Kamis, 27 Mei 2010

PESAN WAISAK : Kembali pada "Karuna"

Joko membersihkan pratima Buddha di Wihara Dhammadipa Arama, Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (26/5). Berbagai persiapan dilakukan umat Buddha untuk menyambut Waisak tahun 2554 yang jatuh pada Jumat (28/5). (KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN)***

PESAN WAISAK

Kembali pada "Karuna"

Oleh Mahathera Nyanasuryanadi

Peringatan dan perayaan Waisak 2554 tahun ini dirayakan umat Buddha Indonesia di tengah-tengah situasi bangsa yang dilanda berbagai persoalan politik, ekonomi, terorisme, dan permasalahan korupsi yang dilakukan oleh para oknum pemangku pemerintahan, mulai dari level bawah sampai atas yang melakukan perampokan dan perampasan harta rakyat.

Slogan pembangunan manusia seutuhnya tidak lebih dari sekadar pemanis bibir belaka. Padahal, sesungguhnya, apabila rusak moral dan akhlaknya, maka rusaklah bangsa ini.

Setiap tahun di bulan Waisak umat Buddha di seluruh penjuru dunia merayakan tiga peristiwa istimewa yang terjadi pada manusia agung Buddha Gau- tama. Tahun 623 sebelum Masehi di Taman Lumbini atau Rummindei, Sidharta lahir. Tahun 588 sebelum Masehi, Sidharta mencapai keterbangunan nurani secara paripurna, kemudian pada tahun 543 sebelum Masehi beliau wafat di hutan Sala milik suku Malla, Kusinara.

Peristiwa agung yang terjadi pada bulan Waisak tersebut merupakan sebuah rangkaian kehidupan yang penuh dengan totalitas dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.

Realisasi spiritualitas keterbangunan nurani Sidharta bukanlah suatu capaian yang berangkat dari ketakutan atau penolakan sepihak terhadap penderitaan pribadi ataupun yang bersifat kebetulan karena sudah dipilih dan ditakdirkan, melainkan berangkat dari observasi langsung terhadap realitas kehidupan diiringi kepedulian terhadap derita semua agregat kehidupan, yang kemudian diperjuangkan dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah.

Pola perjuangan Sidharta adalah dengan menggunakan seluruh potensi fisik dan mental dalam proporsi yang seimbang, bukan dengan membaca aksara-aksara suci yang terkodifikasi dalam kitab-kitab sehingga menghasilkan realisasi yang hidup, riil, dan berlaku universal.

Dalam tataran yang sederhana, keistimewaan kebangkitan nurani spiritual Sidharta yang kemudian disebut sebagai Buddha pada dasarnya merupakan suatu realisasi dengan mengikuti kata hati yang sama manusiawinya dengan yang kita miliki, kadang juga hati yang sama rapuhnya.

Konsistensi Sidharta dalam memilih, bersikap, bertindak dalam bingkai spiritualitas hati yang jernih dalam menghadapi setiap kondisi berbeda dengan kita yang cenderung mengabaikan suara nurani terutama ketika dihadapkan pada suasana untung-rugi, pujian-celaan, bahagia-menderita, dan berbagai kondisi dualisme hidup lainnya.

Merenungkan realisasi Sidharta tersebut, kebangkitan bukanlah monopoli milik-Nya dan juga bukan sesuatu yang di luar potensi manusia, tetapi dalam diri manusia terdapat potensi spiritual tersembunyi yang luar biasa (buddhata) sehingga yang harus kita lakukan adalah mengembangkan dan membuka kemungkinan-kemungkinannya.

Nurani dan spiritualitas Buddha memiliki keseimbangan dua sayap utama yang saling melengkapi, yakni karakter bijaksana (prajna) dan karakter kepedulian atau belas kasih (karuna). Kasih tanpa diiringi kebijaksanaan bukanlah kasih yang sesungguhnya, demikian juga kebijaksanaan tanpa kasih atau kepedulian hanyalah kebijaksanaan semu.

Mengembangkan keduanya secara sinergi adalah cara terbaik menghormati Buddha daripada sekadar merayakan peristiwa-peristiwa hidup-Nya dalam ingar-bingar upacara megah, tetapi minus pemahaman substansial.

Karakter bijak dan penuh kepedulian terhadap derita makhluk lain merupakan denyut nadi spiritualitas yang sesungguhnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dua karakter ini merupakan modal dasar untuk membentuk masyarakat, bangsa dan negara yang maju, harmonis, bermartabat.

Prestasi apa pun yang telah dimiliki masyarakat suatu bangsa akan mudah hancur jika dua karakter ini absen dari khazanah kehidupan berbangsa atau hanya sekadar didiskusikan dalam tataran idealisme akademis ataupun teologis.

Kurangnya kepedulian terhadap sesama adalah awal dari tindakan mementingkan diri sendiri, memakmurkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri dengan cara apa pun yang pada titik ekstremnya termanifestasikan dalam tindakan mencuri, korupsi, menggunakan wewenang secara salah sehingga dapat meluluhlantakkan derap langkah pembangunan bangsa.

Jika latihan spiritual kita semakin dalam, menekankan pada kebijaksanaan dan belas kasih, kita akan berkali-kali berjumpa dengan penderitaan makhluk hidup lain dan kita akan memiliki kemampuan untuk mengenalinya, menanggapinya, dan merasakan belas kasih mendalam, alih-alih perasaan apatis atau tak berdaya.

Di tengah berbagai masalah yang dihadapi, bangsa ini sebenarnya masih sangat banyak menyisakan harapan dan potensi besar untuk cerah, bangkit, dan tampil sebagai garda terdepan dalam kancah taman sari pergaulan internasional.

Memang tidak ada satu atau dua formula utama yang dapat dijadikan sebagai solusi tunggal, yang diperlukan adalah jalinan ikatan tulus bagi setiap anak bangsa untuk membantu membangkitkannya.

Seiring dengan momentum Waisak ini, umat Buddha Indonesia seyogianya membantu memberikan kontribusi positif bagi upaya bersama membangkitkan kemajuan bangsa dan negara melalui internalisasi nilai-nilai spiritualitas dasar kebuddhaan, yakni kepedulian (karuna) dan kejernihan atau kebijaksanaan (prajna) dalam bingkai keindonesiaan.

Kesadaran berkontribusi adalah kunci bagi tumbuhnya kreativitas hidup untuk terus berkarya bagi bangsa sebagaimana dipesankan Buddha, manusia yang tak mau berkarya dan berkontribusi dalam menjalani kehidupannya adalah ciri nyata kemunduran derajat manusia.

Mahathera Nyanasuryanadi,

Ketua Umum Sangha Agung Indonesia,

Pembina Majelis Buddhayana Indonesia.

Source : Kompas, Kamis, 27 Mei 2010 | 03:19 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar