Minggu, 30 Mei 2010

TAJUK PENCANA PENDIDIKAN

TAJUK RENCANA

KOMPAS, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:33 WIB

Cermati Ruang Kelas!

Judul di atas berakhir tanda seru. Bermakna perintah! Mengapa? Hasil ujian nasional SMP dan sederajat menggenapkan keprihatinan kita.

Mendesak perlu dicermati apa sih yang terjadi di ruang-ruang kelas setiap hari.

Sebanyak 561 SMP dan sederajat, sebelumnya 267 SMA dan sederajat, lulus nol persen dalam ujian nasional tahun ini. Hasil itu melorot dibandingkan tahun lalu. Pernyataan hasil ini masih sementara, masih menunggu hasil ujian ulangan 10-14 Mei dan 17-20 Mei, hanya hiburan sia-sia.

Ada sesuatu yang salah dalam praksis pendidikan kita. Perlu ada pengenalan yang mendetail, mulai dari sarana fisik, kurikulum, hingga guru, termasuk cara menilai hasil belajar yang bermuara pada perbaikan. Perbaikan perlu menyeluruh, tidak sepotong-sepotong.

Hasil kedua UN mengindikasikan perlu membongkar pakem yang selama ini sudah baku, di antaranya beberapa daerah yang selama ini dibanggakan memiliki sekolah dengan hasil UN tinggi ternyata runtuh. Kawasan Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, bahkan DKI Jakarta, yang dari tahun ke tahun duduk di tangga atas kelulusan, tahun ini melorot, misalnya.

Ada apa? Tidak cukup dijawab UN berlangsung makin jujur, standar kelulusan dinaikkan, pengawasan makin ketat, dan sebagainya. Jawaban apologetis itu tidak cukup, tidak juga solusif. Pelaksanaan makin bersih, makin dijunjung tinggi kejujuran, soal makin sulit, mungkin ya betul, tetapi cukupkah lantas dicari solusi dengan memperketat pengawasan dan menurunkan standar kelulusan?

Ibarat penyakit, UN yang melorot tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu barulah simtom buruknya praksis pendidikan kita selama ini. Ada yang salah.

Guru dari hasil berbagai survei yang dilaksanakan, katakan dari laporan BE Beeby tahun 1968 dan Komisi Pembaruan Pendidikan tahun 1977, merupakan faktor kunci, terpenting dari faktor sarana dan kurikulum.

Bagaimana perlakuan kita dengan profesi ini? Kita terhenti dengan keputusan-keputusan politik minus implementasi. Begitu juga yang menyangkut penyediaan sarana. Kita lebih asyik bongkar pasang kurikulum.

Mengacu amanah Pembukaan UUD '45 ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, maksudnya tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak kita menang di olimpiade—olimpiade internasional—melainkan bagaimana semua anak bangsa ini menjadi bangsa cerdas, bukan bangsa inlander.

Titik sentralnya adalah mindset kita tentang membangun kecerdasan bangsa. Pembangunan pendidikan perlu ditempatkan sebagai pembangunan sarana infrastruktur sebuah bangsa bermartabat dan berkarakter.

Kata kuncinya, kenali betul apa yang terjadi di kelas, yakni mengubah mindset tentang praksis pendidikan yang niscaya berujung pada keputusan politik yang cerdas-cerah, dengan hasil memprihatinkan kedua UN—termasuk UN SD nanti—sebagai pintu masuk perubahan.

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:33 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar