OTONOMI DAERAH
Coba Mempertahankan Kekuatan Membangun Banten
Oleh M Toto Suryaningtyas
Hampir satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah di Banten, tetapi provinsi ini masih menyajikan wajah yang kontras. Di tengah deru mesin ekonomi industri di utara wilayah, tertumpuk ketimpangan di bagian selatan.
Apakah yang terlintas dalam benak Anda tatkala mengasosiasikan nama Banten? Keraton Banten Lama-Surosowan, suku Baduy, atau kawasan gersang tempat pabrik besar? Dalam bukunya, Potret Banten (2005), Ace Suhaedi Madsupi menuliskan gambaran miris: ”Persepsi orang luar terhadap Banten dan orang Banten adalah tradisional, kasar, miskin, dan bodoh.”
Ditambahkannya, meski sebagian wilayah Banten berkembang dengan infrastruktur metropolitan, kenyataannya tidak mampu diakses bagian terbesar warga Banten. Rakyat Banten, khususnya warga asli, masih menjadi penonton, terpinggir di tanah kelahirannya karena ketidakmampuan ekonomi dan ketimpangan akses kekuasaan.
Sosial ekonomi Banten yang digambarkan dalam buku itu empat tahun lalu boleh jadi sudah berubah sebagian kini. Perubahan peta penguasaan politik lokal, banyaknya investasi baru, dan perbaikan sarana sosial bisa jadi menyiratkan gambaran yang kian positif dari tahun ke tahun. Lihat saja pertumbuhan ekonomi kawasan ini yang mencapai 5,8 persen, relatif lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengeluaran per kapita wilayah ini juga mengindikasikan kian banyaknya kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dari 2004 hingga 2008.
Tanpa mengabaikan inflasi tahunan, bandingkan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, berdasarkan harga berlaku, yang terus meningkat, mencapai Rp 12,8 juta (2008) dibandingkan Rp 11,4 juta (2007), Rp 10,6 juta (2006), dan Rp 9,4 juta (2005).
Hasil jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas juga mencerminkan apresiasi atas berbagai kemajuan yang dirasakan masyarakat. Kesempatan untuk menempuh pendidikan, memperoleh layanan kesehatan, dan kelancaran transportasi adalah beberapa pelayanan yang oleh sekitar tiga perempat bagian responden dinilai makin baik dan tetap baik. Sebaliknya, kondisi jalan raya dan fasilitas umum adalah hal yang paling banyak memperoleh penilaian tetap buruk dan makin buruk (sekitar 40 persen).
Tak sulit untuk segera mendapati persoalan yang tersimpan di balik pertumbuhan bekas wilayah Kasultanan Banten yang pernah makmur pada abad XVI ini. Sedikit saja bergeser posisi dari pusat kota menuju wilayah tengah-selatan Banten, pemandangan dan suasana berubah.
Selain ruas jalan yang mirip kubangan kerbau, rumah sederhana berbahan bilik atau kayu yang cenderung kumuh juga mudah ditemui. Menuju selatan Banten melalui jalur Saketi-Malingping, apalagi jalur Malingping-Wanayasa-Cigeulis, benar-benar mirip dasar sungai kering. Jika mau memakai jalur ”tengah” melalui perbatasan Bogor-Sukabumi, tak dianjurkan karena rawan.
Ketimpangan infrastruktur antarwilayah utara-selatan atau barat-timur sudah menjadi persoalan klasik Banten. Kemampuan ekonomi per wilayah di Banten memang sangat senjang dari pangkalnya. Dengan dasar harga berlaku tahun 2008, PDRB per kapita Kabupaten Pandeglang sebesar Rp 6,4 juta dan Kabupaten Lebak Rp 5,5 juta. Bandingkan dengan PDRB per kapita Kota Tangerang Rp 29,1 juta (lima kali lipat) atau Kota Cilegon yang Rp 52,4 juta (10 kali lipat)! Meski tidak semua kemampuan dan kemajuan ekonomi wilayah tecermin dari PDRB, buktinya wilayah di selatan masih tertinggal.
Pertumbuhan menurun
Sukses otonomi daerah juga bisa diukur dari angka pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam kajian ini, data yang diperbandingkan adalah IPM 1996-1999 dan IPM 2000-2005. Persentase pertumbuhan sebelum otonomi didapatkan dengan mengurangkan angka IPM 1999 dengan angka 1996 dibagi angka harapan hidup 1996 dikalikan 100 persen.
Menggunakan pendekatan cara ini, meski secara absolut hampir semua indikator IPM meningkat positif, laju pertumbuhannya selama 2000-2005 ternyata cenderung menurun dibandingkan dengan 1996-1999.
Pertumbuhan angka harapan hidup pada masa otonomi di Banten ternyata turun dibandingkan dengan sebelum otonomi (1996-1999). Penurunan pertumbuhan itu juga terekam untuk angka melek huruf, kecuali di Kabupaten Tangerang.
Banyak hal memengaruhi pertumbuhan IPM di kota/kabupaten. Perubahan konstelasi politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pembenahan sistem birokrasi, efektivitas lembaga legislatif, dan perilaku koruptif bisa berkontribusi pada naik turunnya IPM.
Merunut pendapat mayoritas publik Banten dalam jajak pendapat, korupsi, rendahnya tingkat pendidikan, dan permasalahan di lapisan elite politik Banten adalah yang paling menghambat laju kemajuan wilayah ini. Indikasi perilaku korupsi bukan menurun, justru kian marak, terbukti dari diseretnya pejabat di pemda dan DPRD ke pengadilan. (Yuliana Rini/ Litbang Kompas) ***
Source : Kompas, Sabtu, 30 Januari 2010 | 02:50 WIB
wiro sableng @ Sabtu, 30 Januari 2010 | 09:17 WIB
gimana mau merata, 'rajanya' banten ada di daerah utara kok, pola pembangunan dibanten masih bersifat cari keuntungan politik dan kepentingan kroni
chandra @ Sabtu, 30 Januari 2010 | 06:40 WIB
Sy sendri mrasa dibanten pembangunan tdk mrata di eluruh wilayah, apalgi di daerah banten selatan. Dah gitu korupsi merajalela. Tapi sy tetap bangga jd org bntn
yanuar chandra @ Sabtu, 30 Januari 2010 | 06:40 WIB
Sy sendri mrasa dibanten pembangunan tdk mrata di eluruh wilayah, apalgi di daerah banten selatan. Dah gitu korupsi merajalela. Tapi sy tetap bangga jd org bntn
aridan @ Sabtu, 30 Januari 2010 | 05:52 WIB
ya tepat uraian diatas.akses perhubungan banten selatan dan perilaku koruptif harus disingkirkan. banten selatan harus diberi perhatian
No comments:
Post a Comment