Sabtu, 01 Mei 2010

Menyusuri Istana Dua Naga

Bagian utama Istana Sayap Pelalawan yang merupakan tempat tinggal raja, Maret lalu. Bangunan induk ini diapit bangunan penunjang di kanan dan kirinya yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan kantor sultan sehingga istana disebut istana sayap. (KOMPAS/SRI REJEKI)***

BANGUNAN KUNO

Menyusuri Istana Dua Naga

OLEH SRI REJEKI

Jejak Kerajaan Pelalawan dimulai lebih dari enam abad lalu dan saling terkait dengan sejarah Kerajaan Singapura dan Malaka. Kisah dimulai saat Maharaja Indera pada tahun 1380 Masehi mendirikan Kerajaan Pekantua di tepi Sungai Pekantua, anak Sungai Kampar, yang sekarang masuk wilayah Provinsi Riau.

Maharaja Indera adalah bekas orang besar Kerajaan Temasek (Singapura). Kerajaan ini ditaklukkan Majapahit. Raja Temasek, Permaisura (Prameswara), mundur ke Tanah Semenanjung mendirikan Kerajaan Malaka.

Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1471), Malaka menundukkan Pekantua dan menempatkan Munawar Syah sebagai raja (1505-1511) yang kemudian mengganti nama kerajaan menjadi Pekantua Kampar. Di tengah pemerintahannya, Munawar Syah menyerahkan takhtanya kepada Sultan Mahmud Syah, Raja Malaka yang mundur ke Pekantua setelah dikalahkan Portugis pada tahun 1511.

Sultan Mahmud Syah hanya bertakhta dua tahun karena wafat dan digantikan anaknya, Sultan Alauddin Riayat Syah II. Namun Alauddin Riayat Syah II tidak lama. Alauddin Riayat Syah II justru pergi ke Tanah Semenanjung mendirikan Kerajaan Johor. Posisinya sebagai raja diserahkan kepada Mangkubumi Pekantua bernama Tun Perkasa (1530-1531).

Keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II lantas diminta kembali memimpin di Kerajaan Pekantua melalui kepemimpinan keluarga dekat cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II yang bernama Raja Abdullah yang kemudian bergelar Maharaja Dinda (1590-1630).

Dipindah

Pada tahun 1725, saat pemerintahan Maharaja Dinda II, pusat Kerajaan Pekantua Kampar dipindahkan dari Sungai Pekantua ke Sungai Rasau atau Sungai Pelalawan yang juga bermuara ke Sungai Kampar. Nama Kerajaan diubah menjadi Pelalawan. Istana Sayap Pelalawan didirikan pada masa pemerintahan Sultan Assyaidi Syarif Hasim (1892-1930). Raja Pelalawan terakhir, Sharif Harun Abdurrahman, naik takhta di bawah perwalian pada 1930. Namun, pada 1946, kekuasaan diserahkan kepada Republik Indonesia yang baru berdiri.

Tanda-tanda keberadaan Kerajaan Pelalawan kini dapat dilihat dari Istana Sayap Pelalawan yang berdiri megah. Istana yang berhias ukir-ukiran ornamen khas Melayu ini merupakan replika dari istana asli yang sudah runtuh. Istana di atas lahan seluas 2 hektar ini dibangun dari kayu punak yang diambilkan dari hutan rawa gambut yang mendominasi wilayah Kabupaten Pelalawan.

Proses rekonstruksi istana yang runtuh karena dimakan usia dimulai tahun 2003 dan selesai tahun 2009 itu menghabiskan Rp 10,3 miliar, yang menggunakan kayu sebagai bahan baku. Dana itu berasal dari dana corporate social responsibility pabrik bubur kertas dan kertas, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Namun, RAPP juga sempat mendapat protes karena menutup akses jalan ke Istana Sayap yang melewati kompleks pabrik RAPP sehingga menyebabkan jarak tempuh bertambah 10 kilometer.

Meski terkesan kosong, beberapa koleksi peninggalan keluarga Kerajaan Pelalawan mulai dipamerkan di berbagai sudut istana, di antaranya lambang kerajaan berupa dua naga yang berhadapan yang memangku tameng bergambar bulan dan bintang dengan puncak aksara Arab bertuliskan Muhammad.

Menurut Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pelalawan Ibrahim mengatakan, barang-barang itu ”ditebus” dari masyarakat karena sudah banyak yang menjadi koleksi pribadi. ”Itu baru sebagian kecil yang berhasil kami peroleh. Sekarang kami kesulitan. Mau melihat koleksi saja, masyarakat keberatan karena trauma akibat koleksinya pernah terbakar saat dipinjamkan di anjungan Riau di TMII,” kata Ibrahim awal Maret lalu.

Koleksi lain adalah berbagai senjata seperti keris dan tombak, perhiasan seperti ponding (kepala ikat pinggang), kotam dahi (mahkota), dokou (rantai bersusun pelengkap pakaian raja dan permaisuri), dan baju kebesaran raja. Di ruangan tolo, yang merupakan ruang penghubung menuju dapur, tersimpan anyaman sederhana dari rotan, seperti luka untuk mencari ikan dan tanggok untuk mengangkat barang. Foto-foto, piring porselen China dari beberapa dinasti, keker jalan buatan Jepang, meriam, dan gramofon juga tampak dipamerkan. Meriam ini pernah dicuri dan dipotong dua tetapi kemudian dikembalikan oleh pencurinya. Ada pula alat pintal dan tenun yang disimpan di lantai dua bangunan induk yang dulu biasa digunakan putri raja.

”Perempuan di desa ini dulu biasa menenun, sekarang tidak lagi. Hanya orang tua yang bisa. Itu pun sudah tidak ada alatnya,” kata Tengku Rahmatsyah, koordinator pengelola Istana Sayap Pelalawan yang masih keturunan salah satu raja Pelalawan.

Bangunan induk

Disebut Istana Sayap karena terdiri dari bangunan induk seluas 4.327 meter persegi yang berwarna kuning diapit dua bangunan penunjang di kanan dan kirinya yang berwarna hijau dengan luas masing-masing 103,5 meter persegi. Bangunan utama yang disokong empat tiang dan beratap limas disebut Balai Penghadapan, tempat tamu dan masyarakat menghadap raja. Dua bangunan lain adalah Balai Panca Persada dan Balai Rung Sari, tempat bermusyawarah dan memutus perkara menyangkut urusan masyarakat.

Pembangunan replika Istana Sayap Pelalawan berdasarkan foto istana yang tersimpan di sebuah museum di Belanda serta daya ingat tokoh masyarakat Pelalawan, T Said Umar, yang kemudian digambar oleh budayawan Tenas Effendy. Di dekat istana, terdapat tiga kompleks makam raja. Dua di antaranya harus ditempuh melalui Sungai Rasau dengan menumpang perahu cepat (speedboat) yang meluncur di atas air berwarna coklat pengaruh hutan gambut. Jika beruntung, perjalanan akan diwarnai dengan pemandangan menyaksikan kawanan burung kuntul, belibis, mentok rimba, atau kera.

Ibrahim mengatakan, untuk menambah daya tarik, menjelang bulan Ramadhan, yang jatuh bulan Agustus mendatang, akan digelar tradisi belimau sultan di tepi Sungai Kampar di depan kompleks istana. Di Jawa Tengah, tradisi belimau atau mandi untuk membersihkan diri menyambut bulan Ramadhan ini disebut padusan. Menurut Tengku Rahmatsyah, sebenarnya Desa Pelalawan memiliki beberapa ciri khas lain, seperti makanan dari sagu, permainan rakyat, dan pakaian. Sayangnya, potensi budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata ini belum tergarap.

”Jika datang pada saat lebaran, kita akan bisa menyaksikan permainan kedaro dari tempurung kelapa, pacu karung goni, gasing, dan pawai pakaian Melayu,” kata Tengku Rahmatsyah. ***

Source : Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010 | 03:31 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar