Sabtu, 29 Mei 2010

Korupsi di Dunia Pendidikan

Korupsi di Dunia Pendidikan

Korupsi ada di sekitar kita, dalam dunia pendidikan. Koordinator Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menyatakan, di sekolah juga terjadi korupsi. Kalau siswa biasanya korupsi waktu dengan membolos, bermain-main, berbuat curang dengan menyontek, maka guru dan kepala sekolah pun punya kesempatan korupsi.

Menurut dia, ada beberapa kecurangan yang dilakukan sebagian guru. Dalam fokus grup yang diadakan Koalisi Pendidikan terungkap, ada guru di Garut yang membolehkan muridnya membolos kalau membelikan rokok untuk sang guru.

”Bahkan di sebuah SMP di Jakarta, murid boleh menyontek kalau memberi uang kepada gurunya. Ada juga guru di Jakarta yang tak bisa pulang kampung, lalu dia jadi ’kreatif’, mengadakan ulangan dan memaksa muridnya membeli kertas ulangan dari dia,” ungkapnya.

Sementara itu, menurut Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, korupsi di dunia pendidikan makin parah. Indikatornya antara lain jumlah pelaku korupsi makin banyak, jumlah uang yang dikorupsi makin besar, dan sebaran korupsi pun makin luas, tak hanya di Kementerian Pendidikan Nasional, tapi juga di sekolah dan perguruan tinggi.

”Modus yang dipakai lebih canggih. Dulu, korupsi dengan melakukan potongan-potongan, misalnya dana dari dinas pendidikan disunat. Sekarang, korupsi sudah dilakukan sejak proses pembuatan kebijakan atau anggaran pendidikan,” paparnya.

Di tingkat sekolah, rencana korupsi sudah bisa dibuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).

”Contohnya untuk pengadaan buku. APBD harusnya disusun berdasar kebutuhan, tapi ini disusun sesuai permintaan dari rekanan. Karena itu, anggaran yang diminta rekanan untuk pengadaan barang sudah dimasukkan dalam APBD,” tuturnya.

Alokasi khusus

Proyek dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan gedung sekolah dan pembelian sarana belajar-mengajar, kata Ade, seharusnya sekolah yang menggunakannya. Namun, oleh dinas pendidikan sering sudah diarahkan kepada siapa pembelian sarana itu dilakukan.

Tak cuma DAK, dana bantuan operasional sekolah (BOS) juga dikorupsi. BOS memang turun langsung ke sekolah.

Ade menyatakan, ada dua kemungkinan. Pertama, pemerasan dilakukan dinas pendidikan yang meminta kepada kepala sekolah (kepsek). Kalau tak diberi, sekolah akan di-black list atau tak diprioritaskan, kepsek pun bisa dimutasi karena pengangkatan kepsek ada di dinas pendidikan.

Kedua, korupsi investasi. Kepala sekolah secara sadar menyetor dana kepada dinas pendidikan dengan tujuan investasi supaya sekolahnya tetap mendapat proyek dan posisi kepsek aman.

”Korupsi di dunia pendidikan lebih berbahaya dibanding korupsi di bidang lain. Kalau di bidang lain, yang hilang itu uang rakyat atau negara. Di dunia pendidikan, uang orangtua dan murid juga hilang. Anak-anak yang tak mampu kehilangan kesempatan, institusi sekolah menjadi tempat promosi korupsi,” kata Ade.

”Sekolah menjadi ambigu. Di ruang kelas mengajarkan peserta didik nilai-nilai kejujuran, namun di luar kelas korupsi merajalela,” tambahnya.

Orang cenderung permisif terhadap korupsi. Tokoh agama yang menerima bantuan dana dari orang-orang kaya, kata Ade, cenderung ”menutup mata” dan tak mempertanyakan asal dana sumbangan. (LOK)***

Sumber : Kompas, Jumat, 7 Mei 2010 | 05:12 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar