Kamis, 27 Mei 2010

Tajuk Rencana Kompas : Merangkul Kehidupan

TAJUK RENCANA

KOMPAS, Kamis, 27 Mei 2010 | 04:57 WIB

Merangkul Kehidupan

Hari besar keagamaan Waisak 2010/2554 yang dirayakan umat Buddha, Jumat besok, mengajak kita untuk merangkul kehidupan yang serba kontradiktif.

Thailand, negara yang tengah memulihkan diri dari kerusakan akibat ”perang saudara”, menjadi tuan rumah peringatan internasional Waisak tahun ini. Kontradiktif? Tidak. Sebab, dalam damai dan perang, dambaan manusia tetap menjadi batu sendi dan batu penjuru. Ajakan imperatifnya: merangkul kehidupan.

Warna-warni dan karut-marut kehidupan saat ini tidak harus dilihat serba kontradiktif. Itulah jati diri eksistensial. Dialami setiap makhluk manusia, kehidupan tidak selalu berada di bawah terang bulan penuh. Merangkul kehidupan berarti memaknai jati diri manusia sebagai bagian dari alam global, termasuk makhluk hewan ataupun tumbuhan. Waisak menawarkan etika global.

Ajakan etika global itu yang ditawarkan teolog dan filosof Hans Kung. Menurut dia, agama-agama tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun, prinsip-prinsip moral universal agama dan keyakinan dapat menggerakkan orientasi hidup penganutnya.

Agama-agama perlu diangkat ke tataran fungsi sosial. Bertelut dalam teologi dan ibadat perlu dilengkapi dimensi sosial kemasyarakatan. Tidak cukup di tataran transenden, tetapi juga imanen. Tidak cukup khusyuk dalam doa, tetapi juga menjalar dalam persoalan kehidupan sehari-hari.

Memungut nama Hans Kung dan menaruhnya dalam tataran praksis aktual tidak berarti dialah satu-satunya rujukan. Setiap agama memiliki nama-nama rujukan untuk rumusan etik universal masing-masing.

Hans Kung hanyalah satu dari ratusan bahkan ribuan etikus. Akan tetapi, ajakannya tentang tiga agama samawi (Yahudi, Islam, Kristen) yang berasal dari satu rumpun terasa mengentak; karena di sekitar ketiga agama itu bersumber krisis dunia yang berkepanjangan.

Ajakan merangkul kehidupan identik dengan merawat kehidupan. Tujuannya agar hidup tak sia-sia, tetapi berdampak bagi kehidupan sesama dan makhluk penghuni Bumi. Dalam konteks Indonesia, dengan kondisi riil di sini, dalam karut-marut nafsu berburu, memperbesar dan melanggengkan kekuasaan, merangkul kehidupan berarti menempatkan kekuasaan sebagai amanah rakyat. Kekuasaan diperebutkan tidak untuk kepentingan kekuasaan an sic, melainkan sebagai alat dan sarana merawat kehidupan.

Amanah itu berarti takhta untuk rakyat. Kepentingan rakyat bukan diatasnamakan demi meraih angka. Kedudukan menjadi bermartabat ketika tidak jadi komoditas dagang sapi.

Apakah pernyataan di atas utopis atau sekadar exercise intellectual? Tidak. Sebab dari antara sekian praktisi kekuasaan masih ada kekecualian: sosok-sosok noble person, yang mempraksiskan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki dengan merangkul kehidupan sebagai batu penjuru dan batu sendi. Selamat Waisak 2010/2554!

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar