Oleh Muhammad N. Hata
Sejak aliran postrukturalisme meruntuhkan paradigma struktur bangunan modernisme yang menjalar ke segala aspek, nalar dikotomis dan prioritas pada yang sentral (bukan periveri) semakin menjauh dari ranah dinamika intelektual mutakhir. Karena implikasi yang ditimbulkannya yang tidak manusiawi dan klaim kebenaran (truth claim) yang sepihak. Model pemikiran demikian kini tengah mengalir kemana-mana, salah satunya adalah karya sastra.
Kebenaran sastra dan kebenaran sejarah tidak dapat dihadapkan secara konfrontatif, kedua kebenaran ini memiliki porsinya sendiri-sendiri atau parameternya masing-masing dan memiliki struktur logika yang berlainan pula. Namun pada segi-segi tertentu, tidak sedikit kaum sejarawan mencaplok beberapa poin yang ada dalam karya sastra. Sastra yang dimaksud adalah sastra klasik. Seperti kisah penaklukan beberapa kerajaan yang berjumlah 48 oleh Sultan Agung, dan perjalanannya sewaktu masih muda yang mana dalam logika manusia modern sulit dicerna, yaitu dalam pertemuannya dengan Nyi Roro Kidul -membawa tari serimpi-, Imam Syafi’i di Mekkah -membawa apem/ cimplo-, dan lain-lainnya. (Babad Nitik).
Persoalan benar dan tidaknya cerita tersebut, itu hanya sebuah karya sastra, sebuah imajimanasi manusia adiluhung, dan sebagai cerminan zamannya. Namun seringkali dijadikan sumber referensi oleh sekian banyak sejarawan lalu dicari legitimasinya hingga terciptalah sejarah, dan dinikmati oleh sekian banyak manusia. Inilah kebenaran sejarah yang masuk ke pikiran kita, sebuah kebenaran hasil dari sortiran karya sastra klasik atau kebenaran fiksi.
Kebenaran Sejarah Dermayu
Begitu banyak genre sastra di tanah air, salah satunya babad, yang dikategorikan sebagai karya sastra sejarah, yaitu karya sastra yang banyak memuat aspek kesejarahan selain warna mistisnya yang kental. Sisi kesejarahan inilah yang seringkali dijadikan rujukan oleh sejarawan. Begitu juga dengan Babad Dermayu.
Indramayu secara teritorial geografis berada di wilayah Jawa Barat. Penempatannya dalam budaya berada diantara Jawa dan Pasundan, sehingga menjadi identitas yang mandiri. Dipandang dari sudut karya sastra aroma Pajajaran dan Jawa masih sangat kental sebagai implikasi dari dinamika kesusastraan pada masa itu. Namun luas wilayah Indramayu, pada masa perjalanan Wiralodra (Abad XVI) dan sebelumnya berbeda dengan luas wilayah sekarang.
Seperti dari segi penokohan, yaitu Nyi Endang Darma Ayu ketika bertempur melawan Pangeran Guru beserta 24 pasukannya, lalu disusul dengan kedua kakak dan adik wiralodra, dan terakhir dengan Wiralodra Sendiri. Jejak langkah tokoh ini memiliki banyak persamaan dengan Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi, putri raja Pajajaran ketika terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada, yang diperingati sebagai perang Bubat. Yaitu tumpahnya darah dan air mata kedua belah pihak di Palagan Bubat sebagai penyempurna sumpah palapa Patih Gajah Mada. Peristiwa ini dikenang dalam Kidung Sundayana. Sementara di Kali Cimanuk nama tempat itu di ambil dari tokoh perempuan dalam Babad tersebut, yaitu Darma Ayu atau Dermayu.
Babad Dermayu oleh beberapa komunitas daerah Indramayu seringkali dijadikan hanya sebagai sejarah, kendatipun di dalamnya memang ada unsur sejarahnya, namun sisi kesusastraan atau fiksinya juga tidak dapat dinafikan. Sementara dari sudut karya sastra jarang sekali diangkat ke ruang public (public sphere) sesuai dengan konteks atau kapasitasnya sebagai karya sastra. Mayoritas karya sastra dari segi struktural terkait dengan karya sastra yang lain. Oleh karena Babad Dermayu adalah sebuah karya sastra, maka dalam pembacaannya tidak dapat lepas begitu saja dari karya sastra yang lain. Teks ini mempunyai jalinan teks dengan teks lain yang menurut terminologi Julia Kristeva disebut dengan interteks.
Genre sastra klasik yang berbentuk prosa seperti hikayat, bo’, legenda, babad dll, bercerita tentang asal-usul. Setiap daerah di bumi nusantara memiliki asal-usul. Begitu juga dengan Indramayu. Biasanya, cerita asal-usul ini dihubungkan dengan alam metafisis, gaib, sakral, alam dewa-dewa dan sarat dengan nuansa magis. Warna demikian lebih kental di Jawa, yang berbeda dengan di Melayu, yang lebih banyak memuat sisi kesejarahannya, bahkan sisi mitologisnya hampir tak tampak sama sekali.
Penokohan dalam setiap karya sastra klasik yang genrenya prosa, kebiasaan yang sering muncul, tokoh sentralnya dihubungkan dengan tokoh besar lain pada masa sebelumnya. Seperti dalam Babad Dermayu seringkali tokoh utamanya dikaitkan dengan kebesaran Majapahit, keemasan Demak dan warna Pajajaran, sehingga mengaburkan sisi kesusastraan dan terangkat kebenaran sejarah, melegitimasi kebenaran tokoh –meski mitos- dalam sastra klasik. Ini tidak hanya dilakukan agar keagungan kepala dukuh, suku atau kerajaan dapat mengalir ke muara kerajaan yang menghubungkannya atau supaya kebesarannya sama dengan raja besar lain.
Tidak sedikit orang menyatakan bahwa tokoh dalam babad Dermayu adalah mitos, baik tokoh pertama, kedua ketiga atau ketiga. Namun bukan berarti bahwa mitos tidak penting, karena pada dasarnya semua masyarakat –pra modern, modern, dan pasca modern- itu sadar atau tidak sadar sangat membutuhkan sekali yang namanya mitos. Tidak terkecuali dengan masyarakat Indramayu. Mitos sendiri dalam fungsinya ambivalen, pada satu sisi dapat dijadikan pegangan oleh masyarakat setempat. Pada sisi yang lain, seringkali dijadikan sebagai legitimasi penguasa.
Itulah Babad Dermayu, dalam kapasitasnya sebagai karya sastra, pada prinsipnya memiliki kebenarannya sendiri, tidak harus dikontraskan dengan kebenaran sejarah. Keduanya tidak ada hubungan langsung.
Namun yang perlu dicermati, ini adalah sebuah maha karya yang mewakili zamannya. Ini adalah episteme masyarakat Indramayu pada pada masa dimana orang Indramayu berpengetahuan tinggi. Mampu mendesain sejarah dan mitos menjadi satu kesatuan utuh yang dapat diterima oleh semua golongan. Hal ini di manifestasikan dengan adanya beberapa versi –versi Babad Cirebon II, versi Kertasemaya, versi di daun lontar dan versi lainnya-, yaitu bahwa Babad Dermayu dalam perjalanannya digemari oleh masyarakat.[] Wallahu A’lam bi al-Soab.
Muhammad N. Hata,
Penulis adalah Mahasiswa Sastra, Filologi UI
Catatan : Terima kasih atas kiriman tulisan karya Anda. Tentang tulisan Anda yang berjudul "Design Demokrasi dan Dinamikanya" telah dimuat di blog pendopoindramayu.blogspot.com
No comments:
Post a Comment