Alat berat mulai membuka jalur untuk proyek pembuatan jalan tol Semarang-Solo di wilayah Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang berbukit-bukit, Rabu (13/5). Proyek jalan tol sepanjang 76 kilometer ini merupakan tahap pertama, yang sebagian mengambil lahan pertanian di wilayah Semarang-Ungaran.
Jumat, 26 Juni 2009 | 03:54 WIB
Petani di Desa Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Suryadi, pekan lalu, mengeluh, saat ini penghasilannya paling tinggi Rp 3,5 juta. Sebagai petani, ia merasakan biaya pengolahan padinya naik 300 persen dibandingkan tiga tahun lalu. Setiap seperempat hektar lahan kini memerlukan biaya pengolahan Rp 2,5 juta.
Winarto Herusansono
Apabila harga gabah hanya Rp 1.800 per kilogram, praktis rugi. Hasil penjualan padi kurang dari Rp 2,5 juta atau tepatnya penghasilan saya hanya Rp 2,16 juta. Produksi padi dari lahan seperempat hektar itu hanya 1,2 ton,” kata Suryadi. Kalau harga gabah membaik, mencapai Rp 2.300/kg, dirinya pun untung.
Untuk menghidupi keluarganya, Suryadi menambah penghasilan dengan menjadi tukang becak di lokasi wisata religi Makam Sunan Kalijaga, Kadilangu, Demak. Dari mengayuh becak itu, ia memperoleh penghasilan rata-rata Rp 10.000 per hari, dan tiap akhir pekan melonjak menjadi Rp 25.000 per hari.
Suryadi mengaku, dia adalah satu dari puluhan petani yang harus merelakan sawahnya menciut, tergerus proyek jalan lingkar selatan Kota Demak sejak 2003. Semula luas lahannya 1 hektar, tetapi sebagian besar terkena proyek dan kini tinggal seperempat hektar saja.
Nasib petani tekun seperti Suryadi yang gagal mempertahankan lahannya, menurut anggota DPRD Jateng, Masruhan Samsurie, kian banyak dialami petani yang memiliki sawah di sepanjang tepi jalan di provinsi tersebut. Derita petani itu muncul seiring kian gencarnya konversi lahan menjadi nonpertanian, seperti untuk industri, perumahan, jalan tol, dan kawasan lain yang tidak terkait dengan pertanian.
”Petani yang beralih pekerjaan juga banyak. Mereka tidak hanya kehilangan sawahnya akibat pembangunan, tetapi lahan mereka juga menyusut karena sebagian besar terkena proyek jalan lingkar atau jalan tol,” kata Masruhan. Ia pernah menerima keluhan petani, seperti Suryadi.
Tanpa adanya perlindungan terhadap lahan pertanian, Masruhan menduga, sektor ini memberi sumbangan pengangguran yang besar di Jateng. Saat ini pengangguran mencapai 1,2 juta orang dan penduduk yang miskin 3,1 juta keluarga.
Anggota DPRD Jateng yang lain, Kamal Fauzi, menuturkan, Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng menunjukkan, tak kurang dari 2.500 hektar lahan pertanian di provinsi itu beralih fungsi setiap tahun. Percepatan alih fungsi sawah cukup tinggi terjadi di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Demak, Boyolali, Grobogan, dan Pekalongan.
Namun, Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Jateng Aris Budiono membantah, angka alih fungsi lahan sawah di Jateng hingga 2.500 hektar per tahun, seperti data BPS. ”Dinas pertanian mencatat rata-rata lahan yang beralih fungsi 600-750 hektar per tahun. Jumlah ini cukup besar untuk ukuran di Jawa, terlebih peralihan fungsi itu tidak bisa serta-merta diikuti dengan menciptakan lahan sawah baru,” katanya.
Aris mengakui, mempertahankan lahan sawah memang tidak mudah, terutama lahan sawah irigasi teknis. Dalam tiga tahun terakhir saja tercatat 10.000 hektar lahan sawah beralih fungsi ke nonpertanian. Setelah mengalami penyusutan, luas lahan sawah di Jateng pada 2008 sekitar 980.468 hektar.
Aris mengatakan, dengan lahan seluas itu, produksi padi masih tinggi. Pada 2008 produksi padi mencapai 9,136 juta ton atau naik 6,03 persen dari tahun sebelumnya, yang sebesar 8,6 juta ton. ”Dengan produksi sebesar itu, Jateng masih tercatat sebagai nomor tiga penyumbang pangan nasional. Untuk itu, upaya mempertahankan lahan sawah harus sudah dimulai,” kata dia lagi.
Untuk mempertahankan lahan sawah, kata Aris, dinas pertanian sejak 2000 melaksanakan program insentif kepada petani yang mengolah lahan produktif di daerah irigasi teknis dan setengah teknis. Program itu diberikan langsung ke petani.
Program insentif yang berjalan meliputi pemberian bantuan benih nonhibrida, bantuan benih hibrida unggul, pemberian bantuan teknologi pascapanen, serta bantuan alat dan mesin pertanian. Pemberian benih nonhibrida atau benih hibrida itu untuk petani padi, petani jagung, atau petani kedelai.
Tahun 2009 bantuan benih hibrida mencakup 69.966 hektar dengan bantuan sebanyak 104,5 ton tersebar di 15 kabupaten sentra padi. Jagung diberikan pada areal seluas 70.000 hektar, dengan total benih 1.550 ton, mencakup 15 kabupaten, serta kedelai untuk lahan seluas 20.000 hektar di 19 kabupaten, dengan jumlah benih 800 ton.
Insentif lain, seperti kata Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jateng Doddy Imron Cholid, adalah pemberian sertifikasi massal secara gratis kepada pemilik atau petani yang mengolah lahan irigasi teknis dan setengah teknis.
Sawah irigasi teknis adalah sawah yang langsung memperoleh jaminan air dari sungai terdekat, dengan kemampuan panen bisa tiga kali setahun. Adapun sawah irigasi setengah teknis mampu dua kali panen padi dan sekali panen palawija.
Pemberian sertifikat massal adalah agar petani bersedia mempertahankan fungsi lahannya sebagai sawah. Namun, upaya ini juga tidak mudah karena ada kendala nonteknis, yakni anggapan mengurus sertifikat sawah membutuhkan biaya mahal, lama, dan berbelit-belit.
Tidak kalah penting ialah sangat susah mengubah keyakinan masyarakat desa, khususnya petani, kalau sawah bersertifikat itu tidak bisa dijualbelikan. Padahal, jual-beli sawah boleh asal tidak untuk alih fungsi nonpertanian.
”Sertifikasi massal itu dibantu pemetaan data potensi lahan sawah sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jateng,” kata Doddy.
Anggota DPRD Jateng, Khafid Sirotudin, menambahkan, rencana tata ruang itu harus pula didukung dengan Perda Pertanian Abadi yang rancangannya disiapkan sejak 2005. Raperda itu seharusnya bisa dibahas kembali dan diharapkan diperdakan sebelum habis masa bakti anggota DPRD periode 2004-2009.
Apabila mampu mempercepat pengesahan Perda Pertanian Abadi, Jateng akan menjadi provinsi pertama yang memiliki perda tentang pertanian abadi.
Source : Kompas, Jumat, 26 Juni 2009
No comments:
Post a Comment