Sabtu, 01 Mei 2010

Upacara penguburan sebesar penghormatan untuk Uyung berlangsung 30 tahun lalu

Jenazah Uyung Kariwangan, Ketua Adat Dusun Kanan, Desa Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja, digotong ke liang jenazah di goa batu yang berjarak tiga kilometer dari rumahnya. (KOMPASTV/OTTO FERDINAND DAN FERRY KAENDO)***

TANAH AIR

Ritual "Pa' tomate", Mengantar Roh ke "Puya"

Oleh Pingkan Elita Dundu

Lantunan doa mengalun dalam irama monoton, menemani jenazah Uyung Kariwangan, Ketua Adat Dusun Kanan, Desa Puangbembe Mesakada, Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja.

Selama 18 hari mulai pukul 20.00 Wita hingga subuh, menjelang upacara penguburan, keluarga, warga, dan para pelayat yang semuanya berbusana hitam bergantian berdoa mengitari jenazah.

Mereka bergerak ke kanan, searah jarum jam. Siapa saja boleh ikut berdoa, yang tidak ikut berdoa tetap duduk di ruang yang sama. Ketika ada yang kelelahan dan keluar dari barisan pendoa, pelayat atau keluarga yang duduk menggantikan melantunkan doa dalam irama ritmis dan tanpa alat musik apa pun.

Selama doa didaraskan, tiada suara lain terdengar. Burung malam dan jangkrik membisu, membiarkan tirai kesedihan bergayut di rumah duka.

Kegiatan itu disebut ma’badong, yakni kesenian penghiburan dalam ritual kematian. Tanpa kata-kata, hanya gumam memilukan. Inti dari ma’badong adalah puji-pujian dan doa untuk mengantar perjalanan roh ke puya (surga).

Sebelum ma’badong, pendeta dan para sesepuh memutuskan berapa kerbau yang akan dipotong. Jika belum ada keputusan, ma’badong tidak dapat terlaksana.

Uyung meninggal dunia pada 8 November 2009 di usia 110 tahun. Ia adalah keturunan terakhir parenge (bangsawan) keturunan Pana yang menganut Aluk Todolo atau kepercayaan leluhur.

Upacara penguburan sebesar penghormatan untuk Uyung berlangsung 30 tahun lalu, yakni untuk upacara ibunda Uyung.

Upacara penguburan semegah itu hanya untuk keluarga bangsawan. Namun, sejak tahun 1980-an, mereka yang kaya pun boleh menggelar upacara serupa. Akan tetapi, tanpa perhitungan hari baik dan meniadakan beberapa kewajiban, seperti ma’dulang atau memberi makan jenazah secara bergiliran. Upacara demikian hanya untuk orangtua, pahlawan, dan pelindung masyarakat.

”Tidak pernah ada ritual pa’tomate bagi anak muda yang meninggal dunia,” kata Musni Lampe, antropolog lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang kini mengajar Antropologi di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ritual itu juga tidak berlaku bagi warga biasa. Apalagi untuk menyelenggarakan upacara penguburan demikian besar perlu biaya tinggi. Untuk upacara yang sangat sederhana, minimal menghabiskan dana Rp 50 juta.

Namun, untuk Uyung, tidak kurang dari Rp 500 juta. Rinciannya, selama 18 hari memotong 200 babi dan 11 kerbau. Jika harga seekor babi menghabiskan dana Rp 1 juta, berarti untuk babi saja Rp 200 juta.

Harga seekor kerbau Rp 20 juta sehingga total dana Rp 220 juta. Di luar itu, keluarga menyediakan makanan bagi para tetamu, termasuk menyediakan kopi dan rokok.

Ketika Uyung meninggal, para pendeta mencari tanggal penguburan yang terbaik. Dari hasil penghitungan bulan, mereka sepakat waktu terbaik untuk menguburkan jenazah Uyung adalah Selasa, 16 Maret 2010. Selama empat bulan, jenazah Uyung disemayamkan di rumah tinggal almarhum milik leluhur yang berusia 300 tahun. Walau tanpa formalin, jenazah Uyung tidak mengeluarkan bau.

Jasadnya hanya mengering dan tetap utuh karena dibungkus kain belacu dan dimasukkan ke duni atau potongan kayu pinus yang tengahnya berlubang. Seluruh cairan tubuhnya atau borro menempel di kain belacu.

Sabtu, 13 Maret, jenazah dibuka lalu keluarga terdekat merangkap petugas pengurus jenazah, Solon (60) dan dua anaknya, membalur jasad Uyung dengan ramuan dari tetumbuhan. Sembari membungkus jenazah atau ma’bukku, Solon mengucapkan doa agar bau busuk jenazah berpindah jauh ke dalam hutan.

Solon membungkus jasad Uyung dengan puluhan kain sambu, kain tenun khas Mamasa dan Tana Toraja asal Simbuang. Ia menyelipkan pakaian kesayangan almarhum dan perhiasan emas.

Jasad Uyung terbungkus hingga mirip guling sepanjang 1,75 meter berdiameter 0,50 meter. Prosesi ma’bukku berlangsung tiga jam, mulai pukul 09.00 hingga berakhir pukul 12.00 Wita.

Duni dan kain belacu dikuburkan di bawah pohon leluhur, sejenis pohon karet, yang berjarak 15 meter dari rumah.

Sebagai penanda almarhum seorang bangsawan, di atas kuburan duni dan kain belacu ditanam tiga pohon. Pohon sendana ditanam tangkainya, pohon lamba ditanam tunasnya, dan pohon tabang ditanam dengan setek.

Adapun bungkusan jenazah ditaruh di baruka, rumah beratap alang-alang yang dibuat seminggu sebelum jenazah diturunkan.

Senin, 15 Maret, berlangsung ma’pasitanduk tedong atau adu kerbau. Kerbau tersebut sumbangan dari penduduk dusun, desa, dan kecamatan lain sebagai pemberian balasan atas utang tak tertagih yang pernah diberikan almarhum semasa hidupnya.

Setelah itu, ritual pemotongan kerbau yang didahului dengan mebaba tedong atau mengucapkan doa pemotongan kerbau. Ada sembilan kerbau yang dipotong, semuanya harus ditombak terlebih dulu baru kemudian lehernya ditebas.

”Kerbau tidak boleh disembelih sebelum ditombak. Kalau sudah terkena tombak, meski tidak terluka, kami boleh menyembelihnya dengan parang,” kata Paulus Pasauk, pemimpin upacara pemotongan kerbau.

Sehari kemudian, enam orang menggotong jenazah ke liang jenazah di goa batu sejauh tiga kilometer dari rumah. Mereka seolah berlari, melewati jalan kecil dan licin lagi naik turun, meninggalkan para pelayat. Selesai penguburan, seluruh pengantar kembali ke rumah duka sebelum kembali ke rumah masing-masing.

Mereka kembali memotong kerbau untuk makanan bersama. Untuk menandai usainya masa berkabung, semua keluarga dekat wajib mandi bersama di sungai, lalu makan nasi putih berlauk daging kerbau dari kerbau terakhir.

Penguburan Uyung menandai berakhirnya keluarga bangsawan keturunan Pana yang masih memeluk Aluk Todolo.

Ada keluarga bangsawan lain, tetapi mereka kini menganut agama samawi. Mereka yang bukan penganut Aluk Todolo tidak boleh menjalani upacara pa’tomate, kecuali mungkin jika ada lagi bangsawan yang beralih sebagai penganut Aluk Todolo. (Ida Setyorini)***

Source : Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010 | 04:59 WIB

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Jan S @ Sabtu, 1 Mei 2010 | 10:19 WIB
Penghargaan sampai achir,semoga budaya ini berlanjut,

norman meoko @ Sabtu, 1 Mei 2010 | 09:46 WIB
jadi ingat pengen pulang kampung nih...

agust zega @ Sabtu, 1 Mei 2010 | 08:05 WIB
Semoga budaya tana toraja dapat dilestarikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar