Minggu, 30 Mei 2010

Validitas Kurikulum Perlu Dicek Kembali

UJIAN NASIONAL

Validitas Kurikulum Perlu Dicek Kembali

JAKARTA - Persoalan penurunan tingkat kelulusan ujian nasional dan banyaknya siswa yang tidak mencapai standar minimal pada tahun ini harus dicek dari validitas kurikulum yang jadi acuan UN pada tahun ini.

Ahli evaluasi dari Universitas Pendidikan Indonesia, S Hamid Hasan, yang dihubungi pada Jumat (7/5) di Jakarta mengatakan, pembuatan soal mengacu pada kurikulum 1994 dan 2004 sehingga perlu dipastikan bahwa ada kesamaan materi yang didapat siswa dalam proses pembelajaran.

”Bagaimana kita bisa mengecek kesamaan materi. Masih banyak sekolah yang memakai kurikulum 1994,” kata Hamid.

Kemampuan menghafal

Selain itu, dalam tes obyektif seperti UN, konstruksi soal juga sangat memengaruhi keberhasilan siswa. Apalagi materi ujiannya lebih bersifat untuk mengetes pengetahuan dengan mengandalkan kemampuan menghafal siswa dari pelajaran di kelas satu hingga tingkat akhir.

Selain itu soal-soal juga tidak boleh multitafsir atau multimakna. Namun, kenyataannya, banyak keluhan mengenai soal-soal UN yang dinilai mengecoh siswa.

Jajang Priatna, Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, mengatakan, para guru sendiri terkadang merasa memiliki jawaban yang berbeda dengan jawaban milik pemerintah. Namun, setiap kali pelaksanaan UN, kunci jawaban resmi tidak dibuka kepada guru.

”Kan, bisa jadi acuan untuk memastikan kebenaran jawaban. Bisa saja terjadi argumentasi yang berbeda. Tetapi, ini kan dalam rangka untuk kepentingan siswa ke depan agar mereka jangan dirugikan,” kata Jajang.

Rektor Universitas Negeri Jakarta Bedjo Sujanto mengatakan, penurunan tingkat kelulusan bisa juga karena soal UN tahun ini lebih tinggi kualitasnya. Jika banyak siswa belum bisa mencapai standar, tentu harus dievaluasi di mana letak kekurangan pembelajaran pada siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda Harimurti yang mengatakan banyak siswa gagal di mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika, juga menilai soal-soal UN sulit dan tidak kontekstual sehingga menyulitkan.

Sekitar 50 persen siswa di Kota Samarinda tidak lulus. Harimurti menyatakan kekecewaannya. ”Saya cukup yakin bahwa inilah potret sesungguhnya kemampuan para siswa di Samarinda untuk UN,” ujarnya. Ia mengatakan, kegagalan ini bisa jadi akibat ketidakmampuan guru, lemahnya manajemen sekolah, dan tingginya tingkat kesulitan soal.

Sementara Kepala Dinas Kalimantan Barat Alexius Akim mengatakan, kegagalan ini merupakan persoalan serius. ”Saya sudah meminta semua kepala dinas di kota dan kabupaten untuk mencari penyebab mengapa begitu banyak sekolah yang semua siswanya tidak lulus,” ujar Akim.

Berbekal evaluasi itu, pihaknya akan membuat kebijakan bagi masing-masing sekolah tergantung penyebab kegagalan. Dia juga merekomendasikan sekolah-sekolah yang memiliki siswa kurang dari 10 orang di setiap angkatannya untuk meleburkan diri dengan sekolah terdekat.

Hamid Hasan mengatakan, tingkat kelulusan yang rendah tahun ini jangan digiring ke arah bahwa pelaksanaan UN lebih jujur dibandingkan dengan sebelumnya. Yang justru harus dicermati adalah bahwa ada persoalan dalam pelaksanaan UN yang menimbulkan ketidakadilan pada siswa.

Sementara untuk mengejar kelulusan tersebut, semua sekolah memberikan tambahan bimbingan materi UN beberapa bulan sebelumnya bahkan ada yang mulai dari bulan November.

Guru Bimbingan dan Konseling SMK Yayasan Pendidikan Tentara Pelajar 17 I Temanggung, Jawa Tengah, mengatakan, secara psikologis siswa justru stres karena harus mengikuti pendalaman materi hingga berjam-jam setiap hari. ”Akibatnya, ketika hari ujian tiba, kondisi mereka drop. Secara psikologis, pikiran, dan badan mereka sudah lelah,” ujarnya. (AHA/ELN/BRO/LUK) ***

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:06 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar