persawahan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sebagaimana kesenian tradisional lainnya, kesenian ini tumbuh dan tetap dipertahankan para pendukungnya yang setia.

Dalam silsilah dalang topeng tersebut, Carpan merupakan generasi ke-10. Mereka semua masih satu garis keturunan. Baik yang menyangkut hubungan keluarga sebagai ayah, paman, kakak, atau adik. Kakek, nenek, bahkan buyutnya merupakan dalang dan sekaligus pendiri topeng cibereng. Ia kemudian mewariskan kesenian tersebut kepada anak, cucu, bahkan cicitnya. Dengan rinci Carpan menyebut urutannya sejak Konjab, Kandra, Dawang, Bapak Kojat, Wartani, Maryan, Bi Warsih, Sawen, dan Noor.

Sebagai warisan leluhur, topeng cibereng bukan hanya merupakan kelompok kesenian semata. Kesenian topeng memiliki makna spiritual sehingga pelakunya harus menjalani ”laku” yang disyaratkan. Hingga kini, Carpan masih menjalani puasa selama seminggu dalam sebulan, hanya dengan makan nasi putih dan air putih.

Ia juga menempatkan benda-benda keseniannya di tempat yang terhormat. Di antara beberapa jenis topeng yang digunakan, dua di antaranya—topeng panji dan topeng tumenggung—menempati urutan paling tinggi karena merupakan warisan leluhurnya. Kedua topeng itu merupakan topeng pusaka sehingga tidak bisa digunakan oleh sembarang orang.

Menurut dia, umur topeng itu sudah lebih dari satu setengah abad. Walaupun warna kedua topeng tersebut sudah kusam dan terdapat cacat pada salah satu sisinya, Carpan tidak berani memperbaiki atau melapisi dengan cat baru. Kedua topeng itu dipercaya memiliki kekuatan magis sehingga jika digunakan bukan oleh ahli warisnya, akan mengakibatkan musibah.

Tidak sekolah

Dalang topeng merupakan tokoh utama dari kelompok kesenian yang dipimpinnya. Ia bukan hanya piawai di bidangnya sehingga disegani awak kesenian yang dipimpinnya. Pergulatan Carpan di atas panggung dengan topeng cibereng hampir menyita sepanjang usianya.

Anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah belajar menari topeng sejak umur 9 tahun. Mula-mula ia hanya mengikuti pertunjukan rombongan topeng yang dipimpin ayahnya dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan, kadang kala berminggu-minggu tidak pulang ke rumah.

Namun, karena kegiatan itu pula ia mengabaikan pendidikannya. Carpan mengaku tidak pernah menginjakkan kakinya di bangku sekolah. Walaupun tidak bisa membaca dan menulis, ia tidak merasa rendah. Sebaliknya, dia justru lebih bangga menjadi dalang topeng yang di kampungnya menyandang panggilan ”Mama”. Orang-orang memanggilnya Mama Carpan, sebuah julukan yang merujuk pada panggilan seseorang yang dituakan di bidangnya.

Carpan menjadi dalang topeng setelah Kojat, paman Carpan, meninggal dunia. Ia tampil bersama Sawen, adik kandungnya. Kakak-beradik ini sempat menikmati masa jaya pada era sebelum tahun 1990-an. ”Tiap hari hampir tak pernah kosong,” kenangnya.

Akan tetapi, sejak tahun 1993 kesempatan manggung-nya terus berkurang. Seperti dialami kesenian tradisional lainnya, satu per satu penduduk yang biasa menyelenggarakan pagelaran topeng di pesta atau hajatan mulai beralih ke organ tunggal. Organ tunggal dianggap memenuhi tuntutan hiburan masa kini, terutama kalangan muda. Topeng dan kesenian tradisional lainnya pun makin terpinggirkan.

Satu-satunya lahan yang masih tersisa untuk pagelaran topeng cibereng hanyalah pada saat ”Ngarot”, yakni upacara menyambut masa turun ke sawah yang rutin dilakukan setahun sekali di Desa Lelea. Lelea yang terletak di Kecamatan Cikedung merupakan tetangga Desa Cibereng, Kecamatan Trisi.

Dalam situasi kesenian tradisional yang tidak lagi mendukung kelangsungan ekonomi keluarganya, Carpan tidak mati semangat. Ia bercita-cita tetap mempertahankan kelangsungan topeng cibereng yang menjadi warisan leluhurnya. Untuk itu, ia sudah menyiapkan generasi baru yang diharapkan bisa menjadi penerusnya. (HER SUGANDA, Wartawan Tinggal di Bandung)

CARPAN ATAU MAMA CARPAN

• Umur: 60 tahun (perkiraan)

• Pekerjaan: Dalang Topeng ”Sekar Muda”, Desa Cibereng, Kecamatan Trisi,

Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

• Pendidikan: Tidak sekolah

• Istri: Carniti (meninggal tahun 2005)

• Penghargaan: - Penghargaan dari Bupati Indramayu H Irianto MS Syarifudin sebagai seniman koreografi yang secara konsistenmempertahankan kesenian khas Indramayu (7 Oktober 2004).

Source : Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010 | 03:40 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar